History

History
"History Make Me Happy"

Friday 26 August 2016

SHIPPING IN THE ARCHIPELAGO AT 15th-17th CENTURY
In the 15th century in Indonesia began to appear towns or port-emporiums. Port cities it developed in synergy with the development of Islam. This can be seen in the fact that the development of Islam in Indonesia is through the areas or the port cities such as Samudra Pasai, Aceh, Malacca, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, and others. Between the port city with one another to hold mutual trade interactions. Of course, this activity using cruise lines as ingredients.
     With regard to shipping activities in the period of 15-17 century, it can not be separated from what is termed a shipbuilding technology. At that time there were already shipbuilding tradition that used to sail across the islands of the archipelago and to transport the goods of the trade. Shipbuilding tradition indigenous undergone significant changes since the arrival of Portuguese ships in the waters of the archipelago. This happens because a lot of the Portuguese working as an advisor and architect of the ship as was done by Van Linschotten in the late 16th century.

Friday 19 August 2016

SEJARAH WAYANG WONG NGESTI PANDAWA SEMARANG

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan kesenian rakyat. Tiap-tiap pulau di Indonesia mempunyai budaya dan kesenian rakyat atau kesenian tradisional  yang berbeda-beda. Kesenian tradisional, menurut A. Kasim Ahmad dalam majalah Analisis kebudayaan adalah suatu bentuk seni yang bersumber dari gerakan serta dirasakan sebagai hak milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Salah satunya di Pulau Jawa, dimana terdapat kesenian Wayang yang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia. Brandes berpendapat bahwa wayang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sosial, kultural, dan religius suku bangsa Jawa. Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang berubah, dan dapat berarti pertunjukkan. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukkan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam pertunjukkan wayang dikenal sebagai Dalang.
DINAMIKA PERJUANGAN BERSENJATA DAN PERJUANGAN DIPLOMASI DALAM SEJARAH KONTEMPORER INDONESIA

Dalam sejarah kontemporer Indonesia, dikenal dua bentuk strategi perjuangan, yaitu diplomasi dan perjuangan bersenjata. Perjuangan diplomasi dapat berjalan searah dengan perjuangan bersenjata maupun dapat berjalan berlawanan. Hal ini dapat dilihat ketika masa setelah Indonesia merdeka atau masa revolusi dan perjuangan merebut Irian Barat. Strategi diplomasi dan perjuangan bersenjata ketika masa revolusi (perang kemerdekaan), keduanya sama-sama digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan republik terhadap aksi polisionil Belanda.
     Dalam konteks perjuangan diplomasi dengan Belanda, ada dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang strategi perjuangan ini. Kelompok pertama diwakili oleh Sjahrir, yang ketika menjadi perdana menteri lebih menekankan dan mengutamakan diplomasi daripada gerakan bersenjata. Hal ini dilatarbelakangi pandangan Sjahrir tentang kedudukan Indonesia yang masih sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di bawah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara muda yang masih sangat rapuh ini untuk memusuhi mereka. Sjahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak terundang untuk mendukung Belanda secara penuh”.
Review Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia


A. Melihat kembali Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia

Buku yang berjudul ”Denyut Nadi Revolusi Indonesia” ini merupakan kumpulan artikel dari beberapa orang yang menulis seputar Revolusi Indonesia. Secara garis besar buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia terbagi atas empat bagian. Bagian pertama berisi tentang masa revolusi dalam konteks sejarah pembentukan bangsa dan negara Indonesia, makna dari pengalaman revolusi serta perdebatan antara “pendiri bangsa” tentang sifat revolusi. Revolusi merupakan proses perubahan cepat yang mencakup bidang yang luas dan dalam waktu yang relatif pendek. Sebagai proses perubahan, revolusi yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 telah melepaskan demikian banyak energi rakyat Indonesia yang terpendam demikian lama akibat represi kolonial. Indonesia pasca revolusi tidak pernah lagi akan serupa Indonesia pra revolusi.
JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.2)

B.     Jawa dan Kebatinan
    Kebatinan (dari batin: tersembunyi, rahasia ) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai semacam mikrokosmos (jagat cilik) terhadap makrokosmos (jagat gedhe) atau hidup.  Orang yang melakukan kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula-Gusti) dan yang merupakan awal-mula serta tujuan segala-galanya (Sangkan-paran).
JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.1)

A.      Manusia Jawa dan Kejawen
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Arti umum menurut kamus bagi istilah Kejawen atau kejawaan dalam bahasa Inggris adalah Javaneseness, Javanism, yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan sebagai berasal dari masa Hindu Budha dalam sejarah Jawa dan bergabung dalam suatu filsafat, yaitu suatu sistem khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan.
     Sebagai suatu sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik, dan sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (Mulder, 1985). Singkatnya, Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang  menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan sebagaimana rupanya.
DINAMIKA PELAYARAN DI NUSANTARA ABAD KE 15 – 17 M
Pada abad ke 15 di Indonesia mulai bermunculan kota-kota pelabuhan atau emporium-emporium. Kota-kota pelabuhan itu berkembang secara sinergi dengan perkembangan agama Islam. Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa berkembangnya agama Islam di Indonesia adalah melalui daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan seperti Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, dan lain-lain. Antara kota pelabuhan yang satu dengan yang lain saling mengadakan interaksi perdagangan. Sudah barang tentu aktivitas ini menggunakan jalur pelayaran sebagai sarananya.
     Berkenaan dengan aktivitas pelayaran dalam kurun waktu abad 15-17, maka tidak terlepas dari apa yang disebut sebagi teknologi perkapalan. Pada masa itu sudah terdapat tradisi pembuatan kapal yang digunakan untuk berlayar mengarungi pulau-pulau di nusantara serta untuk mengangkut barang-barang hasil perdagangan. Tradisi pembuatan kapal pribumi mengalami perubahan signifikan sejak kedatangan kapal-kapal Portugis di perairan nusantara. Hal ini terjadi karena banyak orang Portugis bekerja sebagai penasehat dan arsitek kapal seperti yang dilakukan oleh Van Linschotten pada akhir abad ke-16.
SEJARAH SEMARANG SEBAGAI KOTA PELABUHAN
Salah satu kota pelabuhan yang cukup terkenal adalah Semarang. Ditinjau dari sudut morfologinya, letak geografis kota Semarang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota atas atau daerah Bukit Candi yang biasa disebut dengan istilah kota atas (bovenstad) dan daerah rendah atau daerah alluvial disebut kota bawah (benedenstad). Diperkirakan daratan alluvial itu secara alami selalu makin bertambah antara 8-12 M pada setiap tahunnya. Pertambahan itu terutama sebagai pengendapan lumpur yang dibawa oleh Sungai Kaligarang atau Sungai Semarang yang pada jaman kolonial Belanda tampak melewati dan membelah kota Semarang.
NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Pergerakan Nasional Indonesia
 (Bag.3)

C. Peranan Nahdlatul Ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia
Di luar upaya-upaya transformasi sosial dalam berbagai bidang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, NU juga berperan penting dalam pembentukan sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Dan hal itu sudah dilakukan sejal awal tahun 1930-an, ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Terkait dengan peran ini, salah satu sumbangan penting NU adalah keputusan Muktamar XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menegaskan bahwa nama negara adalah “Indonesia”. Keputusan yang berawal dari satu materi yang dikaji dalam Bahtsul Masa’il ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) dan dikaji dalam perspektif syariat Islam ini, mempunyai dampak yang luar biasa terhadap proses pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal itu karena keputusan ini paralel dengan gerakan kaum nasionalis sekuler bangsa Indonesia pada saat itu, yang sedang sangat membutuhkan dukungan dengan legitimasi  kuat dari berbagai kalangan. Pengaruhnya jadi semakin signifikan karena keputusan muktamar NU ini dilakukan di satu wilayah yang jauh dari pusat gerakan nasionalisme bangsa Indonesia.
NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Pergerakan Nasional Indonesia
 (Bag.2)

B. Perkembangan Nahdlatul Ulama
Organisasi Nahdlatul Ulama berkembang pesat selama lima belas tahun pertama setelah pembentukannya. Data statistik mengenai periode ini sangat langka, tetapi beberapa petunjuk mengenai pola pertumbuhannya terlihat jelas dari angka-angka berikut ini. Muktamar pertama NU pada tahun 1926 dihadiri 96 kiai. Muktamar kedua, setahun kemudian dihadiri 146 kiai dan 242 peserta biasa. Pada muktamar tahun 1928, sebanyak 280 kiai hadir dan 35 cabang telah terbentuk. Pada tahun 1933 anggotanya diperkirakan telah mencapai 40.000 dan setahun kemudian sumber dari pemerintah Belanda menyatakan bahwa 400 kiai sudah menjadi anggota NU. Pada tahun 1935 jumlah anggotanya melonjak, mencapai 67.000 orang, yang tersebar di 76 cabang (Fealy, 1994).
NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Pergerakan Nasional Indonesia
 (Bag.1)

