BERJUANG
LEWAT LAGU:
Aspek Historis
Shalawat Badar Sebagai Alat Perjuangan Kaum Nahdliyyin
Oleh : M. Mujibur Rohman*
A. Pendahuluan
Lahirnya sebuah karya sastra tidak terlepas dari
kondisi pengarang maupun situasi sosial yang melatarbelakanginya. Salah satu
karya sastra yang seakan menjadi “lagu wajib” kaum Nahdliyin adalah Shalawat
Badar. Shalawat ini adalah hasil karya Kiai Ali Manshur, salah seorang warga Nahdlatul
Ulama (NU). Shalawat ini berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan
Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair,
dinyanyikan dengan lagu yang khas. Kemunculan shalawat Badar
ini tidak terlepas dari situasi sosial pada waktu itu, yakni kurun tahun
1960-1966 di mana terjadi sehingga mempunyai pengaruh dalam lahirnya Shalawat
Badar. Tahun 1960-1966
ini merupakan masa gegap gempita politik di Indonesia. Pada pertengahan tahun
1960-an ada akar ketegangan kehidupan sosial politik dan ekonomi yang dimulai pada
masa sebelumnya. Salah satunya adalah pertentangan dua partai besar pada waktu
itu, yaitu NU dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pertentangan ini juga terjadi
di tingkat akar rumput, termasuk di daerah Banyuwangi Jawa Timur.
Kelahiran Shalawat Badar dilatarbelakangi situasi
sosial-politik pada masa itu yang penuh dengan konflik. Hal ini juga terjadi di
Kabupaten Banyuwangi yang notabene merupakan “background spatial” lahirnya Shalawat Badar. Kabupaten Banyuwangi
adalah Kabupaten paling timur di Propinsi Jawa Timur yang sudah termasyur
kekayaan alamnya. Selain kaya akan hasil alamnya, Banyuwangi juga terkenal akan
kekayaan seni budayanya. Dalam perkembangannya kemudian, kemunculan partai
politik di tingkat nasional menjalar pula hingga ke daerah seperti Banyuwangi.
Bibit-bibit PKI di banyuwangi muncul, diperkirakan berasal dari
pengikut-pengikut Sarekat Islam yang akhirnya pecah menjadi dua kelompok,
Kelompok kanan dan kelompok kiri atau merah. Sarekat Islam kelompok merah
inilah yang akhirnya berfusi ke Indische
Social Demokratische Vereeniging atau ISDV (embrio sebelum akhirnya
berganti nama menjadi PKI).
Di awal tahun 1965 PKI di Banyuwangi memperoleh suara
mayoritas mengalahkan PNI dan NU. Hal ini menjadikan PKI lebih agresif daripada
tahun-tahun sebelumnya. Aksi-aksi sepihak juga terjadi di Banyuwangi dan lagu
Genjer-genjer ciptaan seniman Banyuwangi menjadi “lagu wajib” perjuangan PKI,
yang dikumandangkan saat pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan PKI
lainnya. Latar belakang konflik inilah yang melahirkan lagu Shalawat Badar
sebagai tandingan dari lagu Genjer-genjer kepunyaan PKI. Shalawat ini adalah
hasil karya Kiai.
Ali Manshur, yang merupakan cucu KH. Muhammad Shiddiq, Jember.
Diceritakan bahwa asal mula karya ini ditulis oleh Kiai Ali
Manshur sekitar tahun 1960an. Ketika itu, Kiai Ali adalah Kepala Kantor
Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di
situ. Latar belakangnya sebagai pemimpin agama (kiai) dari NU menjadikan ia
merasakan efek dari pertentangan NU-PKI di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi
tempat ia berasal.
Golongan kiai merupakan salah satu dari apa yang PKI sebut
sebagai tujuh setan desa. Tujuh setan desa yang salah satunya adalah pengirim
zakat juga dialamatkan kepada golongan kiai. Banyak kiai menjadi sasaran
aksi-aksi sepihak para pengikut PKI. Termasuk juga kepada Kiai. Ali Mansur.
Oleh karena itu, atas dasar keprihatinannya terhadap situasi di Banyuwangi yang
menurutnya berbahaya bagi NU, Kiai Ali Mansur mencipatakan gubahan Shalawat
yang dinamainya “Shalawat Badar”. Shalawat Badar adalah rangkaian shalawat
berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w, serta para
mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Nama “Badar” menunjukkan perang
yang terjadi di masa Nabi Muhammad yang menjadi salah satu tonggak penting
dalam perkembangan Islam.
Proses terciptanya teks Shalawat Badar ini diselubungi
fenomena berbau mistis-agamis dan supranatural (suatu hal yang umum dikenal
dalam warga NU). Ceritanya sebagai berikut: Konon, pada suatu malam, Kiai Ali
Mansur tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan
situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin
leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena
memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu. Sambil merenung, Kiai Ali Mansur
terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa Arab.
Penciptaan teks ini juga diilhami mimpi Kiai Ali Mansur yang
bertemu dengan para habib yang berbaju putih-hijau. Semakin mengherankan lagi,
karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Keesokan
harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi (juga seorang
tokoh agama terkenal Banyuwangi). Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhi.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara
bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal
dengan Shalawat Badar. Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali
Mansur dalam forum pertemuan para kiai dan Habib di Jakarta sehingga sejak saat
itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan
semangat melawan orang-orang PKI.
Dengan adanya
fenomena ini semakin memperkuat kepercayaan warga NU bahwa Shalawat Badar dapat
menambah ”kekuatan” mental dan spiritual mereka untuk meredam agresivitas PKI.
Dalam setiap kegiatan, seperti pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan di
mana massa berkumpul, jika orang-orang PKI menyanyikan lagu Genjer-genjer, maka
jika warga NU mengadakan pawai maupun rapat dikumandangkanlah Shalawat Badar
sebagai mars perjuangannya. Ini menunjukkan bahwa di samping ada konflik fisik,
juga terdapat perang budaya lewat karya sastra NU dan PKI, yaitu Shalawat Badar vs Genjer-genjer.
Penulis adalah Guru serta Pemerhati sejarah dan ilmu sosial
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete