History

History
"History Make Me Happy"

Saturday 22 September 2012

Kesenian Rebana


KESENIAN REBANA
Oleh: Muh. Mujibur Rohman

BAB I
PENDAHULUAN

Kebudayaan memiliki lima substansi utama, salah satunya adalah sistem sosial budaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Berdasarkan batasan tersebut, sistem sosial budaya dapat diartikan sebagai seperangkat unsur sosial budaya yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Kata totalitas menggambarkan keseluruhan unsur sosial budaya itu saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh. Koentjaraningrat menyebutkan adanya tujuh komponen sistem sosial budaya, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup atau teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kepercayaan hidup, serta sistem kesenian.
            Mengenai sistem kesenian, kepulauan Indonesia merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari kesenian-kesenian yang dimiliki oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah Suku Jawa. Suku Jawa adalah suku bangsa yang mendiami Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Di dalam Suku Jawa terdapat daerah-daerah yang disebut kejawen (dapat disebut daerah “pedalaman”), seperti Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan daerah-daerah di sekitarnya. Sedangkan daerah-daerah di luar ini dinamakan pesisir, seperti Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Demak, dan daerah-daerah sekitarnya. Ada perbedaan corak budaya antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisiran.          Dalam hal kesenian, corak seni antara daerah-daerah di pesisir dengan daerah-daerah pedalaman memiliki perbedaan. Dalam banyak hal, dapat diketahui bahwa sistem kesenian erat sekali hubungannya dengan unsur budaya lainnya, terutama unsur religi atau keagamaan. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat pesisiran. Di daerah-daerah pesisir banyak kesenian yang bernafaskan agama Islam. Salah satunya adalah kesenian rebana atau terbangan. Rebana bukan kesenian asli Indonesia, tetapi telah popular di kalangan masyarakat pesisir, seperti di daerah Jepara dan Demak. Musik yang lebih menonjolkan suara rampak dari keteplak, jidor, genjer, dan icik-icik tersebut merupakan musik yang bernapaskan agama Islam yang dibawa dari Timur Tengah. Penggunaan alat musik rebana banyak digunakan untuk mengiringi acara-acara seperti pernikahan, tasyakuran, khitanan, tingkeban, dan lain-lain. Bunyi rebana, kentrung, keteplak, dan jidor yang dipukul beradu dengan salawat badar, menciptakan harmoni tersendiri, sehingga berbeda dengan alat-alat musik lainnya.


























BAB II
PEMBAHASAN


Rebana atau yang dalam istilah jawa lebih akrab disebut "Terbang" atau “Terbangan”, dikenal sebagai salah satu instrument khas pengiring alunan musik atau syair-syair arab. Alat musik yang terbuat dari kulit kambing yang dikeringkan tersebut memiliki sejarah yang demikian tua.
Secara historis, dapat diketahui masyarakat Madinah pada abad ke-6 telah menggunakan rebana sebagai musik pengiring dalam acara penyambutaan atas kedatangan Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Makkah. Masyarakat Madinah kala itu menyambut kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan qasidah Thaala'al Badru yang diiringi dengan rebana, sebagai ungkapan rasa bahagia atas kehadiran seorang Rasul ke bumi itu. Kemudian rebana digunakan sebagai sarana dakwah para penyebar Islam. Dengan melantunkan syair-syair indah yang diiringi rebana, pesan-pesan mulia agama Islam mampu dikemas dan disajikan lewat sentuhan seni artistic musik Islami yang khas.
Di Indonesia, sekitar abad 13 Hijriyah seorang ulama' besar dari negeri Yaman yang bernama Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi datang ke tanah air dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Di samping itu, beliau juga membawa sebuah kesenian Arab berupa pembacaan qosidah yang diiringi rebana ala Habsyi dengan cara mendirikan majlis sholawat dan pujian-pujian kepada Rasulullah sebagai sarana mahabbah (kecintaan) kepada Rasulullah SAW.
Selang beberapa waktu majlis itu pun menyebar ke seluruh penjuru daerah terutama Banjarmasin, Kalimantan Selatan dan Jawa. Habib 'Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi juga sempat mengarang sebuah buku yang berjudul Simthu Al-Duror yang di dalamnya memuat tentang kisah perjalanan hidup dari sebelum lahir sampai wafatnya Rasulullah SAW. Di dalamnya juga berisi bacaan sholawat-sholawat dan Madaih (pujian-pujian) kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sering kali dalam memperingati acara maulid Nabi Agung Muhammad SAW, kitab itulah yang sering dibaca dan diiringi dengan alat musik rebana. Sehingga sampai sekarang kesenian ini pun sudah melekat pada masyarakat, khususnya para pecinta sholawat dan maulid Nabi saw, sebagai sebuah eksistensi seni budaya Islam yang harus selalu dijaga dan dikembangkan.
Kegiatan membaca qasidah - qasidah dan pujian – pujian kepada Rasulullah (hadlrah) yang diiringi dengan alat musik rebana sangat diminati oleh masyarakat muslim yang cinta kepada Nabinya. Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap minggu majlis hadlrah ini diadakan, seringnya pada malam Jum'at, karena sebagaimana Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak membaca shalawat pada malam Jum'at dan ada juga yang malam Senin dikarenakan malam itu adalah malam kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Menurut Prof. KH. Mustafa Ali Ya'qub, MA, kata Hadlrah itu secara bahasa berarti hadapan atau haribaan Hal ini karena dalam seni hadlrah itu lazimnya diawali dengan membaca surah al-Fatikhah atau bacaan- bacan lain yang pahalanya dihadiahkan kepada Rasulullah dan para tokoh yang sudah wafat yang dinilai telah berjasa bagi dakwah Islam. Ketika hendak membaca surah al-Fatikhah itu, diawali membaca Ilaa Hadlrati……..(ke haribaan……). Dari kebiasaan inilah tampaknya kesenian ini dinamakan "Hadlrah". Tapi yang lebih popular dikalangan kaum muslimin pecinta sholawat dan ahli thariqah, nama hadlrah berasal dari kata "hadlara" yang berarti hadir, karena setiap ada majlis yang mengadakan acara pembacaan sholawat dan pujian kepada Rasul, maka seketika itu juga akan dihadiri oleh arwah anbiya', auliya' dan sholihin serta dipenuhi oleh para malaikat rahmat.
Disamping nama hadlrah, juga sebagian masyarakat menamainya dengan "Duroran" dikarenakan kitab yang dibaca berjudul "Simthu Al-Duror" yang dikarang oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, didalamnya berisi tentang hikayat Rasulullah dari sebelum lahir sampai beliau wafat dan beberapa shalawat beserta pujian kepada Beliau. Dan sebagian masyarakat menamainya juga dengan "Habsyian" yang dinisbatkan kepada marga atau nama asal daerah si pengarang kitab tersebut yaitu Al-Habsyi, sebagaimana seringnya masyarakat menamai kegiatan membaca kitab Al-Barzanji dengan nama "Barzanjian" dan kegiatan membaca kitab Al-Dziba' dengan nama "Dziba'an".

B. Perkembangan Kesenian Rebana Hadlrah sebagai Seni Budaya Islam di Masyarakat Pesisir
Di daerah-daerah pesisir, seperti di Pekalongan, Demak, dan Jepara, kegiatan majlis hadlrah yang menggunakan alat musik rebana telah berkembang dengan pesat. Awalnya kegiatan hadlrah ini dilakukan hanya sebagai ritual saja dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, akan tetapi dengan cintanya masyarakat akan bacaan-bacaan shalawat dan madaih, hampir setiap mengadakan acara tasyakuran baik pernikahan, khitanan, tingkeban (ketika janin si ibu berumur 7 bulan) maupun kelahiran bayi dan acara-acara yang lainnya masyarakat sering mengundang majlis hadlrah ini untuk membacakan sholawat dan madaihnya demi mendapatkan limpahan keberkahan Allah dan syafa'at Rasulullah dari bacaan-bacaan tersebut.
Namun dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, banyak ditemukan berbagai jenis alat musik baru yang kehadirannya dapat menggeser alat musik tradisional Islam, termasuk rebana. Dengan dalih ketinggalan zaman dan kolot, alat-alat musik tradisional Islam itu mulai ditinggalkan dan jarang dimainkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan para musikus Islam modern. Mereka berusaha sedini mungkin untuk mengkolaborasikan alat-alat tradisional tersebut dengan alat-alat musik modern. Sehingga dengan penampilan seperti inilah seni tradisi Islam tetap terlestarikan. Dari sinilah muncul seni baru Islam, yaitu rebana hadlrah modern. Seni ini masih menggunakan alat-alat musik tradisional, akan tetapi diselingi juga dengan alat musik modern, sehingga akan mudah untuk diterima oleh masyarakat kini dan tidak menjenuhkan. Usaha mereka tidaklah sia-sia, terbukti di tanah air sendiri jumlah grup rebana hadlrah modern sudah mencapai ribuan. Bahkan banyak sudah yang masuk dapur rekaman dan omset penjualan kaset hampir menyamai lagu dengan musik-musik modern. Fenomena ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat pesisir dalam menghadiri setiap even yang mempertunjukkan kesenian rebana. Di luar negeri, Kairo misalnya, seni ini sangat ditunggu-tunggu kehadirannya, terbukti dari banyaknya undangan untuk tampil dari mancanegara yang dialamatkan ke sebuah grup rebana, akan tetapi belum bisa memenuhinya secara keseluruhan karena keterbatasan alat-alat musik yang masih sederhana. Semua ini tak lebih adalah sebagai bagian dari usaha generasi baru Islam untuk menjaga dan membangkitkan kreatifitas seni budaya Islam yang telah ada, sehingga tetap lestari dan tidak hilang begitu saja.

 

No comments:

Post a Comment