IDENTITAS DAN INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN SEJARAH
Oleh M. Mujibur Rohman
Nasionalisme dan integrasi nasional memiliki interelasi dan
interdepedensi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa, eksistensinya secara historis tidak bisa dilepaskan dari
perbincangan tentang nasionalisme. Sebagai sebuah identitas yang sebagian dari
sejarahnya melekat pada dialektika yang dibentuk oleh kehadiran kolonialisme
barat, nasionalisme mnenjadi nilai pokok yang menghiasi sejarah Indonesia. Menurut
Eric Hobsbwam dalam Brotherhood of Young Europe disebutkan bahwa “rasa
kebangsaan itu bersifat sakral, yang merupakan bagian dari misi khusus setiap
umat manusia yang terkait erat dengan upaya setiap orang untuk mengisi misi
umum kemanusiaannya”.
Berdasarkan hal di
atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan nasionalisme seolah-olah
sudah merupakan bagian dari takdir dalam proses sejarah umat manusia, termasuk
bangsa Indonesia atau orang-orang yang ada di dakam sebuah cakupan geografis
dan geopolitik yang disebut dengan Indonesia. namun hal itu bukan berarti bahwa
nasionalisme sebagi sesuatu yang diberikan atau statis, melainkan sesuatu yang
harus dibentuk dan dinamis. Secara historis sebagai contoh, tidak ada yang
menolak bahwa Indonesia sebagai entitas kebangsaan merupakan sesuatu yang baru.
Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai
antitesa terhadap dominasi kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang
sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah.
Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia
tidak pernah ada sebelumnya dan baru muncul pada abad XX, serta mencapai
puncaknya ketika sebuah bangsa dan negara baru diproklamasikan kemerdekaannya
pada tahun 1945. Sejak saat itu semua penduduk yang ada di bekas wilayah Hindia
Belanda itu kemudian menyebut diri mereka, atau disebut sebagai bangsa
Indonesia. Secara perlahan-lahan baik melalui proses alami maupun produk dari
rekayasa sosial-politik, Indonesia tidak lagi hanya dipahami sebagai identitas
politis melainkan telah berkembang juga sebagai identitas sosiologis dan kultural.
Lebih lanjut hal ini dapat dikatakan sebagai tahapan dalam integrasi nasional
Indonesia.
Menurut Christine
Drake, integrasi nasional mencakup cara dan proses di mana orang yang berada di
dalam wilayah yang berbeda dan/atau memiliki perbedaan etnis, sosial budaya,
latar belakang ekonomi, merasa merupakan suatu kesatuan sebagai sebuah bangsa
dan memiliki satu identitas. Integrasi nasional juga mengandung aspek-aspek
seperti integrasi politik, integrasi ekonomi, integrasi sosial, integrasi
budaya, dan lain-lain. Aspek-aspek ini dapat dibedakan namun saling berhubungan
erat dan saling mempengaruhi.
Berdasarkan hal di
atas maka satu tahapan integrasi nasional telah terbentuk, melalui sebuah
peristiwa dalam sejarah bangsa Indonesia yang dinamakan Proklamasi Kemerdekaan
tahun 1945. Dengan adanya proklamasi kemerdekaan maka dapat dikatakan bahwa Indonesia
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari wilayah-wilayah dan orang -orang yang
ada di dalamnya yang memiliki satu identitas kebangsaan, yaitu Indonesia,
walaupun hipotesis ini masih dapat dipertanyakan Adanya proklamasi kemerdekaan
belum menjamin integrasi dalam arti kesatuan yang menyeluruh dalam berbagai
aspek. Dalam perkembangannya identitas
kebangsaan dan integrasi nasional yang timbul dari benih yang lahir dari
proklamasi kemerdekaan 1945 terancam oleh berbagai fenomena disintegrasi yang
muncul di berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Secara historis dapat dikatakan, ketika Indonesia
diproklamasikan sebagai bangsa dan negara yang merdeka, identitas kebangsaan
yang “nasionalime Indonesia nasional” atau dengan kata lain, nasionalisme yang
menghargai berbagai keragaman etnis dan dapat mewakili nasionalisme
lokal/regional dan etnisitas, belum mengalami rasionalisasi, deprimordialisasi
dan demokratisasi secara menyeluruh. Dengan kata lain, integrasi nasional belum
meresap seluruhnya ke dalam berbagai aspek yang ada di dalam masyarakat.
Indonesia yang dikenal saat itu baik secara politik maupun territorial tidak
secara otomatis terbentuk dengan proklamasi kemerdekaan yang dinyatakan oleh
Sukarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia itu, melainkan memerlukan
proses dukungan dari berbagai wilayah dan masyarakat yang ada di luarnya untuk
menyatakan bahwa mereka adalah Indonesia dan bagian dari negara bangsa yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan itu hanya akan
menghasilkan negara bangsa yang didasarkan “nasionalisme Indonesia Jakarta” dan
bukan “nasionalisme Indonesia nasional” jika tidak diikuti oleh beberapa
peristiwa seperti, pernyataan dukungan penguasa Jawa di Yogyakarta, apel
dukungan masyarakat Medan dan Makassar, dan dukungan politis serta pengorbanan
harta rakyat Aceh dan Sumatra Barat. Atau dalam analogi bahasa para evolusionis,
proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu tahapan dalam proses evolusi untuk
menghasilkan negara bangsa “Indonesia”.
Salah satu aspek dalam integrasi nasional adalah
integrasi sosial. Integrasi sosial dapat didefinisikan melalui arti dari
integrasi itu sendiri. Konsep integrasi memiliki dua pengertian, yaitu pertama,
pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial
tertentu dan kedua, membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur
tertentu Sedangkan yang disebut
integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama
lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial
diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan,
baik merupa tantangan fisik maupun konflik
yang terjadi secara sosial budaya.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa
terintegrasi di atas dua landasan berikut : pertama, suatu masyarakat
senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar
anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental
(mendasar) Kedua, masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat
sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting
affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan
kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting
loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Jika
dihubungkan dengan identitas kebangsaan, dalam hal ini adalah Indonesia maka
integrasi sosial juga harus mendasarkan kepada identitas Indonesia, dengan
menghilangkan rasa etnosentrisme, promirdialisme dan kedaerahan serta tetap
menghargai keragaman etnis maupun ras.
Aspek lain dalam integrasi nasional adalah integrasi
politik. Dalam perkembangannya, meskipun pembentukan negara Indonesia telah
dilakukan lebih dari 60 tahun yang lalu, keserasian hubungan sosial dan politik
dalam bentuk konflik identitas dan kebangsaan masih merupakan salah satu masalah
yang rumit yang dihadapi negara dan masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Rangkaian peristiwa sejak munculnya pergolakan kedaerahan pada tahun 1950-an,
berkembangnya tuntutan otonomi daerah yang luas, adanya keinginan yang semakin
kuat dari beberapa daerah atau etnik untuk memisahkan diri dari Indonesia
sampai simpang siurnya pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, dapat dilihat
sebgai indikasi dari memudarnya integrasi politik yang sudah terbentuk sejak
proklamasi Kemerdekaan. Hal ini memunculkan indikasi lain tentang adanya
konflik identitas kebangsaan dan etnisitas yang berdimensi banyak. Konflik
identitas itu akhirnya bermuara pada akan terjadinya perubahan mendasar pada
konstruk dan realitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara, yang pada
tingkat tertentu akan berarti disintegrasi.
No comments:
Post a Comment