A. Latar Belakang Terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU)
Secara historis, kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) tidak terlepas dari keadaan dunia Islam internasional, terutama di wilayah Timur Tengah. Dalam dunia Islam saat itu sedang muncul gerakan pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh, yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang begitu berpihak pada ahli hadis. Gerakan ini kemudian mengembangkan dan menyebarkan paham, yang sejauh ini dikembangkan oleh Wahabi. Gerakan Wahabi secara tegas kurang begitu mengakui keberadaan Imam Mazhab, bahkan menganjurkan umat Islam agar melepaskan diri dari keterikatan pada mazhab. Isu dominan yang diintrodusir oleh mereka adalah anjuran agar umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan dan melepaskan keterikatan dengan ulama mazhab, termasuk juga penolakan terhadap tarekat (PP Ma’arif NU, 2004).
CORAK PERGOLAKAN SOSIAL DALAM SEJARAH INDONESIA
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia terus-menerus timbul pergolakan, kerusuhan, kegaduhan, aksi protes, dan sebagainya, yang semuanya itu cukup menggoncangkan masyarakat dan pemerintah pada waktu itu. Gerakan-gerakan rakyat itu pada umumnya dianggap sebagai gerakan yang bersifat arkais, baik dari segi organisasinya, programnya, strategi dan taktiknya, sehingga pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan mereka mudah sekali ditindas oleh kekuatan militer kolonial.
    Pada umumnya gerakan-gerakan semacam itu umurnya sangat pendek dan merupakan pergolakan lokal atau regional yang tidak ada koordinasi satu sama lain. Selain sifatnya yang tradisional arkais, gerakan sosial juga memiliki orientasi tujuan yang masih kabur serta pengikut atau pelaku-pelakunya tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang bagaimana tata masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan andaikata perjuangan itu dapat mencapai kemenangan.
FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.4)

D. Perbandingan dari Folklor Jepang dan Indonesia
     Dengan mempelajari folklor kedua negara ini, maka akan menemukan banyak persamaan disamping perbedaan. Misalnya mengenai keyakinan rakyat (folk beliefs), secara mendasar ada persamaan di antara keyakinan rakyat Jepang dengan keyakinan orang Jawa di kalangan Abangan dan orang Bali, terutama pada kepercayaan mengenai alam gaib dan konsep rakyat jelata mengenai keadaan “tercemar” (polluted state) dari kaum wanita selama menstruasi serta pada waktu melahirkan anak, karena mengeluarkan darah, yang di pulau Bali disebut keadaan sebel.
FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.3)

C. Motivasi Penelitian Folklor di Indonesia dan Jepang
Motivasi penelitian folklor di kedua negara (Indonesia dan Jepang) pada dasarnya sama, yakni untuk mencari identitas bangsanya masing-masing. Yang membedakan hanya penyebab timbulnya motivasi untuk meneliti folklor di kedua negara tersebut.
     Kebudayaan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam : kebudayaan nasional dan kebudayaan nusantara. Kebudayaan nasional yaitu kebudayaan yang berlaku bagi semua bangsa Indonesia, baik yang pribumi maupun bukan yang pribumi, sedangkan kebudayaan nusantara yaitu kebudayaan yang sudah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia. Kebudayaan tersebut antara lain kebudayaan Batak, Jawa, Sunda, Minangkabau, Bugis, Asmat dan lain-lain. Jika kebudayaan-kebudayaan nusantara sudah mantap, maka kebudayaan nasional Indonesia belum.
FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.2)

B. Sejarah Penelitian folklor Jepang dan Indonesia
Seperti halnya di Indonesia, folklor sudah lama dikumpulkan orang di Jepang, terutama oleh ahli-ahli dari kalangan ilmu humaniora. Perbedaannya, di Jepang sejak dahulu para pengumpulnya adalah orang Jepang sendiri. Sedangkan di Indonesia, para pengumpulnya pada masa lalu pada umumnya orang Eropa, terutama orang Belanda. Selain itu di Indonesia bahan-bahan folklor dikumpulkan bukan oleh ahli-ahli folklor, melainkan oleh ahli-ahli dari disiplin lain seperti filologi, antropologi budaya, musikologi, teologi, para pegawai pangreh praja kolonial Belanda dan sebagainya. Sedangkan di Jepang folklor sudah dikumpulkan oleh ahli yang menyebutkan dirinya ahli atau pencinta folklor.
FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.1)

A.    Hakikat Folklor Jepang dan Folklor Indonesia

Folklor Jepang yaitu sebagian dari kebudayaan Jepang yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional, dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat, atau alat pengingat (mnemonic device). Sedangkan pengertian Folklor Indonesia juga hampir sama dengan Folklor Jepang, yakni sebagian kebudayaan Indonesia yang disebarkan dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
RAYMOND FIRTH AND SYMBOLISM

Raymond Firth discuss in detail the symbols associated with the body and hair, with food and flags, with members and received, with the status and role. His theory is based on his own experience of living together with the people of Tikopia of Polynesia West. According to Raymond Firth, the nature of symbolism lies in the recognition that it is a reference to (represent) the other and the relationship between the two is essentially the concrete relationship with the abstract, the particulars to the general.
     In his view the symbols defined as the ability to express and conceal a double, or even the ability to express something to hide, and hide something to declare. The relationship is such that the symbol of itself seems to have the ability to inflict and accept the consequences in other circumstances only for objects that represented the symbol. Consequences that often have strong emotional content.
    Firth looked symbol has an important role in human affairs. According to him, people organize and interpret reality with symbols and even reconstruct reality with symbols. Moreover, a symbol not only serves to create order. A symbol can be a means to enforce the social order or to arouse social compliance-compliance. Additionally, a symbol can sometimes fulfill a function that is more private and individual, although it is not easy to recognize the value of a symbol that does not have a reference to the broader social experience.

Thursday 18 August 2016

HAKEKAT SIMBOLISME MENURUT RAYMOND FIRTH
Raymond Firth membicarakan secara detail simbol-simbol yang terkait dengan tubuh dan rambut, dengan makanan dan bendera, dengan member dan menerima, dengan status dan peran. Teorinya berdasarkan pengalamannya sendiri hidup bersama dengan bangsa Tikopia dari Polynesia Barat. Menurut Raymond Firth, hakekat simbolisme terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu mengacu kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada hakekatnya adalah hubungan hal yang konkret dengan yang abstrak, hal yang khusus dengan yang umum.
Dalam pandangannya simbol dirumuskan sebagai kemampuan ganda untuk menyatakan dan menyembunyikan, atau bahkan kemampuan untuk menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan menyembunyikan sesuatu dengan menyatakannya. Hubungan itu sedemikian rupa sehingga simbol dari dirinya sendiri tampak mempunyai kemampuan untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan lain hanya diperuntukkan bagi obyek yang diwakili simbol tersebut. Akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat.
Firth memandang simbol mempunyai peranan yang penting dalam urusan manusia. Menurutnya, manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya itu dengan simbol. Tambahan pula, simbol tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan. Sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Selain itu, sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas. 
RELASI ANTARA WUJUD KEBUDAYAAN DENGAN
 UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
1.        Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak yang terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku.
2.        Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3.        Material (karya/artefak)
Material adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
1. Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan.
2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
3. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang: flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia.
4. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk: lisan dan tulisan.
5. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vocal, music, bangunan, kesusastraan, dan drama.
6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan perdagangan.
7. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi: produksi, distribusi, transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, dan senjata.

TEORI PSIKOLOGI SELF IN RELATION DAN TERBENTUKNYA IDENTITAS SOSIAL

Teori psikologi self in relation memiliki makna bahwa identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, di mana di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya. Seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam kehidupannya. Individu merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Teori ini memberi perhatian pada hubungan saling mempengaruhi di antara  individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat).
Manusia sebagai pribadi tidak dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu saja tanpa sekaligus menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Kita tidak dapat membugkusnya ke dalam satu kesatuan individu saja, yang tidak pernah bersinggungan dengan lingkungan. Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan kelompok. Adanya identitas dapat lebih memudahkan manusia menggambar keberadaan sesuatu sehingga dapat memberikan kemudahan manusia untuk bertindak.
Individu dan masyarakat dapat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Bagi setiap peran yang seseorang tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, ia mempunyai definisi tentang diri mereka sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang dinamakan “identitas”. Pembentukannya dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial.

SIMBOL DALAM RITUAL
Simbol merupakan manifestasi yang nampak dari ritus dan selalu digunakan di dalam ritus. Simbol-simbol yang dimaksud adalah simbol ritual yang merupakan kesatuan terkecil dari ritus yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik tingkah lakunya dalam ritus. Simbol didefinisikan sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai  sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan atau pikiran. Menurut Victor Turner tidak mungkin mengetahui makna ritualitas masyarakat tanpa memahami makna simbol-simbol yang digunakannya.
            Menurut Victor Turner ritus dibagi menjadi 2 jenis. Penggolongan ritus-ritus tersebut adalah :
a.    Ritus krisis hidup, yaitu ritus-ritus yang diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami oleh manusia. Manusia mengalami krisis karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Di sini ada masa peralihan. Ritus ini meliputi kelahiran, pubertas, dan kematian. Upacara-upacara krisis hidup tidak hanya berpusat pada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial di antara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan, control sosial, dan lain sebagainya.
Contoh ritual krisis hidup :
v Upacara inisiasi. Baik anak laki-laki maupun perempuan mengalami inisiasi. Ritus ini dilakukan karena untuk masuk kea lam kedewasaan, seorang anak laki-laki atau perempuan perlu diantar melalui ritus karena ada perubahan-perubahan yang dapat menimbulkan krisis-krisis tertentu dan juga karena ia akan mengalami perubahan status. Jenis upacara inisiasi adalah mukanda (upacara sunatan untuk anak laki-laki untuk mempersiapkannya ke dalam upacara berburu) dan Nkang’a (upacara pubertas anak perempuan untuk mempersiapkannya dalam upacara kesuburan).
b.    Ritus gangguan, yaitu ritus yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai gangguan atau kesialan. Contoh gangguan atau kesialan ini adalah nasib sial dalam berburu, ketidakteraturan reproduksi pada para wanita dan bentuk sakit lainnya dengan tindakan roh orang mati, atau gangguan roh leluhur terhadap seseorang sehingga seseorang mengalami nasib sial. Ada tiga cara mengganggu yaitu :
1.)       Roh seorang pemburu menganggu kerabatnya sehinga ia kehilangan arah dalam berburu, gagal menemukan binatang atau menembak binatang tetapi tidak kena.
2.)     Roh seorang wanita yang telah mati mengganggu kerabat wanitanya sehingga ia menemukan kesukaran dalam berbagai reproduksi.
3.)     Roh seseorang yang telah meninggal (laki-laki atau perempuan) mengganggu kerabat mereka sehingga kerabat mereka menjadi sakit.
Tiga macam gangguan ini berhubungan dengan tiga ritus yaitu :
1.       Upacara berburu yang diadakan untuk laki-laki
2.       Upacara kesuburan yang diadakan untuk wanita.

3.       Upacara penyembuhan untuk diadakan baik untuk pria maupun wanita.
MAKNA SIMBOL
Simbol dan ritualitas sosial keberagaman memiliki makna yang sangat multivokal atau banyak makna. Menurut pendapat Victor Turner, multivokal makna dalam pengertian simbol dan ritual ini, berhubungan erat dengan bagaimana simbol tersebut dipersepsi dan diinternalisasi menjadi sistem kepercayaan baik secara individual maupun secara komunal. Secara etimologis simbol berarti tanda atau pertandaan yang digunakan untuk kepentingan ritualitas tertentu. Secara terminologi simbol diartikan sebagai sesuatu yang dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.
Memperhatikan definisi di atas simbol merupakan pertandaan yang tidak hanya menyampaikan gambaran tentang sesuatu yang bersifat immaterial, tetapi juga menyampaikan fenomena-fenomena material yang ada dalam hati dan pikiran. Dalam kaitan ini, simbol dapat dipahami sebagai ekspresi dalam wujud material yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial atau kepercayaan. Simbol menggambarkan bentuk, sifat, dan makna kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, sebab demikian, makna simbol selalu menggambarkan ritualitas serta proses sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Victor Turner tidak mungkin mengetahui makna ritualitas masyarakat tanpa memahami makna simbol-simbol yang digunakannya.

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL BERGER DALAM
TRADISI DANDANGAN DI KUDUS

Kehidupan memang tidak pernah tetap. Segala sesuatu yang berada dalam himpitan ruang dan waktu akan selalu mengurai dalam hukum perubahan. Seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir, begitulah kata Herakleitos sang filosof dari Ephesos itu. Begitu juga Dandangan, sebagai konstruksi sosial, tradisi dan bentuk budaya yang tercipta dalam relativitas ruang dan waktu, ia selalu mengalami perubahan, perkembangan dan metamorfosis sealur dengan perkembangan kondisi dan struktur masyarakat yang membentuknya. Hal ini sesuai dengan teori Peter L. Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas.
     Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial
     Menurut Berger, istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.
     Fenomena tradisi Dandangan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, jika dikaji berdasarkan definisi konstruksi sosial, terbentuk karena ada tindakan dan interaksi yang terus menerus yang dimulai oleh Sunan Kudus dan para santrinya, yang kemudian menjadi sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama yang berlangsung dari generasi ke generasi. Dandangan ini tercipta melalui proses tindakan dan interaksi yang dilakukan manusia. Hal ini bersesuaian dengan paradima konstruktivis tentang realitas.
    
IPS DAN PENDIDIKAN IPS

IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (sosial science), maupun ilmu pendidikan. IPS mempelajari manusia dan masyarakat beserta perubahan dan interaksi-interaksi di dalamnya, baik dengan unsur fisik maupun non-fisik. Masyarakat beraspek majemuk yang meliputi aspek-aspek hubungan sosial, ekonomi, psikologi, budaya, sejarah, geografi dan politik. Aspek kehidupan sosial itu mencakup lingkup yang luas, untuk mempelajari dan mengkajinya menuntut bidang-bidang ilmu yang khusus. Melalui ilmu-ilmu sosial dikembangkan bidang-bidang ilmu tertentu sesuai dengan aspek kehidupan sosial masing-masing. Kehidupan di masyarakat dan bermasyarakat yang terus berkembang, menjadi landasan bagi pengembangan IPS sebagai bidang pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan serta kemajuan kehidupan tersebut.
Tujuan pembelajaran IPS itu antara lain sebagai berikut : Mengembangkan pengetahuan dasar kesosiologian, kegeografian, keekonomian, kesejarahan dan kewarganegaraan (atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya), mengembangkan kemampuan berpikir kritis, keterampilan inkuiri, pemecahan masalah dan keterampilan sosial, membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan (serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa), memiliki kemampuan berkomunikasi, berkompetisi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.

