REFLEKSI MAULID : MENEGUHKAN KEMBALI CINTA KEPADA RASUL
Oleh Muh. Mujibur Rohman
Salah satu nama
bulan dalam penanggalan Islam adalah Rabiul Awal, yang dalam penanggalan Jawa
dikenal dengan bulan Mulud. Di bulan ini terdapat satu peristiwa sejarah
penting, khususnya bagi umat Islam. Peristiwa ini yaitu kelahiran seseorang dan
rasul (utusan) pilihan yang turut mengubah jalannya sejarah dunia, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal
Tahun Gajah, bertepatan dengan tanggal 21 April 571 M di kota Mekah.
Oleh
umat Islam, khususnya di Indonesia, kelahiran Nabi Muhammad SAW diperingati
dengan nama Maulid Nabi. Maulid Nabi ini diperingati dengan berbagai kegiatan,
baik yang berskala besar maupun dalam skala kecil. Kegiatan-kegiatan seperti
pembacaan shalawat al-Barjanzi, Diba, Burdah, atau pun Simtut dhuror maupun
pengajian-pengajian Maulid ramai dan banyak diselenggarakan di seantero pelosok
negeri.
Pada
hakekatnya kegiatan semacam ini difungsikan untuk mengingat sejarah (ibrah)
Nabi Muhammad SAW dan mengambil pelajaran dan keteladanan dari perjuangannya.
Selain itu kegiatan Maulid ditujukan juga untuk menumbuhkembangkan sikap cinta
kepada Rasulullah lewat pembacaan shalawat. Tetapi dalam kenyataannya, masih
banyak umat Islam di Indonesia yang belum mampu menangkap dan memahami makna
dan spirit (semangat) cinta kepada rasul. Mereka seringkali masih terjebak
dalam perayaan-perayaan seremonial Maulid yang seringkali nirmakna. Bukti lain
bahwa masih banyaknya umat Islam yang belum memahami makna dan spirit cinta
kepada rasul adalah fenomena dekadensi moral di kalangan umat Islam. Selain itu
masih terjebaknya umat Islam dalam radikalisasi agama dan terseretnya umat ke
dalam arus materialisme dan hedonisme sebagai akibat pengaruh modernisasi dan
globalisasi juga merupakan indikasi bahwa makna dan spirit cinta kepada rasul
belum dipahami secara komprehensif dan bijaksana.
Oleh
karena itu momentum Maulid nabi merupakan saat yang tepat untuk meneguhkan
kembali spirit cinta kepada Rasulullah. Lalu, bagaimanakah cara yang tepat
untuk mencintai Rasul ?
Tahapan Cinta
Filosof
Yunani menjelaskan tiga tahap cinta: eros,
philos, dan agape. Eros merupakan
cinta sensual, yang ditandai dengan keinginan memiliki, menuntut, merengek dan
mendesak. Eros ingin mengambil bukan
member. Betatapun rendahnya, eros
menjauhkan kita sejengkal dari ego kita. Ia juga ingin memberikan kehangatan,
kerinduan, dan keinginan untuk bergabung dan bersama. Dengan segala
keburukannya, eros mengantarkan
sebagian di antara kita kepada cinta yang lebih luhur, yaitu philos dan agape. Philos adalah cinta
yang tumbuh dari persahabatan mendalam. Tahap ini mengajarkan kita bukan hanya
menuntut, tetapi juga berbagi. Juga mengajarkan berempati dengan semua orang.
Yang menarik kita bukan lagi individu, tetapi hubungan sosial, bukan senyuman
tetapi keakraban, bukan pemberian tetapi kebersamaan. Agape adalah tahap paling tinggi. Cinta ini ditandai dengan
perhatian yang aktif pada orang kita cintai, keinginan untuk diterima di
sisinya, kedambaan untuk memberikan segalanya tanpa syarat pada sang kekasih. Agape adalah cinta spiritual, yang sudah
jauh menyelam dari daratan badaniah menuju kedalaman ruhaniah. Pada tingkat
manakah mau kita letakkan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW ?
Cinta Yang Sebenarnya
Mencintai
Rasulullah SAW tidak bisa kita samakan dengan kecintaan kita kepada seorang
gadis. Untuk mencintai Rasulullah SAW, yang harus kita bayangkan adalah
keagungan kepribadiannya, bukan citra fisiknya. Pertama-tama, gerakkanlah diri
kita dari eros ke philos. Seperti kata Jalaluddin Rakhmat
(1998), belajarlah menggabungkan diri kita secara rohaniah dengan Rasulullah
SAW, para nabi, dan orang-orang saleh. Allah berfirman :“Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul, maka ia akan bersama
orang-orang yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, yakni para nabi,
orang-orang benar, syuhada, dan orang-orang saleh. Alangkah bagusnya bergabung
bersama mereka (QS 4:69)”.
Di
dalam Alquran juga digambarkan tentang keagungan pribadi Rasul sebagai berikut
:”Telah datang kepadamu seorang Rasul
dari antara kamu. Berat baginya apa yang kamu derita, sangat ingin agar kamu
mendapat kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang yang
beriman (QS 9:28)”.
Inilah Nabi
yang membasahi janggutnya dengan air matanya karena memikirkan derita umat
sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya
sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang suka
dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya. Inilah Nabi yang ketika menjelang
wafatnya mengucapkan ummati, ummati
(umatku, umatku), yang menunjukkan kasih sayang dan cintanya yang tulus dan
mendalam kepada umatnya.
Perhatikan doa
Muhammad Iqbal, sang filosof, ketika sakit : “Tuhanku, sekiranya Engkau
mengadili aku pada hari kiamat, jangan dampingkan aku dengan Nabi al-Musthafa.
Aku mengaku sebagai umatnya, padahal hidupku bergelimang dosa”. Inilah cinta
yang sebenarnya untuk Nabi Muhammad SAW. Lewat momentum Maulid Nabi, mari kita
meneguhkan kembali cinta kepada Rasulullah SAW dengan sebenar-benarnya cinta.
Penulis
adalah Guru serta pemerhati sejarah dan ilmu-ilmu sosial
No comments:
Post a Comment