TEORI DUALISME EKONOMI DAN
DINAMIKA SEJARAH EKONOMI INDONESIA
*Muh. Mujibur Rohman
Sejarah ekonomi Indonesia
abad ke-19 dan 20, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan-kebijakan baru di bidang ekonomi yang dilaksanakan pemerintah kolonial
untuk meningkatkan eksploitasi di tanah jajahan. Campur tangan pemerintah
terhadap ekonomi kolonial terpusat di Jawa secara ekstrem di abad ke-19 dan
tetap cenderung ke Jawa selama paruh pertama abad ke-20. Hal ini disebabkan
Jawa merupakan pusat adminstrasi dan politik dari koloni yang menampung
penduduk Eropa terbesar di kepulauan nusantara. Salah satu kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah kolonial adalah sistem tanam paksa. Pelaksanaan sistem
tanam paksa di daerah-daerah memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda.
Sistem tanam paksa di Sumatera Barat telah melahirkan stagnasi ekonomi dalam
masyarakat Minangkabau dan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir abad
ke-19. Di pulau Jawa, pelaksanaan sistem ini telah mendorong suatu pertumbuhan
yang mantap di bidang ekspor. Jawa makin terlibat dalam hubungan internasional.
Pada masa tanam paksa, terbangun dualisme dalam
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat petani, yang sebelumnya telah ada
walaupun belum menjadi manifes. Di dalam ekonominya, tercipta dua struktur yang
tidak seimbang, yaitu perkebunan kolonial yang berorientasi modern-ekspor dan
pertanian tradisional pada tahap yang masih subsistens. Dalam kehidupan sosial
menciptakan pola kehidupan masyarakat yang dualistik pula, yaitu masyarakat
penjajah belanda dan masyarakat petani pribumi.
Abad ke-19 dilihat
dari aspek pelaksanaan sistem Tanam Paksa merupakan periode masuknya sistem
ekonomi uang (moneterisasi) di desa-desa, dan terutama sangat terasa di pulau
Jawa. Dengan sistem ekonomi uang, para petani makin tergantung pada dunia luar.
Produksi pertanian dirasakan sebagai komoditi untuk ekspor dan pasar dunia.
Adanya fenomena yang berkontradiksi dan kontras ini merupakan gambaran dari
teori dualisme ekonomi yang dikemukakan oleh J.H. Boeke. Teori Boeke muncul
dari fenomena tentang adanya dua “masyarakat” atau dua “sistem” yang saling
berbenturan. Boeke menggambarkan adanya dua keadaan yang amat berbeda dalam
suatu masyarakat, yang hidup berkembang secara berdampingan. Keadaan pertama
bersifat “superior” sedangkan yang lainnya bersifat “inferior”, seperti halnya
adanya cara produksi modern berdampingan dengan cara produksi tradisional,
antara orang kaya dengan orang miskin tak berpendidikan, dan keadaan kontras
yang lain dalam satu masa dan tempat. Dualisme ekonomi dapat
juga didefinisikan munculnya struktur perekonomian modern dan tradisional
secara bersamaan namun tidak terintegrasi. Teori dualisme Boeke menerangkan
mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial
Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara
Barat yang berdasarkan mekanisme pasar.
Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan
antara dua prinsip hidup ini dinamakan perekonomian dualistis. Dualistis dalam
konteks ini berarti dua sisi, bersifat heterogen. Di mana dualisme ini berkuasa,
keselarasan sosial serta kesatuan ekonomi tidak ada; tidak ada kedamaian
internal yang sejati. Keseimbangan ekonomi terguncang dan tanpa dapat berhenti.
Segala bentuk masalah ekonomi muncul dan menerpa inti masyarakat dalam
pertanyaan yang belum dapat dipecahkan, karena masalah-masalah itu memancar
dari pertikaian yang tak terselesaikan, dan dari suatu antitesa yang tidak
dikenal dan tidak diketahui kemungkinannya untuk dapat diubah atau dipecahkan
(Boeke, 1983: 11-12).
Berkenaan dengan masa kolonial, dalam dualisme ekonomi
yang dikemukakan Boeke, terdapat perbenturan antara “masyarakat Timur
prakapitalis yang tradisional” (masyarakat desa) dan sektor Barat kapitalis
yang dinamis” (perusahaan-perusahaan Barat) menempati posisi sentral (Linblad,
1998). Lebih lanjut dalam konteks
kebijakan ekonomi kolonial ia mengemukakan bahwa sistem ekonomi dualistis di
dalamnya terdapat sistem ekonomi modern yang dipraktikkan negara kolonial yang
hidup berdampingan dengan sistem ekonomi tradisional (ekonomi subsistens) dan
tidak saling mengganggu (van Niel, 2003: ix). Argumen ini sepintas berlawanan
dengan paparan awalnya mengenai akibat dualisme perekonomian bagi masyarakat.
Dalam kenyataannya,
teori Boeke mengenai tidak saling mengganggunya sistem ekonomi modern dan sistem
ekonomi tradisional dilemahkan oleh fakta sejarah yang terjadi pada masa-masa
itu, walaupun ia juga telah memaparkan ekses maupun alternatif baru dari
dualisme perekonomian. Sistem tanam paksa tidak menghapuskan dualisme tersebut,
misalnya lewat penghapusan sistem pertanian tradisional, melainkan dipertahankan
dan dimanfaatkan. Caranya melalui pengaturan sistem kerja petani dan lahan
pertanian tradisional sedemikian rupa sehingga ekonomi-sosial tradisional-lah
yang menjadi penunjang ekonomi kolonial. Kehidupan tradisional yang
subsisten-lah yang menunjang ekonomi modern yang berorientasi
komersial-eksport.
Akibat dari praktik kebijakan ekonomi kolonial ekonomi
subsistensi mengalami gangguan yang serius. Sistem ekonomi modern (sistem
ekonomi uang dan komoditas ekspor) telah mengeksploitasi habis-habisan sistem
ekonomi subsistensi yang menjadi basis ekonomi kaum tani. Eksploitasi ekonomi
modern lewat sistem tanam paksa merupakan eksploitasi yang bersifat brutal dan mengakibatkan petani Jawa
menderita kemiskinan dan kelaparan. Struktur sosial dan ekonomi Jawa nyaris dihancurkan.
Kemiskinan dan kelaparan menjadi masalah pokok penduduk Jawa. Teori Involusi
Pertanian Clifford Geertz yang menjelaskan proses kemiskinan struktural di Jawa
tampak relevansinya. Pertambahan penduduk Jawa, berkurangnya lahan pertanian
dan perluasan perkebunan Eropa menjadi penyebab kemiskinan di Jawa (van Niel,
2003). Sedangkan menurut Boeke sendiri,
masalah-masalah yang timbul dari ekonomi dualistis dapat dikelompokkan di
sekitar dua inti, yaitu kepadatan penduduk dan hutang pedesaan.
Pemerintah
kolonial melalui dualisme perekonomiannya, dalam hal ini ekonomi kolonialnya
yang modern, menganggap kebutuhan akan ekonomi-sosial yang tradisional
merupakan sesuatu yang urgen. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ketika
ekonomi kolonial mengalami ekspansi (karena naiknya harga komoditas eksport di
pasaran dunia), ekonomi-sosial tradisional akan dengan mudah dapat dikontraksi
(mobilisasi tanah dan tenaga kerja) untuk mengikuti ekspansi tersebut. Apabila
situasi berubah, melemahnya ekonomi kolonial (karena fluktuasi harga di pasar
dunia) akan dapat dikompensasi dengan memperkuat ekonomi-sosial tradisional, Di
sini terlihat faktor naiknya populasi petani dan intensifikasi pertanian
tradisional menjadi variable penting. Hal ini juga menunjukkan siasat pemerintah
kolonial melalui dualisme ekonominya.
Masyarakat desa,
terutama para petani merupakan golongan yang dirugikan dengan adanya praktik
ekonomi kolonial yang bersifat dualistis ini. Salah satu tujuan dari sistem
tanam paksa adalah mengikuti pola-pola kekuasaan tradisional masyarakat Jawa
dalam menggerakkan kaum tani di daerah-daerah tertentu supaya mau mengerjakan
produksi tanaman dagang ekspor. Yang diharapkan adalah agar kepala desa dan
atasan-atasan mereka di tingkat supradesa menggunakan otoritas mereka untuk
menggunakan warga desa bekerja dengan cara-cara baru dan menyerahkan pemakaian
sebagian dari tanah mereka untuk ditanami tanamam pemerintah dan bukan untuk
ditanami tanaman padi. Tujuan ini diharapkan dari membuat masayrakat Jawa tetap
statis. Namun kenyataannya tidak demikian. Peranan baru para kepala desa yang
diperoleh pada masa pelaksanaan tanam paksa di Jawa ini tampaknya telah
mengubah struktur sosial ekonomi pedesaan. Mereka terlibat intens dalam
pengelolaan dan pengorganisasian produksi tanaman dagang untuk ekspor. Di lain
pihak, para petani harus memikul beban semakin berat untuk penyelenggaraan
komoditas ekspor itu. Dampak ekonomi sistem
tanam paksa justru mendorong perubahan-perubahan dan mempercepat
kecenderungan-kecenderungan yang memang sudah ada.
Menurut Boomgaard
ada beberapa unsur hakiki dalam model tradisional masyarakat pedesaan (Boomgaard,
2004: 9), yaitu:
1.
suatu penduduk yang terdiri
dari sejumlah kecil petani yang,
2.terlibat dalam produksi subsistensi,
3.tidak tersentuh uang atau pasar
4.
hidup dalam komunitas-komunitas
tertutup dan sudah mempunyai badan hukum,
5.
dengan struktur yang harmonis,
egaliter dan “demokratis”,
6.
hidup dengan sikap sebagai abdi
feodal terhadap kaum bangsawan pribumi,
7.
dengan pelan-pelan digantikan
oleh birokrasi kolonial dan perusahaan Barat,
8.
yang merupakan suatu ekonomi
daerah-kantong berdasarkan tenaga kerja paksa,
9.
bersamaan dengan itu ekonomi
dualistis tandingannya yang asli dicirikan oleh kemandekan (“homeostatis”, “involusi”).
Apabila pengalaman
kaum tani Asia Tenggara, termasuk Indonesia di zaman penjajahan
dilihat dari segi prinsip keterjaminan subsistensi, maka muncul
fenomena-fenomena yang jarang menjadi pusat perhatian dalam analisa tentang
kolonialisme. Dari segi keterjaminan subsistensi, kolonialisme melalui perekonomiannya
yang bersifat “dualistis” telah menciptakan masalah-masalah sebanyak yang
dipecahkannya. Di satu pihak, ia memang menciptakan jaringan-jaringan
pengangkutan dan kemampuan politis yang dapat mengangkut padi dari daerah
surplus ke daerah defisit, dan dengan demikian menekan ancaman kelaparan
setempat. Akan tetapi di pihak lain, kemampuan pengangkutan dan politis itu
dapat pula digunakan untuk mengangkut padi dari satu daerah dalam bentuk sewa
dan pajak. Di satu pihak, politik dan modal kolonial telah mendobrak
batas-batas pertanian dan berkat kerja petani-petani perintis, telah membuka
tanah pertanian baru yang luas. Di lain pihak, sebagian besar dari tanah itu
dikuasai oleh satu kelas kecil tuan tanah, yang kekuasaannya atas penduduk
daerah pedesaan yang bertambah dengan sangat cepat cenderung untuk meniadakan
setiap perbaikan dalam taraf hidup kaum tani yang sebetulnya dapat mereka capai
apabila tidak ada kekuasaan itu (Scott, 1981: 86)). Hal-hal yang sudah
disebutkan ini merupakan perwujudan dari adanya dualisme perekonomian, yang
membawa pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat desa,
terutama petani.
