PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL DAN PROBLEMNYA DI INDONESIA
*M. Mujibur Rohman
*M. Mujibur Rohman
A. Pengertian
Pendidikan Multikultural
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara
Indonesia yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas
menandakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya,
suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Kelompok-kolompok budaya seperti
Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, Papua dan lain-lain adalah
contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia disebut
sebagai negara multikultural.
Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa
persoalan, misalnya perkelahian antarsuku, separatisme, dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Untuk memecahkan masalah
tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi, salah satunya adalah model pendidikan
yang bersifat multikultural.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan
yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan model
pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia mampu menerima, menolerir, dan
menghargai keragaman yang ada di Indonesia. Dalam dunia pendidikan multikultural, seorang pendidik
seharusnya tidak saja profesional dalam bidang akademik, tetapi juga harus
mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural itu, yakni
demokrasi, humanisme, dan pluralisme.
Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjawab
tantangan zaman di masa globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak
ukur dan standar mengenai seberapa jauh suatu negara mampu bersaing di dunia
internasional. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara, maka negara itu
semakin siap dalam menghadapi persaingan global.
Multikulturalisme
berasal dari kata “multi” yang berarti plural, “kultural” yang berarti kultur
atau budaya, dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Dalam perkembangannya,
multikulturalisme tidak lebih dari sebuah istilah yang menyempurnakan gagasan
sebelumnya yaitu pluralisme.
Multikulturalisme
adalah respon terhadap realitas, dimana masyarakat selalu menjadi plural
(jamak) dan tidak monolitik. Keanekaragaman membawa perbedaan dan dapat
berujung pada konflik. Namun bukan berarti konflik selalu disebabkan oleh
perbedaan. Dari sudut pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan pandangan
hidup penting untuk diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di
Indonesia masih awam, sehingga sangat rawan dengan konflik dan kekerasan.
James A. Banks
memberikan pengertian tentang Pendidikan Multikultural
sebagai konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai
sebuah gerakan reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi
di sekolah, sehingga peserta didik baik dari kelompok gender maupun dari
kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan mendapat
kesempatan yang sama untuk menyelesaikan sekolah.
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan
pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan
mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek
diskriminatif di dalam pendidikan. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan
dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman pendidikan dalam mewujudkan
semua potensinya secara penuh dan mewujudkan manusia yang sadar dan aktif
secara lokal, nasional, dan global.
B. Problem
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Penerapan pendidikan multikultural
di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan
multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem
yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi,
sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem
pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan
pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.
1. Problem
Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Dalam studi sosial,
ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini
merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya
nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada
keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin perlunya
kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Tetapi, dalam implementasinya
pendidikan multikultural berhadapan dengan beragam problem di masyarakat, yang
menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan.
Problem-problem tersebut antara lain :
a. Keragaman
identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi
modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya
khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural.
Namun kondisi neka-budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan
subur bagi konflik dan kecembururuan sosial. Masalah ini muncul jika tidak ada
komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
berbagai kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik dan menghambat
proses pendidikan multikultural.
Dalam
mengantisipasi hal ini, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang
mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu
manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk
ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural.
Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga
daerah tertentu bisa saling mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling
berkomunikasi.
b. Pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah
Sejak dilanda arus
reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan para beragam tantangan baru
yang sangat kompleks. Salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah
persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan dari pusat
ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan
keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan
masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah
kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan
dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep
“putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun
memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu
diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos
penting memang diperlukan agar agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan
berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah asas
kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus dihembuskan justru akan
membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Oleh karena itu,
pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang urgen untuk mengurai
pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu kedaerahan sehingga timbul
toleransi dan harmonisasi.
c. Kurang kokohnya
nasionalisme
Keragaman budaya ini
membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluraritas negeri ini. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara berfungsi
sebagai integrating force. Saat ini
Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu
kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan
orang dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan
cara-cara yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan.
Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh untuk menyatukan
kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk
meredam dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan untuk memperkokoh
nasionalisme dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.
d. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti
luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang
menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar, paling baik dan kelompok lain
harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini
banyak terjadi di masyarakat. Gejala bonek (bondo nekat) di kalangan supporter
sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola
daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan
memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini tidak sehat. Apalagi
bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso,
Sulawesi Tengah) maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi
bangsa. Di sini pendidikan multikultural memiliki peran yang penting sebagai
wahana peredam fanatisme sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural
terkandung ajaran untuk menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun
berbeda suku, agama, rasa atau golongan.
e. Konflik kesatuan
nasional dan multikultural
Ada tarik menarik
antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi
ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas
nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep
stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika
kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti
terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa.
Di
sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah
pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua
Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani
berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan
multikultural.
f. Kesejahteraan
ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Kejadian yang nampak
bernuansa SARA seperti Sampit beberapa tahun yang lalu setelah diselidiki
ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang
memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi
beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu
oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Orang
akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika
himpitan ekonomi mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada
kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa orang untuk bertindak
destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan multikultural diharapkan dapat
mendidik seseorang untuk berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu,
pendidikan multikultural diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan yang
dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari beragam lapisan,
seperti si kaya dan si miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk itu
pendidikan multikultural perlu diajarkan untuk saling menghormati dan
menghargai satu sama lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu
berasal.
2. Problem
Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural
yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari
berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan multikultural
juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam kerangka
strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya
proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun
demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya
tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen
pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa
permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap
persiapan awal, antara lain :
Ø Guru
kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.
Ø Guru
kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya,
terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
Ø Rendahnya
kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan,
dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing
dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang
diperoleh.
Pada kenyataannya
berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah
dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta
didiknya sangat beragam, antara lain :
a.
Masalah
seleksi dan integrasi isi (content
selection and integration) mata pelajaran
Implementasi pendidikan
mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata
pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan
guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata
pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan
budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi
kurang bermakna bagi peserta didik.
Untuk mengatasi problem
di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu
diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau
materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang
perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya
sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan
akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat
menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan
integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
b. Masalah “proses
mengkonstrusikan pengetahuan” (the
knowledge construction process)
Selain masalah seleksi
dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi sebuah
pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta
didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat
memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan
yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul
kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu
peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga
masih banyak yang belum dapat menggunakan frame
of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif
ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman
budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam
mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan.
Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi
pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang
menjadi pokok bahasan pembelajaran.
c.
Masalah
mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain
yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari
peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur
budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa
strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah
kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta
didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi
tidak berprasangka bahwa guru cenderung
mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di
Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan
mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali),
Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh
yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur
budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan
saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
d.
Masalah
kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul
apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan
(secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau
memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai
sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru
harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema
tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat
menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti
Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak
(Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan
pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai problem atau
masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem
kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural.
*Penulis adalah Guru serta pemerhati sejarah dan ilmu sosial
DAFTAR
PUSTAKA
Banks,
James. A. 1993. Multicultural Education:
Issues and Perspective. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon.
Gorski,
Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd
For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, http/www.
Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.
Koentjaraningrat.
2000. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rahmat, Pupu Saeful. 2008. Wacana
Pendidikan Multikultural di Indonesia. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia,
diakses tanggal 1 Juli 2011.
Sutarno.
2007. Pendidikan Multikultural.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Tilaar,
H.A.R. 2004. Multikulturalisme :
Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta
: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
No comments:
Post a Comment