TRADISI
PENANAMAN PADI PETANI BAYAN
(Deskripsi
Etnografis Kearifan Lokal Masyarakat Adat Bayan Lombok
Nusa Tenggara Barat)
PENDAHULUAN
Bayan adalah sebuah desa di sekitar
hutan yang terletak di sisi barat daya Pulau Lombok, berada di kaki Gunung
Rinjani. Desa yang dikenal dengan penduduk asli suku sasak ini memiliki
loyalitas terhadap adat istiadat dalam banyak hal, pola dan tata cara bermukim.
Orang Sasak, leluhur asli orang Bayan sekarang, merupakan pemilik kebudayaan yang unik dan
sakral (John Ryan Bartolomew. 2001; Erni Budiwanti, 2000). Dalam kehidupan
keseharian, mereka memiliki beragam tradisi luhur yang hingga sekarang masih
diterapkan, salah satunya adalah pengetahuan tentang waktu.
Mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam, dikenal dengan sebutan Islam wetu
telu.
Secara administratif, Desa Bayan merupakan
salah satu desa dari 9 desa yang terdapat di kecamatan Bayan Kabupaten Lombok
Utara. Wilayah desa ini memanjang mulai
dari kaki Gunung Rinjani sampai ke tepi laut utara. Lokasinya merupakan salah
satu jalur pendakian ke gunung tersebut. Dari segi topografi, daerah Bayan dan
dusun-dusun sekitarnya tersebar dari yang berbatasan langsung dengan laut
hingga ke dusun yang memiliki ketinggian 700 m dpl. Luas
wilayah desa Bayan adalah 3.716 Ha dengan jumlah penduduk 4.453 jiwa. Dari luas
tersebut, sebesar 1.095 Ha merupakan lahan pertanian dengan topografi wilayah
berbukit Sebagian besar masyarakat desa Bayan bermata pencaharian sebagai
petani dengan persentase mencapai 90 % (KKL Unnes, 2012). Mata pencaharian penduduk di
wilayah ini sebagian besar adalah bertani. Hasil pertanian berupa padi,
sayur-sayuran, kelapa, buah-buahan serta bawang merah dan bawang putih yang
menjadi hasil andalan.
Berdasarkan
data di atas, dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Bayan
menggantungkan hidupnya dari kegiatan bercocok tanam atau bertani. Oleh karena
itu, mayoritas penduduk Desa Bayan merupakan komunitas adat petani Bayan.
Sebagai petani yang bernaung di bawah komunitas petani adat Bayan, para petani
bekerja di sawah yang tidak bisa lepas dari aturan-aturan adat di bidang
pertanian atau penanaman padi. Hal ini sudah menjadi bagian hidup mereka dan
kearifan lokal masyarakat adat setempat.
Tradisi bertani di desa Bayan ini merupakan sebuah gambaran
akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk
selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih
berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara
manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta
lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi
atas nilai kehidupan. Demikian kearifan lokal yang dimiliki kampung adat
Bayan-Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat direfleksikan sebagai bentuk
harmonisasi kehidupan.System mata pencaharian bertani masyarakat Bayan menjadi
penting dikaji karena sebagaimana klasifikasi yang dibuat oleh Koentjaraningrat
(1994), system mata pencaharian merupakan salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan utama.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui gambaran
kearifan lokal masyarakat adat Bayan khususnya tradisi pertanian. 2) mengkaji
ritus-ritus khas yang digunakan masyarakat adat Bayan dalam proses pertanian
terutama pada masa tanam padi. 3) mendeskripsikan peran penduduk dalam
pelaksanaan dan pelestarian tradisi adat penanaman padi di daerah Bayan.
Manfaat penelitian ini adalah sumbangan terhadap ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang antropologi-sosiologi. Manfaat selanjutnya
adalah mengetahui tradisi adat setempat dan peran penduduk sebagai pelaksana
dan pelestari tradisi yang khas dan unik masyarakat Bayan di Lombok Nusa
Tenggara Barat.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
etnografi, yaitu berusaha untuk memotret realitas pola kehidupan atau menurut
pandangan, penataan, dan penghayatan warga yang ada di dalam lingkup penelitian
tersebut. Oleh karena itu, secara ideal penelitian ini mencakup semua aturan,
kaidah, dan kategori yang pasti dikenal oleh warga masyarakat dalam komunitas
tertentu guna memahami dan bertindak tepat dalam berbagai situasi sosial yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini memfokuskan penelitiannya
di dalam komunitas petani Bayan sebagai sebuah masyarakat adat.
Permasalahan yang ingin diteliti dengan metode
etnografi dalam penelitian ini adalah tradisi dan ritual penanaman padi di
masyarakat desa Bayan. Peneliti ingin mengungkapkan bagaimana kearifan lokal
penduduk Desa Bayan lewat tradisi penanaman padi tradisional yang masih tetap
dilaksanakan sampai sekarang.
Fenomena lain yang ingin dikaji adalah ritual-ritual
tanam padi yang khas, unik, dan berbeda dengan daerah lainnya. Hal inilah yang
selanjutnya akan diteliti lebih mendalam, terutama dalam kaitannya dengan peran
penduduk adat Bayan dalam melestarikan tradisi dan budaya. Artinya, budaya
harus diberi makna yang lebih luas, sehingga metode etnografis bisa digunakan
dalam masyarakat yang kompleks (Spradley, 1997: 14-15).
HASIL PEMBAHASAN
Tradisi penanaman padi
tradisional
Bayan merupakan sebuah desa yang berada di kaki Gunung
Rinjani.
Pada mulanya topografi wilayah Bayan sangat sulit untuk
dijangkau terutama terbentur karena permasalahan jarak antara satu
wilayah dan wilayah desa lainnya yang sangat berjauhan dan medan yang berbukit. Akan
tetapi, sekarang dengan adanya perkembangan teknologi dan pembangunan dibidang
transportasi dan komunikasi. Tpografi bayan bukan suatu
hal yang menyulitkan secara ekologis. Hal ini tampak juga
pada berlimpahnya sumber air yang mengaliri lahan mereka. Di samping itu,
hidupdan berkembang pula jenis-jenis atau sumber penghasilan komunitas adat
Bayan, seperti : perkebunan, perladangan, dan peternakan.
Mayotitas penduduk desa Bayan yang
berprofesi sebagai petani menjadikan sistem dan tradisi pertanian merupakan
salah satu local wisdom, yang dilengkapi dengan ritus-ritus tertentu sebagai
pendukungnya (Daliem, 1990). Tradisi penanaman padi yang diyakini membawa berkah
baik kehidupan mereka maupun bagi kelangsungan dan keajegan sebuah tatanan
sosial kemasyarakatan adat di Bayan terus dipertahankan. Tradisi yang dimaksud
adalah tradisi penenaman padi tradisional yang dikenal dengan istilah padi bulu
yang dianggap sah secara adat (Fitriya, dkk., 2009: 231). Oleh karena itu, satu-satunya padi yang ditanam oleh
masyarakat adalah padi bulu ini. Walaupun dieprlukan waktu cukuop lama dalam
memetik hasilnya, yaitu kurang lebih 6 bulan, masyarakat dan komunitas petani
adat Bayan tidak pernah mengubahnya. Selain itu hasil padi bulu ini tidak bisa
diperjualbelikan. Mereka hanya memanfaatkan hasil panen bulu ini untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Tradisi dan sistem penanaman padi
bulu ini merupakan lingkaran mata rantai yang tidak ada ujung pangkalnya. Padi
bulu ini disamping sebagai kebutuhan pangan pokok komunitas adat juga dipakai
sebagai bibit melalui suatu proses adat dan ritual yang panjang. Artinya bibit
padi bulu dihasilkan melalui proses ritual. Peralatan-peralatan yang dipakai
dalam prosesi penanaman padi bulu masih disimpan utuholeh komunitas petani adat
Bayan. Hal ini menunjukkan bahwa betapa mereka sangat percaya akan kesahihan penanaman padi bulu
ini.
Untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka, komunitas petani adat Bayan masi percaya
dengan adanya rezeki yangberlimpah
asalkan mau bekerja. Berdasarkan dalil dan kepercayaan ini, komunitas petani
adat Bayan tidak membiarkan istri-istri mereka berdiam diri. Dalam tradisi penanaman padi
tradisional ini pun para istri dilibatkan. Keterlibatan mereka bisa dilihat dari
awal sampai akhir. Dari awal mereka dengan setia
membawakan makanan kepada suami mereka yang sedang bekerja di sawah. Demikian
pula pada saat menanam bibit. Biasanya, para istri dilibatkan dalam menanam
bibit. Selanjutnya, pada saat panen dan melakukan syukuran atau selamatn pun para ibu memegang peranan yang sangt
vital. Biasanya
mereka memasak makanan untuk disuguhkan kepada para tokoh lokal dan juga untuk
keluarganya.
Tradisi
penanaman padi selalu berhubungan dengan hari baik. Hari baik dalam adat Bayan
diistilahkan dengan wariga atau diwasa. Istilah lainyang dipakai juga adalah
kerasian. Perbedaan wariga dan diwasa dengan kerasian tereletak pada parameter
yang dipakai. Dalam hitungan wariga arau hari
baik, komunitas petani hanya memercayai satuhari baik
yang sesuai dengan aturan adat. Hal ini bersifat mutlak. Tidak ada ari baik
seperti hari lainnya seperti hari yang diatur dalam wariga tersebut. Hanya satu
hari baik secara adat. Sedangkan kerasian adalah perhitungan haribaik
berdasarkan hari kelahiran pemilik sawah atau petani yang bersangkutan.
