History

History
"History Make Me Happy"

Saturday 22 September 2012

sejarah Shalawat badar


BERJUANG LEWAT LAGU:
Aspek  Historis  Shalawat Badar Sebagai Alat Perjuangan Kaum Nahdliyyin
Oleh : M. Mujibur Rohman*

A. Pendahuluan
Lahirnya sebuah karya sastra tidak terlepas dari kondisi pengarang maupun situasi sosial yang melatarbelakanginya. Salah satu karya sastra yang seakan menjadi “lagu wajib” kaum Nahdliyin adalah Shalawat Badar. Shalawat ini adalah hasil karya Kiai Ali Manshur, salah seorang warga Nahdlatul Ulama (NU). Shalawat ini berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair, dinyanyikan dengan lagu yang khas. Kemunculan shalawat Badar ini tidak terlepas dari situasi sosial pada waktu itu, yakni kurun tahun 1960-1966 di mana terjadi sehingga mempunyai pengaruh dalam lahirnya Shalawat Badar.  Tahun 1960-1966 ini merupakan masa gegap gempita politik di Indonesia. Pada pertengahan tahun 1960-an ada akar ketegangan kehidupan sosial politik dan ekonomi yang dimulai pada masa sebelumnya. Salah satunya adalah pertentangan dua partai besar pada waktu itu, yaitu NU dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pertentangan ini juga terjadi di tingkat akar rumput, termasuk di daerah Banyuwangi Jawa Timur.
Kelahiran Shalawat Badar dilatarbelakangi situasi sosial-politik pada masa itu yang penuh dengan konflik. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Banyuwangi yang notabene merupakan “background spatial” lahirnya Shalawat Badar. Kabupaten Banyuwangi adalah Kabupaten paling timur di Propinsi Jawa Timur yang sudah termasyur kekayaan alamnya. Selain kaya akan hasil alamnya, Banyuwangi juga terkenal akan kekayaan seni budayanya. Dalam perkembangannya kemudian, kemunculan partai politik di tingkat nasional menjalar pula hingga ke daerah seperti Banyuwangi. Bibit-bibit PKI di banyuwangi muncul, diperkirakan berasal dari pengikut-pengikut Sarekat Islam yang akhirnya pecah menjadi dua kelompok, Kelompok kanan dan kelompok kiri atau merah. Sarekat Islam kelompok merah inilah yang akhirnya berfusi ke Indische Social Demokratische Vereeniging atau ISDV (embrio sebelum akhirnya berganti nama menjadi PKI).
Di awal tahun 1965 PKI di Banyuwangi memperoleh suara mayoritas mengalahkan PNI dan NU. Hal ini menjadikan PKI lebih agresif daripada tahun-tahun sebelumnya. Aksi-aksi sepihak juga terjadi di Banyuwangi dan lagu Genjer-genjer ciptaan seniman Banyuwangi menjadi “lagu wajib” perjuangan PKI, yang dikumandangkan saat pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan PKI lainnya. Latar belakang konflik inilah yang melahirkan lagu Shalawat Badar sebagai tandingan dari lagu Genjer-genjer kepunyaan PKI. Shalawat ini adalah hasil karya Kiai. Ali Manshur, yang merupakan cucu KH. Muhammad Shiddiq, Jember.
Diceritakan bahwa asal mula karya ini ditulis oleh Kiai Ali Manshur sekitar tahun 1960an. Ketika itu, Kiai Ali adalah Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di situ. Latar belakangnya sebagai pemimpin agama (kiai) dari NU menjadikan ia merasakan efek dari pertentangan NU-PKI di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi tempat ia berasal.
Golongan kiai merupakan salah satu dari apa yang PKI sebut sebagai tujuh setan desa. Tujuh setan desa yang salah satunya adalah pengirim zakat juga dialamatkan kepada golongan kiai. Banyak kiai menjadi sasaran aksi-aksi sepihak para pengikut PKI. Termasuk juga kepada Kiai. Ali Mansur. Oleh karena itu, atas dasar keprihatinannya terhadap situasi di Banyuwangi yang menurutnya berbahaya bagi NU, Kiai Ali Mansur mencipatakan gubahan Shalawat yang dinamainya “Shalawat Badar”. Shalawat Badar adalah rangkaian shalawat berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w, serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Nama “Badar” menunjukkan perang yang terjadi di masa Nabi Muhammad yang menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan Islam.
Proses terciptanya teks Shalawat Badar ini diselubungi fenomena berbau mistis-agamis dan supranatural (suatu hal yang umum dikenal dalam warga NU). Ceritanya sebagai berikut: Konon, pada suatu malam, Kiai Ali Mansur tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu. Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa Arab.
Penciptaan teks ini juga diilhami mimpi Kiai Ali Mansur yang bertemu dengan para habib yang berbaju putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi (juga seorang tokoh agama terkenal Banyuwangi). Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhi.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar. Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur dalam forum pertemuan para kiai dan Habib di Jakarta sehingga sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.
Dengan adanya fenomena ini semakin memperkuat kepercayaan warga NU bahwa Shalawat Badar dapat menambah ”kekuatan” mental dan spiritual mereka untuk meredam agresivitas PKI. Dalam setiap kegiatan, seperti pawai, rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan di mana massa berkumpul, jika orang-orang PKI menyanyikan lagu Genjer-genjer, maka jika warga NU mengadakan pawai maupun rapat dikumandangkanlah Shalawat Badar sebagai mars perjuangannya. Ini menunjukkan bahwa di samping ada konflik fisik, juga terdapat perang budaya lewat karya sastra NU dan PKI, yaitu Shalawat Badar vs Genjer-genjer.

Penulis adalah Guru serta Pemerhati sejarah dan ilmu sosial





1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete