KESENIAN REBANA
Oleh: Muh. Mujibur Rohman
BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan memiliki lima substansi utama, salah
satunya adalah sistem sosial budaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Berdasarkan batasan tersebut,
sistem sosial budaya dapat diartikan sebagai seperangkat unsur sosial budaya
yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Kata
totalitas menggambarkan keseluruhan unsur sosial budaya itu saling terkait
sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh. Koentjaraningrat
menyebutkan adanya tujuh komponen sistem sosial budaya, yaitu bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup atau teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi dan kepercayaan hidup, serta sistem kesenian.
Mengenai
sistem kesenian, kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan
keanekaragaman seni dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari kesenian-kesenian
yang dimiliki oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah
Suku Jawa. Suku Jawa adalah suku bangsa yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah
dan timur. Di dalam Suku Jawa terdapat daerah-daerah yang disebut kejawen
(dapat disebut daerah “pedalaman”), seperti Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, dan daerah-daerah di sekitarnya. Sedangkan daerah-daerah di luar ini
dinamakan pesisir, seperti Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Demak, dan
daerah-daerah sekitarnya. Ada perbedaan corak budaya antara masyarakat
pedalaman dengan masyarakat pesisiran. Dalam
hal kesenian, corak seni antara daerah-daerah di pesisir dengan daerah-daerah
pedalaman memiliki perbedaan. Dalam banyak hal, dapat diketahui bahwa sistem
kesenian erat sekali hubungannya dengan unsur budaya lainnya, terutama unsur religi
atau keagamaan. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat pesisiran. Di
daerah-daerah pesisir banyak kesenian yang bernafaskan agama Islam. Salah
satunya adalah kesenian rebana atau terbangan. Rebana
bukan kesenian asli Indonesia,
tetapi telah popular di kalangan masyarakat pesisir, seperti di daerah Jepara
dan Demak. Musik yang lebih menonjolkan suara rampak dari keteplak, jidor,
genjer, dan icik-icik tersebut merupakan musik yang bernapaskan agama
Islam yang dibawa dari Timur Tengah. Penggunaan alat musik rebana banyak
digunakan untuk mengiringi acara-acara seperti pernikahan, tasyakuran,
khitanan, tingkeban, dan lain-lain. Bunyi
rebana, kentrung, keteplak, dan jidor yang dipukul beradu dengan salawat badar,
menciptakan harmoni tersendiri, sehingga berbeda dengan alat-alat musik
lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Rebana atau yang dalam istilah jawa lebih akrab
disebut "Terbang" atau “Terbangan”, dikenal sebagai salah satu
instrument khas pengiring alunan musik atau syair-syair arab. Alat musik yang
terbuat dari kulit kambing yang dikeringkan tersebut memiliki sejarah yang
demikian tua.
Secara historis, dapat
diketahui masyarakat Madinah pada abad ke-6 telah menggunakan rebana sebagai
musik pengiring dalam acara penyambutaan atas kedatangan Nabi Muhammad SAW yang
hijrah dari Makkah. Masyarakat Madinah kala itu menyambut kedatangan Nabi
Muhammad SAW dengan qasidah Thaala'al Badru yang diiringi dengan rebana,
sebagai ungkapan rasa bahagia atas kehadiran seorang Rasul ke bumi itu. Kemudian
rebana digunakan sebagai sarana dakwah para penyebar Islam. Dengan melantunkan
syair-syair indah yang diiringi rebana, pesan-pesan mulia agama Islam mampu
dikemas dan disajikan lewat sentuhan seni artistic musik Islami yang khas.
Di Indonesia, sekitar abad 13 Hijriyah seorang
ulama' besar dari negeri Yaman yang bernama Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain
Al-Habsyi datang ke tanah air dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Di
samping itu, beliau juga membawa sebuah kesenian Arab berupa pembacaan qosidah
yang diiringi rebana ala Habsyi dengan cara mendirikan majlis sholawat dan
pujian-pujian kepada Rasulullah sebagai sarana mahabbah (kecintaan) kepada
Rasulullah SAW.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Jawa. Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul Simthu Al-Duror yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan Madaih (pujian-pujian) kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad SAW, kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana. Sehingga sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat, khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw, sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Jawa. Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul Simthu Al-Duror yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan Madaih (pujian-pujian) kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad SAW, kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana. Sehingga sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat, khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw, sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Kegiatan membaca qasidah -
qasidah dan pujian – pujian kepada Rasulullah (hadlrah) yang diiringi dengan
alat musik rebana sangat diminati oleh masyarakat muslim yang cinta kepada
Nabinya. Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap minggu majlis hadlrah ini
diadakan, seringnya pada malam Jum'at, karena sebagaimana Rasulullah
menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak membaca shalawat pada malam
Jum'at dan ada juga yang malam Senin dikarenakan malam itu adalah malam
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Menurut Prof. KH. Mustafa Ali
Ya'qub, MA, kata Hadlrah itu secara bahasa berarti hadapan atau haribaan Hal
ini karena dalam seni hadlrah itu lazimnya diawali dengan membaca surah
al-Fatikhah atau bacaan- bacan lain yang pahalanya dihadiahkan kepada
Rasulullah dan para tokoh yang sudah wafat yang dinilai telah berjasa bagi
dakwah Islam. Ketika hendak membaca surah al-Fatikhah itu, diawali membaca Ilaa
Hadlrati……..(ke haribaan……). Dari kebiasaan inilah tampaknya kesenian ini
dinamakan "Hadlrah". Tapi yang lebih popular dikalangan kaum muslimin
pecinta sholawat dan ahli thariqah, nama hadlrah berasal dari kata "hadlara"
yang berarti hadir, karena setiap ada majlis yang mengadakan acara pembacaan
sholawat dan pujian kepada Rasul, maka seketika itu juga akan dihadiri oleh
arwah anbiya', auliya' dan sholihin serta dipenuhi oleh para malaikat rahmat.
Disamping nama hadlrah, juga
sebagian masyarakat menamainya dengan "Duroran" dikarenakan kitab
yang dibaca berjudul "Simthu Al-Duror" yang dikarang oleh Habib Ali
bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, didalamnya berisi tentang hikayat Rasulullah
dari sebelum lahir sampai beliau wafat dan beberapa shalawat beserta pujian
kepada Beliau. Dan sebagian masyarakat menamainya juga dengan
"Habsyian" yang dinisbatkan kepada marga atau nama asal daerah si
pengarang kitab tersebut yaitu Al-Habsyi, sebagaimana seringnya masyarakat
menamai kegiatan membaca kitab Al-Barzanji dengan nama "Barzanjian"
dan kegiatan membaca kitab Al-Dziba' dengan nama "Dziba'an".
B. Perkembangan Kesenian Rebana Hadlrah
sebagai Seni Budaya Islam di Masyarakat Pesisir
Di daerah-daerah pesisir, seperti di Pekalongan,
Demak, dan Jepara, kegiatan majlis hadlrah yang menggunakan alat musik rebana
telah berkembang dengan pesat. Awalnya kegiatan hadlrah ini dilakukan hanya
sebagai ritual saja dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, akan tetapi
dengan cintanya masyarakat akan bacaan-bacaan shalawat dan madaih, hampir
setiap mengadakan acara tasyakuran baik pernikahan, khitanan, tingkeban (ketika
janin si ibu berumur 7 bulan) maupun kelahiran bayi dan acara-acara yang
lainnya masyarakat sering mengundang majlis hadlrah ini untuk membacakan
sholawat dan madaihnya demi mendapatkan limpahan keberkahan Allah dan syafa'at
Rasulullah dari bacaan-bacaan tersebut.
Namun dengan kecanggihan
teknologi sekarang ini, banyak ditemukan berbagai jenis alat musik baru yang
kehadirannya dapat menggeser alat musik tradisional Islam, termasuk rebana.
Dengan dalih ketinggalan zaman dan kolot, alat-alat musik tradisional Islam itu
mulai ditinggalkan dan jarang dimainkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan para
musikus Islam modern. Mereka berusaha sedini mungkin untuk mengkolaborasikan
alat-alat tradisional tersebut dengan alat-alat musik modern. Sehingga dengan
penampilan seperti inilah seni tradisi Islam tetap terlestarikan. Dari sinilah
muncul seni baru Islam, yaitu rebana hadlrah modern. Seni ini masih menggunakan
alat-alat musik tradisional, akan tetapi diselingi juga dengan alat musik
modern, sehingga akan mudah untuk diterima oleh masyarakat kini dan tidak
menjenuhkan. Usaha mereka tidaklah sia-sia, terbukti di tanah air sendiri jumlah
grup rebana hadlrah modern sudah mencapai ribuan. Bahkan banyak sudah yang
masuk dapur rekaman dan omset penjualan kaset hampir menyamai lagu dengan
musik-musik modern. Fenomena ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat
pesisir dalam menghadiri setiap even yang mempertunjukkan kesenian rebana. Di
luar negeri, Kairo misalnya, seni ini sangat ditunggu-tunggu kehadirannya,
terbukti dari banyaknya undangan untuk tampil dari mancanegara yang dialamatkan
ke sebuah grup rebana, akan tetapi belum bisa memenuhinya secara keseluruhan
karena keterbatasan alat-alat musik yang masih sederhana. Semua ini tak lebih
adalah sebagai bagian dari usaha generasi baru Islam untuk menjaga dan
membangkitkan kreatifitas seni budaya Islam yang telah ada, sehingga tetap
lestari dan tidak hilang begitu saja.
No comments:
Post a Comment