PERSPEKTIF GEOGRAFI DALAM PEMBELAJARAN IPS

Geografi sebagai salah satu bagian dari ilmu-ilmu sosial merupakan ilmu untuk menunjang kehidupan sepanjang hayat dan mendorong, peningkatan kehidupan. Oleh karena itu kita didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologi di permukaan bumi. Selain itu kita dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Dengan demikian tepatlah bahwa geografi dapat dikatakan sebagai ilmu yang dapat membangun karakter bangsa dengan sudut pandang kewilayahan dan keruangan apalagi Negara kita merupakan Negara yang tersebar membentuk gugusan dan hamparan kepulauan yang perlu disatukan dalam sebuah tujuan bersama membangun Indonesia yang kokoh dan tidak terpecahkan meski dipisahkan oleh lautan. Lautan yang memisahkan pulau dengan pulau lainya justru seharusnya menjadi pemersatu yang kokoh. Bentangan alam yang berbeda karakteristik bukan halangan bagi persatuan dan kesatuan Indonesia dalam mewujudkan satu raga dan satu cita-cita yaitu Indonesia yang utuh. Dengan demikian pelajaran geografi adalah pelajaran yang harus dapat mempersatukan karakter antar daerah meski terdapat perbedaan kebiasaan yang sangat dominan ditiap tiap daerah di Indonesia. kita perasukan perbedaan tersebut dengan nurani Bhineka Tunggal Ika dan warna yang sama yaitu merah putih.
Pendidikan geografi, selain memiliki ‘kewajiban formal’ untuk mendukung pada tujuan pendidikan karakter bangsa juga mengandung potensi nilai yang besar dalam memaksimalkan fungsi geografi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, Daldjoeni, merinci bahwa ada lima sumbangan pedagogis yang diberikan oleh geografi. Yaitu wawasan dalam ruang, persepsi relasi antar gejala, pendidikan keindahan, kecintaan tanah air, dan saling pengertian internasional.

PENDIDIKAN LINGKUNGAN KEPADA ANAK

            Pendidikan lingkungan hidup mengisyaratkan pentingnya kreativitas dalam mengembangkan pembelajaran. Alam adalah sumber belajar yang tidak akan pernah habis untuk dieksplorasi, dikembangkan dan dijadikan media pembelajaran yang menarik bagi siswa didik. Alam mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, tentang nilai-nilai, tentang kebaikan dan keburukan yang dikomunikasikan dengan bahasanya sendiri.
Secara komprehensif, ada beberapa catatan yang harus diimplementasikan dan diajarkan dalam pendidikan lingkungan antara lain:
§  Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
§  Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
§  Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
KONSUMSI, TABUNGAN, DAN INVESTASI SERTA KAITANNYA DENGAN PENDAPATAN NASIONAL

Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat kesempatan kerja, tingkat harga umum, dan posisi neraca pembayaran suatu negara. Pendapatan nasional dapat didefinisikan sebagai:
a.       Nilai barang dan jasa yang diproduksi masyarakat suatu negara dalam satu periode tertentu (satu tahun).
b.      Jumlah pengeluaran nasional untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan.
c.       Jumlah pendapatan yang diterima faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Dalam perekonomian tertutup sederhana yang melakukan kegiatan ekonomi ada dua sektor yaitu :
1.      Rumah tangga/keluarga
Pengeluaran dari sektor ini disebut pengeluaran konsumsi atau consumption expenditure.
2.      Perusahaan/produsen/business sektor
Pengeluaran dari sektor ini disebut pengeluaran investasi atau investment expenditure.
Dalam perekonomian ini, pengeluaran masyarakat seluruhnya meliputi pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan investasi. Jadi pengeluaran masyarakat seluruhnya tersebut merupakan pendapatannya. Dalam rumus dapat ditulis :
Y = C + I dimana       Y = pendapatan nasional per periode
                                    C = konsumsi rumah tangga per periode
                                    I = Investasi per periode
Untuk menganalisa pendapatan nasional, ada 2 variabel :
1.    Variabel indogen, yang nilainya dapat diperoleh setelah dihubungkan dengan variabel dalam suatu model
2.    Variabel eksogen, merupakan variabel yang besarnya ditentukan oleh kekuatan di luar model. Dalam pembahasan ini variabel investasi merupakan variabel eksogen (dianggap tetap).
Berdasarkan hal ini, ada tiga konsep penting dalam perhitungan pendapatan nasional, yaitu konsumsi, tabungan dan investasi.
Museum Sangiran sebagai Mitra Belajar Sekolah : Sinergi Pendidikan Formal dan Informal*

Di seluruh dunia, bidang pendidikan memang merupakan tugas utama bagi sekolah. Namun dengan diperluasnya konsep pendidikan, maka peran institusi informal untuk ikut menyebarluaskan pengetahuan pada abad ke 21 juga mendapat perhatian (Hooper-Greenhill, 1996: 140). Oleh karena itu, museum sebagai institusi yang melakukan preservasi, penelitian dan komunikasi mempunyai peran penting di dalam pendidikan. Museum dipandang sebagai salah satu tipe institusi di antara beberapa institusi yang dapat memberikan pendidikan secara massal (Hein, 1998: 4). Oleh karena itu, pendidikan menjadi peran utama bagi museum.
     Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (7) menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional mengatur jalur pendidikan sebagai wahana yang dapat dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan jalur pendidikan adalah wahana yang dipergunakan dalam proses pendidikan. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling memperkaya dan melengkapi.
     Pada tulisan ini yang akan dibahas terbatas pada pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan informal akan membahas tentang institusi museum. Namun ketika pembahasan museum dikaitkan sebagai pendukung pendidikan formal, maka pembahasan tentang pendidikan formal dibutuhkan untuk mendapatkan sinkronisasi pembelajaran yang diajarkan di sekolah dan yang dapat dipelajari di museum.

Wednesday 17 August 2016

KIAI DAN PENDIDIKAN
Perspektif historis menempatkan pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khasanah perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Abdurrahman Wahid (dalam Sulthon dan Khusnuridlo, 2006:22) menempatkan pesantren sebagai sebuah subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Bertolak dari pandangan ini, tidak terlalu berlebihan apabila pesantren diposisikan sebagai salah satu elemen determinan dalam struktur piramida sosial masyarakat Indonesia. Adanya posisi penting yang disandang pesantren menuntutnya untuk memainkan peran penting dalam proses pembangunan sosial.
    Salah satu sektor penting dalam pembangunan sosial yang mendapatkan perhatian serius hampir dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan adalah aspek pendidikan. Terkait dengan pembangunan di bidang pendidikan, pesantren dalam praktisnya, sudah memainkan peran penting dalam setiap proses pelaksanaan kegiatan tersebut. Para kiai dan/atau ulama yang selama ini menjadi figur dalam masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar sosok yang dikenal sebagai guru, senantiasa peduli dengan lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya. Mereka biasanya memiliki komitmen tersendiri untuk turut melakukan gerakan transformasi sosial melalui pendekatan keagamaan. Pada esensinya, dakwah yang dilakukan kiai sebagai medium transformasi sosial keagamaan itu diorientasikan kepada pemberdayaan-salah satunya-aspek kognitif masyarakat. Pendirian lembaga pendidikan pesantren yang menjadi ciri khas dari gerakan transformasi sosial keagamaan para kiai menandakan peran penting mereka dalam pembangunan sosial secara umum melalui media pendidikan.
KIAI DAN PESANTREN

Kiai (atau Kyai) di dalam pesantren merupakan salah satu dari lima elemen utama pesantren, selain masjid, santri, pondok, dan kitab kuning. Keduanya memiliki korelasi dan interdepedensi yang sangat kuat. Dapat dikatakan kebesaran seorang kiai turut menentukan dinamika sebuah pesantren. Penelitian-penelitian tentang pesantren selama ini memperlihatkan fenomena semacam ini (Dhofier,1994; Mastuhu, 1994; Romas, 2004). Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu.
     Abdurrahman Wahid dalam Faiqoh (2003:144) menyatakan istilah pondok berasal dari bahasa Arab al-funduq yang berarti tempat tinggal sederhana yang digunakan kaum sufi untuk bermeditasi (khalwat). Manfred Ziemek dalam Sisdiyanto (2006:34) menyebutkan kata pesantren berasal dari kata santri, kemudian mendapat awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi kata pe-santri-an, kemudian berubah menjadi pesantren yang berarti tempat santri. Kata santri sendiri berasal dari kata shastra(i) dari bahasa Tamil (India) yang berarti ahli buku suci. Lembaga pendidikan pesantren memiliki tujuan untuk  memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pada moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:39-40).
RELASI FILSAFAT PROGRESIVISME  DAN PENDIDIKAN BERBASIS PANCASILA

     Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah Pancasila. Sebagai filsafat Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang, dan mewarnai segala segi kehidupan. Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. termasuk dalam bidang pendidikan. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. Sehingga dalam prakteknya, pendidikan di Indonesia diarahkan agar sesuai dengan Pancasila
     Sedangkan Progressivisme merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak
     Pada hubungannya pendidikan progressivisme dengan pendidikan berbasis Pancasila terdapat relevansi, yang mengejawantah dalam persamaan dan perbedaan antara keduanya.
PEMBELAJARAN TERPADU IPS MELALUI
 MODEL INTEGRASI BERDASARKAN TOPIK

Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain.Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang.
     Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Geografi dan sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Selanjutnya ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial.

Tuesday 16 August 2016

KARIMUNJAWA: GEOGRAFI, HISTORI, dan TRADISI
(Bag. 3)

v  Tradisi Lisan Masyarakat Karimunjawa
     Beberapa cerita rakyat yang tumbuh di masyarakat Karimunjawa berkaitan erat dengan tokoh Amir Hasan. Cerita-cerita semacam ini tumbuh secara turun-temurun sehingga sudah menjadi tradisi lisan masyarakat Karimunjawa. Cerita-cerita tersebut antara lain mengenai Legon Lele, Siput Bolong, Ular Edor, dan cerita-cerita lainnya.
        Cerita asal-usul legon lele dan siput bolong berkaitan erat dengan kepergian Amir Hasan menuju Karimunjawa. Melihat putranya tidak di rumah maka Nyai Sunan Muria menanyakan kepada Sunan Muria dan diberi jawaban bahwa Amir Hasan disuruh pergi dari rumah menuju ke sebuah pulau yang berada di sebelah utara Pulau Jawa, maka Nyai Sunan menjadi terkejut dan mohon ijin untuk menyusulnya guna memberi bekal perjalanan. Teringat akan makanan kesukaan putranya yaitu pecel lele, maka dibawakan pecel lele oleh Nyai Sunan dengan harapan untuk memberikan kesenangan dalam perjalanan. Namun setelah di pantai ternyata Amir Hasan dan kedua abdinya sudah berlayar di lautan, maka oleh sang ibu pecel lele itu lalu dibuang ke laut. Bungkusan pecel lele tersebut terbawa ombak dan atas kehendak Tuhan mengikuti perjalanan Amir Hasan sampai pula di pulau yang dituju oleh Amir Hasan. Konon, ikan–ikan lele yang berada di Karimunjawa semuanya tidak mempunyai patil. Area ini sekarang dikenal dengan nama Legon Lele yaitu di bagian timur dari Pulau karimunjawa.
KARIMUNJAWA: GEOGRAFI, HISTORI, dan TRADISI
(Bag. 2)

v  Sejarah Nama Karimunjawa
    Pada umumnya, nama suatu tempat memiliki arti tersendiri yang erat kaitannya dengan mitos, tokoh-tokoh tertentu atau peristiwa penting yang pernah terjadi di masa lampau. Demikian halnya dengan Kepulauan Karimunjawa. Secara historis, nama Karimunjawa berkaitan erat dengan Sunan Nyamplungan, seorang tokoh penyebar Islam di Karimunjawa. Keberadaan Pulau Karimunjawa juga tidak lepas dari bidikan sejarah salah satu Wali Songo yang terkenal yaitu Sunan Muria, Sunan Kudus dan Kalijaga. Konon orang yang pertama kali mendiami serta menemukan Pulau Karimunjawa adalah Raden Amir Hasan putra dai Sunan Muria, cucu dari Sunan Kalijaga dan murid dari Sunan Kudus. Sepak terjang dari Sunan Amir Hasan atau lebih akrab dikenal dengan Sunan Nyamplungan adalah cikal bakal berkembangnya dakwah islam di Karimunjawa. Hal ini tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi peminat studi sejarah yang banyak  menemukan hal-hal baru tentang Sunan Nyamplungan.
KARIMUNJAWA: GEOGRAFI, HISTORI, dan TRADISI
(Bag. 1)

A. Geografi Kepulauan Karimunjawa
            Kepulauan Karimunjawa terletak pada 05' 40' - 05’ 57' LS dan 110’ 04' - 110’ 40' BT secara geografis terletak di Laut Jawa, arah barat laut dari Jepara. Pulau Karimunjawa menjadi pusat kecamatan yang berjarak ± 83 km dari Kota Jepara (pusat pengrajin ukiran kayu yang terkenal di Indonesia). Luas wilayah teritorial Karimunjawa 107.225 ha, sebagian besar berupa lautan (100.105 ha) dengan luas daratan 7.120 ha yang terdiri atas gugusan pulau berjumlah 27 putau besar dan kecil. Pulau terbesar yaitu Pulau Karimunjawa (4.302,5 ha). Meskipun luas daratan setiap pulau relatif kecil dan terpencar menjadi 27 pulau, namun kontribusi daratan terhadap sistem keseimbangan alam, daya dukung lingkungan, dan untuk pemenuhan kebutuhan penduduk mempunyai ikatan yang cukup besar dan tak bisa dipisahkan.
            Suhu rata-rata di Karimunjawa 26 - 300C, dimana suhu maksimum 34 C dan  kelembaban nisbi antara 70-85%. Musim kemarau (musim timuran) terjadi antara bulan Juni - Agustus. Rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap harinya. Bulan kering terjadi sekitar bulan Maret Agustus Musim pancaroba 1 berlangsung antara bulan September - Oktober. Pada periode ini angin didominasi dari Barat - Barat Laut, kadang-kadang juga dari Timur dan Utara dengan kecepatan yang bervariasi.
PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.4)

II. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 – 1945) 
Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral Imamura, berakhirlah penjajahan Belanda atas lndonesia. Dengan demikian dioperkan begitu saja nasib bangsa lndonesia kepada penjajah yang baru, Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan tokoh-tokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis, sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu, bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya, terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya. Dalam pada itu, kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di Indonesia bahkan makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.
Salah satu tindakannya yang pertama-tama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan membubarkannya. Bersamaan dengan itu, dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama P.I.D. menangkapi elemen-elemen anti fasis dikalangan bangsa indonesia. Tidak dikecualikan organisasi-organisasi wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak di bawah tanah. Taktik Jepang dalam merangkul bangsa Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut: