History

History
"History Make Me Happy"

Saturday 22 September 2012

Refleksi Maulid


REFLEKSI MAULID : MENEGUHKAN KEMBALI CINTA KEPADA RASUL
Oleh Muh. Mujibur Rohman

            Salah satu nama bulan dalam penanggalan Islam adalah Rabiul Awal, yang dalam penanggalan Jawa dikenal dengan bulan Mulud. Di bulan ini terdapat satu peristiwa sejarah penting, khususnya bagi umat Islam. Peristiwa ini yaitu kelahiran seseorang dan rasul (utusan) pilihan yang turut mengubah jalannya sejarah dunia, yaitu Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan tanggal 21 April 571 M di kota Mekah.
            Oleh umat Islam, khususnya di Indonesia, kelahiran Nabi Muhammad SAW diperingati dengan nama Maulid Nabi. Maulid Nabi ini diperingati dengan berbagai kegiatan, baik yang berskala besar maupun dalam skala kecil. Kegiatan-kegiatan seperti pembacaan shalawat al-Barjanzi, Diba, Burdah, atau pun Simtut dhuror maupun pengajian-pengajian Maulid ramai dan banyak diselenggarakan di seantero pelosok negeri.
            Pada hakekatnya kegiatan semacam ini difungsikan untuk mengingat sejarah (ibrah) Nabi Muhammad SAW dan mengambil pelajaran dan keteladanan dari perjuangannya. Selain itu kegiatan Maulid ditujukan juga untuk menumbuhkembangkan sikap cinta kepada Rasulullah lewat pembacaan shalawat. Tetapi dalam kenyataannya, masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum mampu menangkap dan memahami makna dan spirit (semangat) cinta kepada rasul. Mereka seringkali masih terjebak dalam perayaan-perayaan seremonial Maulid yang seringkali nirmakna. Bukti lain bahwa masih banyaknya umat Islam yang belum memahami makna dan spirit cinta kepada rasul adalah fenomena dekadensi moral di kalangan umat Islam. Selain itu masih terjebaknya umat Islam dalam radikalisasi agama dan terseretnya umat ke dalam arus materialisme dan hedonisme sebagai akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi juga merupakan indikasi bahwa makna dan spirit cinta kepada rasul belum dipahami secara komprehensif dan bijaksana.
            Oleh karena itu momentum Maulid nabi merupakan saat yang tepat untuk meneguhkan kembali spirit cinta kepada Rasulullah. Lalu, bagaimanakah cara yang tepat untuk mencintai Rasul ?
Tahapan Cinta
            Filosof Yunani menjelaskan tiga tahap cinta: eros, philos, dan agape. Eros merupakan cinta sensual, yang ditandai dengan keinginan memiliki, menuntut, merengek dan mendesak. Eros ingin mengambil bukan member. Betatapun rendahnya, eros menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Ia juga ingin memberikan kehangatan, kerinduan, dan keinginan untuk bergabung dan bersama. Dengan segala keburukannya, eros mengantarkan sebagian di antara kita kepada cinta yang lebih luhur, yaitu philos dan agape. Philos adalah cinta yang tumbuh dari persahabatan mendalam. Tahap ini mengajarkan kita bukan hanya menuntut, tetapi juga berbagi. Juga mengajarkan berempati dengan semua orang. Yang menarik kita bukan lagi individu, tetapi hubungan sosial, bukan senyuman tetapi keakraban, bukan pemberian tetapi kebersamaan. Agape adalah tahap paling tinggi. Cinta ini ditandai dengan perhatian yang aktif pada orang kita cintai, keinginan untuk diterima di sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih. Agape adalah cinta spiritual, yang sudah jauh menyelam dari daratan badaniah menuju kedalaman ruhaniah. Pada tingkat manakah mau kita letakkan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW ?



Cinta Yang Sebenarnya
            Mencintai Rasulullah SAW tidak bisa kita samakan dengan kecintaan kita kepada seorang gadis. Untuk mencintai Rasulullah SAW, yang harus kita bayangkan adalah keagungan kepribadiannya, bukan citra fisiknya. Pertama-tama, gerakkanlah diri kita dari eros ke philos. Seperti kata Jalaluddin Rakhmat (1998), belajarlah menggabungkan diri kita secara rohaniah dengan Rasulullah SAW, para nabi, dan orang-orang saleh. Allah berfirman :“Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul, maka ia akan bersama orang-orang yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, yakni para nabi, orang-orang benar, syuhada, dan orang-orang saleh. Alangkah bagusnya bergabung bersama mereka (QS 4:69)”.
            Di dalam Alquran juga digambarkan tentang keagungan pribadi Rasul sebagai berikut :”Telah datang kepadamu seorang Rasul dari antara kamu. Berat baginya apa yang kamu derita, sangat ingin agar kamu mendapat kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang yang beriman (QS 9:28)”.
Inilah Nabi yang membasahi janggutnya dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang suka dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya. Inilah Nabi yang ketika menjelang wafatnya mengucapkan ummati, ummati (umatku, umatku), yang menunjukkan kasih sayang dan cintanya yang tulus dan mendalam kepada umatnya.
Perhatikan doa Muhammad Iqbal, sang filosof, ketika sakit : “Tuhanku, sekiranya Engkau mengadili aku pada hari kiamat, jangan dampingkan aku dengan Nabi al-Musthafa. Aku mengaku sebagai umatnya, padahal hidupku bergelimang dosa”. Inilah cinta yang sebenarnya untuk Nabi Muhammad SAW. Lewat momentum Maulid Nabi, mari kita meneguhkan kembali cinta kepada Rasulullah SAW dengan sebenar-benarnya cinta.

Penulis adalah Guru serta pemerhati sejarah dan ilmu-ilmu sosial

Kesenian Rebana


KESENIAN REBANA
Oleh: Muh. Mujibur Rohman

BAB I
PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki lima substansi utama, salah satunya adalah sistem sosial budaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Berdasarkan batasan tersebut, sistem sosial budaya dapat diartikan sebagai seperangkat unsur sosial budaya yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Kata totalitas menggambarkan keseluruhan unsur sosial budaya itu saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh. Koentjaraningrat menyebutkan adanya tujuh komponen sistem sosial budaya, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup atau teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kepercayaan hidup, serta sistem kesenian.
            Mengenai sistem kesenian, kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari kesenian-kesenian yang dimiliki oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah Suku Jawa. Suku Jawa adalah suku bangsa yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Di dalam Suku Jawa terdapat daerah-daerah yang disebut kejawen (dapat disebut daerah “pedalaman”), seperti Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan daerah-daerah di sekitarnya. Sedangkan daerah-daerah di luar ini dinamakan pesisir, seperti Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Demak, dan daerah-daerah sekitarnya. Ada perbedaan corak budaya antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisiran.          Dalam hal kesenian, corak seni antara daerah-daerah di pesisir dengan daerah-daerah pedalaman memiliki perbedaan. Dalam banyak hal, dapat diketahui bahwa sistem kesenian erat sekali hubungannya dengan unsur budaya lainnya, terutama unsur religi atau keagamaan. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat pesisiran. Di daerah-daerah pesisir banyak kesenian yang bernafaskan agama Islam. Salah satunya adalah kesenian rebana atau terbangan. Rebana bukan kesenian asli Indonesia, tetapi telah popular di kalangan masyarakat pesisir, seperti di daerah Jepara dan Demak. Musik yang lebih menonjolkan suara rampak dari keteplak, jidor, genjer, dan icik-icik tersebut merupakan musik yang bernapaskan agama Islam yang dibawa dari Timur Tengah. Penggunaan alat musik rebana banyak digunakan untuk mengiringi acara-acara seperti pernikahan, tasyakuran, khitanan, tingkeban, dan lain-lain. Bunyi rebana, kentrung, keteplak, dan jidor yang dipukul beradu dengan salawat badar, menciptakan harmoni tersendiri, sehingga berbeda dengan alat-alat musik lainnya.


























BAB II
PEMBAHASAN


Rebana atau yang dalam istilah jawa lebih akrab disebut "Terbang" atau “Terbangan”, dikenal sebagai salah satu instrument khas pengiring alunan musik atau syair-syair arab. Alat musik yang terbuat dari kulit kambing yang dikeringkan tersebut memiliki sejarah yang demikian tua.
Secara historis, dapat diketahui masyarakat Madinah pada abad ke-6 telah menggunakan rebana sebagai musik pengiring dalam acara penyambutaan atas kedatangan Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Makkah. Masyarakat Madinah kala itu menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan qasidah Thaala'al Badru yang diiringi dengan rebana, sebagai ungkapan rasa bahagia atas kehadiran seorang Rasul ke bumi itu. Kemudian rebana digunakan sebagai sarana dakwah para penyebar Islam. Dengan melantunkan syair-syair indah yang diiringi rebana, pesan-pesan mulia agama Islam mampu dikemas dan disajikan lewat sentuhan seni artistic musik Islami yang khas.
Di Indonesia, sekitar abad 13 Hijriyah seorang ulama' besar dari negeri Yaman yang bernama Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi datang ke tanah air dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Di samping itu, beliau juga membawa sebuah kesenian Arab berupa pembacaan qosidah yang diiringi rebana ala Habsyi dengan cara mendirikan majlis sholawat dan pujian-pujian kepada Rasulullah sebagai sarana mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah SAW.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Jawa. Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul Simthu Al-Duror yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan Madaih (pujian-pujian) kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad SAW, kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana. Sehingga sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat, khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw, sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Kegiatan membaca qasidah - qasidah dan pujian – pujian kepada Rasulullah (hadlrah) yang diiringi dengan alat musik rebana sangat diminati oleh masyarakat muslim yang cinta kepada Nabinya. Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap minggu majlis hadlrah ini diadakan, seringnya pada malam Jum'at, karena sebagaimana Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak membaca shalawat pada malam Jum'at dan ada juga yang malam Senin dikarenakan malam itu adalah malam kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Menurut Prof. KH. Mustafa Ali Ya'qub, MA, kata Hadlrah itu secara bahasa berarti hadapan atau haribaan Hal ini karena dalam seni hadlrah itu lazimnya diawali dengan membaca surah al-Fatikhah atau bacaan- bacan lain yang pahalanya dihadiahkan kepada Rasulullah dan para tokoh yang sudah wafat yang dinilai telah berjasa bagi dakwah Islam. Ketika hendak membaca surah al-Fatikhah itu, diawali membaca Ilaa Hadlrati……..(ke haribaan……). Dari kebiasaan inilah tampaknya kesenian ini dinamakan "Hadlrah". Tapi yang lebih popular dikalangan kaum muslimin pecinta sholawat dan ahli thariqah, nama hadlrah berasal dari kata "hadlara" yang berarti hadir, karena setiap ada majlis yang mengadakan acara pembacaan sholawat dan pujian kepada Rasul, maka seketika itu juga akan dihadiri oleh arwah anbiya', auliya' dan sholihin serta dipenuhi oleh para malaikat rahmat.
Disamping nama hadlrah, juga sebagian masyarakat menamainya dengan "Duroran" dikarenakan kitab yang dibaca berjudul "Simthu Al-Duror" yang dikarang oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, didalamnya berisi tentang hikayat Rasulullah dari sebelum lahir sampai beliau wafat dan beberapa shalawat beserta pujian kepada Beliau. Dan sebagian masyarakat menamainya juga dengan "Habsyian" yang dinisbatkan kepada marga atau nama asal daerah si pengarang kitab tersebut yaitu Al-Habsyi, sebagaimana seringnya masyarakat menamai kegiatan membaca kitab Al-Barzanji dengan nama "Barzanjian" dan kegiatan membaca kitab Al-Dziba' dengan nama "Dziba'an".

B. Perkembangan Kesenian Rebana Hadlrah sebagai Seni Budaya Islam di Masyarakat Pesisir
Di daerah-daerah pesisir, seperti di Pekalongan, Demak, dan Jepara, kegiatan majlis hadlrah yang menggunakan alat musik rebana telah berkembang dengan pesat. Awalnya kegiatan hadlrah ini dilakukan hanya sebagai ritual saja dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, akan tetapi dengan cintanya masyarakat akan bacaan-bacaan shalawat dan madaih, hampir setiap mengadakan acara tasyakuran baik pernikahan, khitanan, tingkeban (ketika janin si ibu berumur 7 bulan) maupun kelahiran bayi dan acara-acara yang lainnya masyarakat sering mengundang majlis hadlrah ini untuk membacakan sholawat dan madaihnya demi mendapatkan limpahan keberkahan Allah dan syafa'at Rasulullah dari bacaan-bacaan tersebut.
Namun dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, banyak ditemukan berbagai jenis alat musik baru yang kehadirannya dapat menggeser alat musik tradisional Islam, termasuk rebana. Dengan dalih ketinggalan zaman dan kolot, alat-alat musik tradisional Islam itu mulai ditinggalkan dan jarang dimainkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan para musikus Islam modern. Mereka berusaha sedini mungkin untuk mengkolaborasikan alat-alat tradisional tersebut dengan alat-alat musik modern. Sehingga dengan penampilan seperti inilah seni tradisi Islam tetap terlestarikan. Dari sinilah muncul seni baru Islam, yaitu rebana hadlrah modern. Seni ini masih menggunakan alat-alat musik tradisional, akan tetapi diselingi juga dengan alat musik modern, sehingga akan mudah untuk diterima oleh masyarakat kini dan tidak menjenuhkan. Usaha mereka tidaklah sia-sia, terbukti di tanah air sendiri jumlah grup rebana hadlrah modern sudah mencapai ribuan. Bahkan banyak sudah yang masuk dapur rekaman dan omset penjualan kaset hampir menyamai lagu dengan musik-musik modern. Fenomena ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat pesisir dalam menghadiri setiap even yang mempertunjukkan kesenian rebana. Di luar negeri, Kairo misalnya, seni ini sangat ditunggu-tunggu kehadirannya, terbukti dari banyaknya undangan untuk tampil dari mancanegara yang dialamatkan ke sebuah grup rebana, akan tetapi belum bisa memenuhinya secara keseluruhan karena keterbatasan alat-alat musik yang masih sederhana. Semua ini tak lebih adalah sebagai bagian dari usaha generasi baru Islam untuk menjaga dan membangkitkan kreatifitas seni budaya Islam yang telah ada, sehingga tetap lestari dan tidak hilang begitu saja.

 

sejarah Shalawat badar


BERJUANG LEWAT LAGU:
Aspek  Historis  Shalawat Badar Sebagai Alat Perjuangan Kaum Nahdliyyin
Oleh : M. Mujibur Rohman*

A. Pendahuluan
Lahirnya sebuah karya sastra tidak terlepas dari kondisi pengarang maupun situasi sosial yang melatarbelakanginya. Salah satu karya sastra yang seakan menjadi “lagu wajib” kaum Nahdliyin adalah Shalawat Badar. Shalawat ini adalah hasil karya Kiai Ali Manshur, salah seorang warga Nahdlatul Ulama (NU). Shalawat ini berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair, dinyanyikan dengan lagu yang khas. Kemunculan shalawat Badar ini tidak terlepas dari situasi sosial pada waktu itu, yakni kurun tahun 1960-1966 di mana terjadi sehingga mempunyai pengaruh dalam lahirnya Shalawat Badar.  Tahun 1960-1966 ini merupakan masa gegap gempita politik di Indonesia. Pada pertengahan tahun 1960-an ada akar ketegangan kehidupan sosial politik dan ekonomi yang dimulai pada masa sebelumnya. Salah satunya adalah pertentangan dua partai besar pada waktu itu, yaitu NU dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pertentangan ini juga terjadi di tingkat akar rumput, termasuk di daerah Banyuwangi Jawa Timur.
Kelahiran Shalawat Badar dilatarbelakangi situasi sosial-politik pada masa itu yang penuh dengan konflik. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Banyuwangi yang notabene merupakan “background spatial” lahirnya Shalawat Badar. Kabupaten Banyuwangi adalah Kabupaten paling timur di Propinsi Jawa Timur yang sudah termasyur kekayaan alamnya. Selain kaya akan hasil alamnya, Banyuwangi juga terkenal akan kekayaan seni budayanya. Dalam perkembangannya kemudian, kemunculan partai politik di tingkat nasional menjalar pula hingga ke daerah seperti Banyuwangi. Bibit-bibit PKI di banyuwangi muncul, diperkirakan berasal dari pengikut-pengikut Sarekat Islam yang akhirnya pecah menjadi dua kelompok, Kelompok kanan dan kelompok kiri atau merah. Sarekat Islam kelompok merah inilah yang akhirnya berfusi ke Indische Social Demokratische Vereeniging atau ISDV (embrio sebelum akhirnya berganti nama menjadi PKI).
Di awal tahun 1965 PKI di Banyuwangi memperoleh suara mayoritas mengalahkan PNI dan NU. Hal ini menjadikan PKI lebih agresif daripada tahun-tahun sebelumnya. Aksi-aksi sepihak juga terjadi di Banyuwangi dan lagu Genjer-genjer ciptaan seniman Banyuwangi menjadi “lagu wajib” perjuangan PKI, yang dikumandangkan saat pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan PKI lainnya. Latar belakang konflik inilah yang melahirkan lagu Shalawat Badar sebagai tandingan dari lagu Genjer-genjer kepunyaan PKI. Shalawat ini adalah hasil karya Kiai. Ali Manshur, yang merupakan cucu KH. Muhammad Shiddiq, Jember.
Diceritakan bahwa asal mula karya ini ditulis oleh Kiai Ali Manshur sekitar tahun 1960an. Ketika itu, Kiai Ali adalah Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di situ. Latar belakangnya sebagai pemimpin agama (kiai) dari NU menjadikan ia merasakan efek dari pertentangan NU-PKI di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi tempat ia berasal.
Golongan kiai merupakan salah satu dari apa yang PKI sebut sebagai tujuh setan desa. Tujuh setan desa yang salah satunya adalah pengirim zakat juga dialamatkan kepada golongan kiai. Banyak kiai menjadi sasaran aksi-aksi sepihak para pengikut PKI. Termasuk juga kepada Kiai. Ali Mansur. Oleh karena itu, atas dasar keprihatinannya terhadap situasi di Banyuwangi yang menurutnya berbahaya bagi NU, Kiai Ali Mansur mencipatakan gubahan Shalawat yang dinamainya “Shalawat Badar”. Shalawat Badar adalah rangkaian shalawat berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w, serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Nama “Badar” menunjukkan perang yang terjadi di masa Nabi Muhammad yang menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan Islam.
Proses terciptanya teks Shalawat Badar ini diselubungi fenomena berbau mistis-agamis dan supranatural (suatu hal yang umum dikenal dalam warga NU). Ceritanya sebagai berikut: Konon, pada suatu malam, Kiai Ali Mansur tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu. Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa Arab.
Penciptaan teks ini juga diilhami mimpi Kiai Ali Mansur yang bertemu dengan para habib yang berbaju putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi (juga seorang tokoh agama terkenal Banyuwangi). Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhi.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar. Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur dalam forum pertemuan para kiai dan Habib di Jakarta sehingga sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.
Dengan adanya fenomena ini semakin memperkuat kepercayaan warga NU bahwa Shalawat Badar dapat menambah ”kekuatan” mental dan spiritual mereka untuk meredam agresivitas PKI. Dalam setiap kegiatan, seperti pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan di mana massa berkumpul, jika orang-orang PKI menyanyikan lagu Genjer-genjer, maka jika warga NU mengadakan pawai maupun rapat dikumandangkanlah Shalawat Badar sebagai mars perjuangannya. Ini menunjukkan bahwa di samping ada konflik fisik, juga terdapat perang budaya lewat karya sastra NU dan PKI, yaitu Shalawat Badar vs Genjer-genjer.

Penulis adalah Guru serta Pemerhati sejarah dan ilmu sosial