Kerasian memakai rumus atau tanda sandi bukan memakai huruf. Rumus ini biasanya
memakai urip (hitungan) tiga berdasarkan itungan paham wetu telu. Misalnya,
pemilik sawah yang lahir hari senin, urip tiganya adalah rabu. Artinya pada hari rabulah mereka
boleh menanam padi tradisional. Urip tiga dari selasa adalah kamis. Rabu urip
tiganya adalah jumat, demikian seterusnya (Prayitno, 2001).
Walaupun
penanaman padi tradisional atau padi bulu ini masi bersifat tradisional bukan
berarti tidak terjadi perubahan
yang mereka lakukan. Salah satu perubahan, menurut pengamatan
di lapangan adalah
menyangkut pengolahan lahan (KKL Unnes, 2012). Dulunya hanya kerbau yang dipakai untuk
mengolah lahan sebelum tanam, tetapi saat ini karena biaya pemeliharaan kerbau
dan langkanya kerbau, tidak banyak petani yang memelihara kerbau. Oleh karena
itu, pengolahan lahan dikerjakan oleh sapi sebagai pengganti kerbau. Perubahan
lainnya adalah terdapat petani yang melakukan penananam padi varietas
modern,seperti padi gabah sebagai sistem pola tanam. Hasil padi gabah ini
diperjualbelikan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder mereka. Hasil padi gabah
ini tidak bisa dipakai sebagai sarana upacara adat karena padi gabah dianggap
tidak sah secara adat agama pada masyarakat adat Bayan.
Tipologi
Komunitas Petani Bayan
Tipologi petani Bayan adalah homogen. Mereka menganggap
dirinya satu dengan alam lahan garapannya. Hal ini disebabkan mereka tidak mau
bertolak belakang dengan lahan garapannya. Salah satu buktinya adalah lahan itu
sebelum digarap harus diritualkan bagaimana cara menggarapnya, bentuk
persembahan, dan pembagian panennya. Para petani bayan hidup dalam
kesederhanaan. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar rumah adat mereka yang
berbentuk sama. Mereka juga harus menaati hukum adat yang berlaku. Artinya,
kalau mereka tdak mematuhi hal ini, mereka akan dikenai sanksi adat yaitu tidak
mendapatan pelayanan adat.
Secara religius mereka selalu mengadakan acara ritual
sebelum, sedang, dan sesudah menggarap lahan mereka. Hal ini dimaksudkan untuk
menyelaraskan hubungan antara mereka dengan Tuhan dan alam.
Ritual
Penanaman Padi Bulu (Melong Pare Bulu)
Penanaman padi
bulu atau pare bulu oleh petani Bayan merupakan siklus penanaman padi yang
menyerupai mata rantai yang menyambung satu sama lain. Untuk memudahkan
identifikasi ritual ini, penanaman padi bulu dibagi menjadi tiga bagian utama
yaitu 1) masa pra tanam atau masa persiapan sebelum kegiatan penanaman dimulai;
2) masa tanam, yaitu masa menanam bibit dan pemeliharaan; dan 3) masa pasca
tanam, yaitu masa panen dan penyimpanan hasil panen di sebuah lumbung (Fitriya,
dkk., 2009: 232).
Kegiatan penanaman padi tradisional pada masa pra tanam
melewati beberapa tahapan ritual seperti : slamet olor (selamatan mata air),
tunang bineq (menurunkan bibit), mengerem (merendam bibit), menimpang
(menebarkan bibit), mbole mlesaq (membajak sawah), menambah dait mundukin
(mencangkul dan memperbaiki pematang), mbole jejariang (menghaluskan lahan),
mereas (mencabut benih) dan taletan (membuat tempat penyemaian). Masa pra tanam
merupakan proses awal penanaman padi bulu.
Kegiatan selanjutnya adalah masa tanam benih di sawah,
yang dikenal dengan istilah melong. Pada saat menanam, jarak tanaman diatur
sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh dengan merata. Apabila di kemudian hari
tanaman tumbuh tidak merata maka dilaksanakan penanaman kembali pada bagian
yang tumbuhnya kurang bagus. Para petani bayan menyebut kegiatan ini dengan
istilah nyisipin. Pada saat nyisispin ini petani mencabut tanaman liar yang
mengganggu tanaman padi. Selanjutnya dilakukan ritual buburan atau sidekang
pare.
Ritual buburan atau sidekang pare ini merupakan ritual
untuk memelihara padi dari serdangan hama penyakit. Setelah beberapa bulan
dilaksanakan ritual nyempreq. Ritual jenis ini merupakan hal yang sangat
penting dalam masa tanam. Dikatakan sangat penting karena mengundang tetua adat.
Ritual ini dipimpin oleh seorang kiai (kiai Lebe). Ritual ini dilaksanakan pada
saat padi sudah mulai ngidam atau menguning. Hal ini dilakukan untuk mendoakan
agar hasil panen padi berkualitas baik dan dapat digunakan untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari.
Mas admin boleh tanya" seputar daerah bayan kah kami dari unit kegiatan mahasiswa ingin mengadakan penelitian kesana
ReplyDelete