Pertumbuhan negara
kolonial dan komersialisasi pertanian yang membawa masyarakat petani ke dalam
ekonomi dunia telah memperumit dilema keterjaminan subsistensi kaum tani. Hal
ini disebabkan sekurang-kurangnya oleh lima cara (Damsar, 2002):
1.
ketidakstabilan yang bersumber dari pasar
2.
perlindungan desa yang semakin
lemah
3.
hilangnya sumber-sumber daya
subsistensi sekunder
4.
buruknya hubungan-hubungan
kelas agraris.
5.
negara kolonial yang semakin
ekstensif dan intensif dalam memungut pajak
Masih dalam konteks dualisme ekonomi, aplikasi dualisme
ekonomi dapat dilihat dari akar terbentuknya koperasi di Indonesia . Masih
berdasar teori dualisme ekonominya, Boeke mengemukakan bahwa lembaga yang cocok
untuk diterapkan pada perekonomian Hindia-Belanda yang masih tradisional adalah
koperasi. Bagi Boeke, sistem
bisnis koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha
kapitalis. Dari situlah akhirnya muncul beleid
(peraturan) perkoperasian no. 91 tahun 1927. Beleid itu mengijinkan koperasi yang didirikan dengan menggunakan
bahasa daerah, mengijinkan koperasi beroperasi sesuai hukum dagang daerah
masing-masing dan perijinannya pun dapat diurus di daerah tempat koperasi itu
akan didirikan. Hal yang terlihat di sini adalah koperasi Indonesia
didirikan atas dasar yang sederhana, dengan status hukum Indonesia ,
bukan status hukum Eropa. Cara baru ini tidak dapat segera diterima dan membuat
persetujuan bulat karena tidak terlalu cocok dengan konsep unifikasi dan
asosiasi yang masih mempunyai pengikut. Namun, pengakuan atas dua lapisan
operasi dualistis yang legal dan yang praktis secara terpisah, Indonesia dan
Barat, dianggap sebagai jalan keluar atas demikian banyak masalah yang
ditimbulkan oleh dilema kolonial yang dualistis.
Gagasan Boeke
mengenai ekonomi Indonesia
tidak terbatas pada menggalakkan koperasi pribumi. Ia menunjukkan kegagalan
keseluruhan program kredit dan kesejahteraan pemerintah dalam suasana yang
impersonalistis yang menguasai keadaan, yang berusaha menerapkan tata
pembangunan dan perbaikan secara seragam kepada seluruh penduduk Indonesia . Apa
yang terjadi dalam praktik ialah bahwa sejumlah kecil individu memperlihatkan
kemauan mereka hendak memanfaatkan fasilitas untuk kemajuan ekonomi yang
disediakan pemerintah sedangakan mayoritas terbesar acuh tak acuh. Boeke merasa
bahwa pemerintah harus mengarahkan perhatian kepada orang-orang yang bergairah
ini, memusatkan perhatian untuk membantu mereka daripada terus menerus dengan
kerja yang besar yang tanpa hasil dengan mencoba meningkatkan kehidupan seluruh
penduduk.
Proses ini menurut Boeke harus tidak lepas dari usaha, kekuatan
dan kapasitas individu Indonesia dalam mengusahakan perbaikan diri sendiri- ia
mempergunakan istilah “oto-aktivitas”- dan tekanan pemerintah (parentah halus) yang mencoba memaksakan
perubahan harus ditinggalkan (van Niel, 1984). Indikasi ini menunjukkan suatu alternatif
untuk mengurangi dilema dualisme perekonomian kolonial, dengan mengedepankan
peranan penduduk pribumi dan sedikit mengurangi
tekanan dan peran pemerintah. Akan tetapi hal ini belum menunjukkan perubahan
yang signifikan, karena pemerintah masih tetap berperan banyak dalam mengatur
kebijakan ekonomi. Selain itu, munculnya
krisis 1930-an membuat Boeke sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan ekonomi
haruslah dualistis.
Selama krisis
1930-an, perusahaan-perusahaan Barat merasa perlu memproteksi posisinya, karena
ada kemerosotan harga, kelebihan produksi dan proteksionisme yang mendunia. Ini
benar meskipun fakta menunjukkan bahwa mereka lebih suka untuk tidak memberikan
terlalu banyak kebebasan kepada pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan
protektif. Namun, Boeke menyatakan bahwa penduduk Indonesia mempunyai kebutuhan yang
lebih besar terhadap proteksi. Karena karakter masyarakat Indonesia yang
dualistis, penduduk pribumi semakin merasakan diri mereka didiskreditkan. Hal
ini akan menimbulkan bencana “kecuali jika pemerintah memberikan pertolongan”
dan “kecuali jika pemerintah yang banyak akal menemukan cara untuk menolong
para produsen pribumi”.
Boeke melihat krisis 1930-an lebih tidak sebagai jeda
(kekosongan sementara). Menurut Boeke, kebijakan ekonomi dualistis sangat
diperlukan dalam waktu yang lama. Pendekatan Boeke mengimplikasikan bahwa
intervensi pemerintah menunjukkan pentingnya sikap meninggalkan kebijakan laissez faire sejak awal 1900 (Linblad,
1998) Tindakan-tindakan ekonomi pemerintah pada awalnya tidak menopang suatu
keseluruhan yang koheren. Tindakan-tindakan tersebut sering bersifat sementara,
namun telah menambah pengalaman pemerintah dalam melaksanakan kebijakan
ekonomi.
Dalam perkembangannya, di satu pihak teori dualisme
ekonomi Boeke menambah dimensi lain tentang sejarah ekonomi Indonesia
tetapi di lain pihak mendapat kritikan dari beberapa ahli ekonomi yang lain. Menurut
Van Niel, Boeke melihat suatu perbedaan antara ekonomi rumah tangga pedesaan Jawa
dengan ekonomi padat modal berorientasi ekspor dari pemerintah. Pengamatannya,
yang tentu saja memasukkan tenaga kerja murah sebagai bagian dari pembedaan
itu, memang tepat dan mudah dipahami. Namun, alasan-alasan yang dikemukakannya
sama sekali tidak dapat diterima. Orang-orang Jawa bukannya tidak peduli dengan
perolehan keuntungan pribadi, tetapi tuntutan-tuntutan yang dikenakan terhadap
mereka dalam konteks lingkungan hidup mereka justru yang tidak memungkinkan
mereka bertindak dengan cara-cara yang sesungguhnya dianggap wajar oleh sistem
ekonomi liberal (van Niel, 2003).
Kritik yang paling gencar terhadap teori Boeke antara
lain datang dari Benjamin Higgins dan J.A.C. Mackie. Menurut
Higgins fenomena dualisme tidak hanya terjadi di “timur”, seperti yang
dikemukakan oleh Boeke, tetapi juga terjadi di “barat”, bahkan bisa terjadi
dimana saja. Selain itu beberapa fenomena yang diasosiasikan oleh Boeke sebagai
masyarakat dualistik dapat diterangkan dengan memuaskan oleh teori ekonomi
konvensional dengan tidak memerlukan teori dualisme yang khusus. Lebih lanjut
Higgins mengemukakan bahwa proporsi Boeke mengenai tidak mampunya sektor
pertanian tradisional bersaing dengan perkebunan telah disangkal dengan fakta
bahwa para pekebun kecil yang menanam karet ternyata berhasil dalam usahanya
selama masa depresi tahun 1930-an. Kritik Higgins diperkuat oleh banyaknya
observasi Boeke mengenai ciri khas masyarakat timur yang tidak konsisten dengan
bukti faktualnya. Kritik yang lain muncul dari J.A.C. Mackie. Ia menentang
dualisme yang mengkontraskan perkebunan besar yang dinamis dan rasional dengan
petani kecil yang lemah dan stagnan dengan menunjukkan fakta bahwa para petani
kecil yang disebut Boeke sebagai sektor subsisten-prakapitalis, ternyata tumbuh
pesat dan dinamis pada dekade 1920-an
Selain itu beberapa ahli ekonomi mengemukakan pemikiran
yang lain mengenai struktur perekonomian yang berkembang di Indonesia . Studi
yang dilakukan oleh hal Hill, Chris Manning, Ross McLeod, dan Howard Dick
menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan
mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi
yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia . Studi Hal Hill agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme
teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill
menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia .
Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat
diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia . Ia melihat dualisme
teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan Indonesia .
Sedangkan Chris Manning mencatat terdapat banyak
perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar tenaga kerja di berbagai segmen
industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi prakapitalis-kapitalis
versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan dualisme
melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi. Pemikiran
yang lain datang dari Ross McLeod. McLeod mendefinisikan dualisme sebagai
koeksistensi yang berlanjut antara sektor “modern” dan “tradisional” dalam
ekonomi domestik negara sedang berkembang (NSB). Dalam sektor keuangan,
dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang informal.
McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan sebagai perbedaan
harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan dalam lokasi geografis. Pemikiran selanjutnya adalah dari Howard Dick, yang menyimpulkan bahwa
kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia mencatat adanya tiga
gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam teknologi alat
pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.
Selain pemikiran di atas, dalam perkembangan ilmu
ekonomi pembangunan terdapat teori ketergantungan internasional yang di
dalamnya memuat tentang tesis pembangunan dualistik. Di dalam tesis pembangunan
dualistik ini, konsep dualisme ekonomi memiliki empat elemen dasar (Todaro,
2000: 111-112), yaitu:
1.
Di setiap tempat dan konteks,
selalu saja ada sejumlah elemen “ superior “ dan sekaligus elemen “inferior”.
Elemen – elemen tersebut hadir secara bersamaan dalam waktu dan tempat yang
sama. Inilah hakekat sebenarnya dari konsep dualisme yang kemudian di adopsi
untuk Indonesia . Contoh penerapan konsep
dualisme ini antara lain dapat dilihat dari pemikiran Lewis tentang
koeksistensi (kebersamaan) kelompok elit yang kaya raya dan terdidik, dengan
massa orang – orang miskin yang buta aksara; dan sinyalemen dari pendekatan ketergantungan
akan adanya koeksistensi antara negara – negara agraris kecil yang serba
melarat serta lemah didalam perekonomian internasional.
2.
Koeksistensi bukanlah hal yang
bersifat sementara atau transisional , melainkan sesuatu yang bersifat baku , permanen atau
kronis. Koeksistensi ini juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan
mengikis seiring dengan berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior
mempunyai kekuatan untuk mempertahankan superioritasnya, sedangkan elemen yang
inferior tidaklah mudah untuk meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain,
koeksistensi internasional antara yang kaya dan miskin bukan merupakan suatu
fenomena sejarah yang akan membaik dengan sendirinya bila saatnya telah tiba.
Meskipun teori pertumbuhan ekonomi bertahap dan model pertumbuhan struktural
secara implisit juga dilandaskan pada asumsi demikian, namun faktanya bahwa
ketimpangan internasional semakin membesar sehingga secara jelas bahwa asumsi
tersebut adalah keliru.
3.
Kadar superioritas serta
inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya tidak menunjukkan
tanda – tanda akan berkurang, melainkan cenderung meningkat. Sebagai contoh,
kesenjangan produktivitas antara para pekerja di negara – negara maju dengan
para pekerja di negara – negara berkembang tampaknya semakin lama semakin
melebar.
4.
Hubungan saling keterkaitan
antara elemen – elemen yang superior dengan elemen – elemen yang lainnya yang
inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga keberadaan
elemen – elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa manfaat
untuk meningkatkan kedudukan elemen – elemen yang inferior. Dengan demikian,
apa yang disebut dengan prinsip “penetasan kemakmuran ke bawah” (trikel down effect) itu sesungguhnya
sulit untuk diterima. Bahkan dalam kenyataannya, elemen – elemen superior
tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi, mengeksploitasi atau
menggencet elemen – elemen yang inferior.
Teori dualisme ekonomi Boeke dan tesis pembangunan
dualistik ini memiliki kesamaan mengenai adanya dua elemen yang berbeda dan
kontras di dalam masyarakat, di satu pihak ada elemen “superior” sedangkan di pihak lain ada elemen
“inferior”. Walaupun teori dualisme
ekonomi Boeke banyak mendapat kritikan dari ahli ekonomi yang lain, tetapi
teorinya- beserta tesis pembangunan dualistik- dapat digunakan untuk
menganalisis bekerjanya dualisme ekonomi (jika dapat disebut demikian) dalam
sistem ekonomi Indonesia
saat ini. Teori dualisme ekonomi dalam konteks Indonesia saat ini dapat digunakan
untuk membantu dalam menganalisis dialektika hubungan ekonomi antar para pelaku
ekonomi.
Dualisme ekonomi
di Indonesia
tidak hanya mengejawantah sebagai manifes, yang muncul sebagai akibat dari
perbedaan taraf pengembangan teknologi, melainkan nampak sebagai perbedaan konsep
nilai (falsafah), ideologi, dan sosial-budaya, yang mempengaruhi bekerjanya
sistem ekonomi. Jika dihubungkan dengan keadaan ekonomi Indonesia
beberapa dekade terakhir ini, persoalan Indonesia agaknya masih belum
beranjak jauh dari apa yang ditemukan Boeke mengenai persoalan ekonomi pada
masa kolonial yang lalu, meski dalam konteks yang berbeda. Dalam realitas Indonesia ,
terdapat dua sektor (pelaku) ekonomi yang berbeda yang berdampingan. Perbedaan
dua sektor tersebut, menurut kaca mata
pemerintah dibagi dalam dua sektor yaitu formal yang identik dengan swasta
dengan badan-badan usaha skala besar seperti BUMN atau yang berbadan hukum
perseroan terbatas (PT), yang dapat dikategorikan pelaku ekonomi yang
“superior”, dan informal yang identik dengan petani, pengusaha dan pedagang
kecil, yang tergolong
pelaku ekonomi yang bersifat “inferior”. Selama ini,
yang diuntungkan dengan sistem yang ada adalah yang formal, sementara sektor
informal yang mempunyai kontribusi besar hanya mendapat sedikit perhatian.
Derajat interelasi dan interdependensi antara kedua sistem
(pelaku) umumnya terjadi dalam pola yang tidak seimbang. Dalam hal ini, sistem
(pelaku) ekonomi superior (dominan) cenderung mensubordinasi sistem (pelaku)
ekonomi inferior karena kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, modal (capital) dan SDM yang dikuasai pelaku
ekonomi di sektor modern tersebut (Hamid, 2005: 9). Hal ini tampaknya bersesuaian
dengan elemen dasar yang keempat dalam tesis pembangunan dualistik mengenai
saling hubungan antara elemen superior dengan elemen inferior. Akan tetapi,
tetap ada resistensi dari pelaku ekonomi tradisional di pedesaan yang berupaya
mengembangkan tatanan sosial-ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai dan sistem
sosial-budaya mereka.
Strategi pembangunan Indonesia yang lebih berorientasi
membangun sektor modern dengan strategi industri substitusi impor ternyata
malah menimbulkan fenomena pengangguran struktural. Pengangguran struktural
adalah para pekerja sektor pertanian yang tidak tertampung dalam sektor
industri, sementara pertumbuhan sektor pertanian telah mengalami kemandegan
(stagnasi). Pengangguran struktural ini kemudian ditampung oleh sektor
informal. Sektor informal yang dimaksud disini adalah perdagangan kaki lima , pedagang eceran
kecil dan pengrajin kecil. Sektor informal ternyata efektif dalam menanggulangi
masalah pengangguran, minimal menjadi jaring pengaman bagi masalah sosial yang
mungkin ditimbulkan dari fenomena pengangguran struktural.
Berdasarkan dualisme ekonomi inilah, maka kebijakan
ekonomi yang diambil pemerintah harus memperhatikan kedua sektor, formal-modern
maupun informal, secara seimbang. Akan tetapi jika melihat struktur dualisme di
Indonesia yang berat sebelah, pemerintah dapat menyusun kebijakan ekonomi yang
berbeda dengan memberi porsi atau “kue” pembangunan yang lebih banyak kepada pelaku ekonomi yang
kecil, rentan dan kurang mampu.
Butuh alat pertanian tradisional? kami menyediakan berbagai peralatan seperti arit cangkul dll
ReplyDelete