History

History
"History Make Me Happy"

Friday 30 September 2016

TEORI DUALISME EKONOMI DAN DINAMIKA SEJARAH EKONOMI INDONESIA 
*Muh. Mujibur Rohman

Sejarah ekonomi Indonesia abad ke-19 dan 20, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan baru di bidang ekonomi yang dilaksanakan pemerintah kolonial untuk meningkatkan eksploitasi di tanah jajahan. Campur tangan pemerintah terhadap ekonomi kolonial terpusat di Jawa secara ekstrem di abad ke-19 dan tetap cenderung ke Jawa selama paruh pertama abad ke-20. Hal ini disebabkan Jawa merupakan pusat adminstrasi dan politik dari koloni yang menampung penduduk Eropa terbesar di kepulauan nusantara. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial adalah sistem tanam paksa. Pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda. Sistem tanam paksa di Sumatera Barat telah melahirkan stagnasi ekonomi dalam masyarakat Minangkabau dan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir abad ke-19. Di pulau Jawa, pelaksanaan sistem ini telah mendorong suatu pertumbuhan yang mantap di bidang ekspor. Jawa makin terlibat dalam hubungan internasional.

Pada masa tanam paksa, terbangun dualisme dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat petani, yang sebelumnya telah ada walaupun belum menjadi manifes. Di dalam ekonominya, tercipta dua struktur yang tidak seimbang, yaitu perkebunan kolonial yang berorientasi modern-ekspor dan pertanian tradisional pada tahap yang masih subsistens. Dalam kehidupan sosial menciptakan pola kehidupan masyarakat yang dualistik pula, yaitu masyarakat penjajah belanda dan masyarakat petani pribumi.
            Abad ke-19 dilihat dari aspek pelaksanaan sistem Tanam Paksa merupakan periode masuknya sistem ekonomi uang (moneterisasi) di desa-desa, dan terutama sangat terasa di pulau Jawa. Dengan sistem ekonomi uang, para petani makin tergantung pada dunia luar. Produksi pertanian dirasakan sebagai komoditi untuk ekspor dan pasar dunia. Adanya fenomena yang berkontradiksi dan kontras ini merupakan gambaran dari teori dualisme ekonomi yang dikemukakan oleh J.H. Boeke. Teori Boeke muncul dari fenomena tentang adanya dua “masyarakat” atau dua “sistem” yang saling berbenturan. Boeke menggambarkan adanya dua keadaan yang amat berbeda dalam suatu masyarakat, yang hidup berkembang secara berdampingan. Keadaan pertama bersifat “superior” sedangkan yang lainnya bersifat “inferior”, seperti halnya adanya cara produksi modern berdampingan dengan cara produksi tradisional, antara orang kaya dengan orang miskin tak berpendidikan, dan keadaan kontras yang lain dalam satu masa dan tempat. Dualisme ekonomi dapat juga didefinisikan munculnya struktur perekonomian modern dan tradisional secara bersamaan namun tidak terintegrasi. Teori dualisme Boeke menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara Barat yang berdasarkan mekanisme pasar.
Aspek ekonomi dari pemilahan sosial serta perbenturan antara dua prinsip hidup ini dinamakan perekonomian dualistis. Dualistis dalam konteks ini berarti dua sisi, bersifat heterogen. Di mana dualisme ini berkuasa, keselarasan sosial serta kesatuan ekonomi tidak ada; tidak ada kedamaian internal yang sejati. Keseimbangan ekonomi terguncang dan tanpa dapat berhenti. Segala bentuk masalah ekonomi muncul dan menerpa inti masyarakat dalam pertanyaan yang belum dapat dipecahkan, karena masalah-masalah itu memancar dari pertikaian yang tak terselesaikan, dan dari suatu antitesa yang tidak dikenal dan tidak diketahui kemungkinannya untuk dapat diubah atau dipecahkan (Boeke, 1983: 11-12).
Berkenaan dengan masa kolonial, dalam dualisme ekonomi yang dikemukakan Boeke, terdapat perbenturan antara “masyarakat Timur prakapitalis yang tradisional” (masyarakat desa) dan sektor Barat kapitalis yang dinamis” (perusahaan-perusahaan Barat) menempati posisi sentral (Linblad, 1998).  Lebih lanjut dalam konteks kebijakan ekonomi kolonial ia mengemukakan bahwa sistem ekonomi dualistis di dalamnya terdapat sistem ekonomi modern yang dipraktikkan negara kolonial yang hidup berdampingan dengan sistem ekonomi tradisional (ekonomi subsistens) dan tidak saling mengganggu (van Niel, 2003: ix). Argumen ini sepintas berlawanan dengan paparan awalnya mengenai akibat dualisme perekonomian bagi masyarakat.
            Dalam kenyataannya, teori Boeke mengenai tidak saling mengganggunya sistem ekonomi modern dan sistem ekonomi tradisional dilemahkan oleh fakta sejarah yang terjadi pada masa-masa itu, walaupun ia juga telah memaparkan ekses maupun alternatif baru dari dualisme perekonomian. Sistem tanam paksa tidak menghapuskan dualisme tersebut, misalnya lewat penghapusan sistem pertanian tradisional, melainkan dipertahankan dan dimanfaatkan. Caranya melalui pengaturan sistem kerja petani dan lahan pertanian tradisional sedemikian rupa sehingga ekonomi-sosial tradisional-lah yang menjadi penunjang ekonomi kolonial. Kehidupan tradisional yang subsisten-lah yang menunjang ekonomi modern yang berorientasi komersial-eksport.
Akibat dari praktik kebijakan ekonomi kolonial ekonomi subsistensi mengalami gangguan yang serius. Sistem ekonomi modern (sistem ekonomi uang dan komoditas ekspor) telah mengeksploitasi habis-habisan sistem ekonomi subsistensi yang menjadi basis ekonomi kaum tani. Eksploitasi ekonomi modern lewat sistem tanam paksa merupakan eksploitasi yang  bersifat brutal dan mengakibatkan petani Jawa menderita kemiskinan dan kelaparan. Struktur sosial dan ekonomi Jawa nyaris dihancurkan. Kemiskinan dan kelaparan menjadi masalah pokok penduduk Jawa. Teori Involusi Pertanian Clifford Geertz yang menjelaskan proses kemiskinan struktural di Jawa tampak relevansinya. Pertambahan penduduk Jawa, berkurangnya lahan pertanian dan perluasan perkebunan Eropa menjadi penyebab kemiskinan di Jawa (van Niel, 2003).  Sedangkan menurut Boeke sendiri, masalah-masalah yang timbul dari ekonomi dualistis dapat dikelompokkan di sekitar dua inti, yaitu kepadatan penduduk dan hutang pedesaan.
Pemerintah kolonial melalui dualisme perekonomiannya, dalam hal ini ekonomi kolonialnya yang modern, menganggap kebutuhan akan ekonomi-sosial yang tradisional merupakan sesuatu yang urgen. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi ketika ekonomi kolonial mengalami ekspansi (karena naiknya harga komoditas eksport di pasaran dunia), ekonomi-sosial tradisional akan dengan mudah dapat dikontraksi (mobilisasi tanah dan tenaga kerja) untuk mengikuti ekspansi tersebut. Apabila situasi berubah, melemahnya ekonomi kolonial (karena fluktuasi harga di pasar dunia) akan dapat dikompensasi dengan memperkuat ekonomi-sosial tradisional, Di sini terlihat faktor naiknya populasi petani dan intensifikasi pertanian tradisional menjadi variable penting. Hal ini juga menunjukkan siasat pemerintah kolonial melalui dualisme ekonominya.
            Masyarakat desa, terutama para petani merupakan golongan yang dirugikan dengan adanya praktik ekonomi kolonial yang bersifat dualistis ini. Salah satu tujuan dari sistem tanam paksa adalah mengikuti pola-pola kekuasaan tradisional masyarakat Jawa dalam menggerakkan kaum tani di daerah-daerah tertentu supaya mau mengerjakan produksi tanaman dagang ekspor. Yang diharapkan adalah agar kepala desa dan atasan-atasan mereka di tingkat supradesa menggunakan otoritas mereka untuk menggunakan warga desa bekerja dengan cara-cara baru dan menyerahkan pemakaian sebagian dari tanah mereka untuk ditanami tanamam pemerintah dan bukan untuk ditanami tanaman padi. Tujuan ini diharapkan dari membuat masayrakat Jawa tetap statis. Namun kenyataannya tidak demikian. Peranan baru para kepala desa yang diperoleh pada masa pelaksanaan tanam paksa di Jawa ini tampaknya telah mengubah struktur sosial ekonomi pedesaan. Mereka terlibat intens dalam pengelolaan dan pengorganisasian produksi tanaman dagang untuk ekspor. Di lain pihak, para petani harus memikul beban semakin berat untuk penyelenggaraan komoditas ekspor itu.  Dampak ekonomi sistem tanam paksa justru mendorong perubahan-perubahan dan mempercepat kecenderungan-kecenderungan yang memang sudah ada.
            Menurut Boomgaard ada beberapa unsur hakiki dalam model tradisional masyarakat pedesaan (Boomgaard, 2004: 9), yaitu:
1.      suatu penduduk yang terdiri dari sejumlah kecil petani yang,
2.terlibat dalam produksi subsistensi,
3.tidak tersentuh uang atau pasar
4.      hidup dalam komunitas-komunitas tertutup dan sudah mempunyai badan hukum,
5.      dengan struktur yang harmonis, egaliter dan “demokratis”,
6.      hidup dengan sikap sebagai abdi feodal terhadap kaum bangsawan pribumi,
7.      dengan pelan-pelan digantikan oleh birokrasi kolonial dan perusahaan Barat,
8.      yang merupakan suatu ekonomi daerah-kantong berdasarkan tenaga kerja paksa,
9.      bersamaan dengan itu ekonomi dualistis tandingannya yang asli dicirikan oleh          kemandekan (“homeostatis”, “involusi”).
            Apabila pengalaman kaum tani Asia Tenggara, termasuk Indonesia di zaman penjajahan dilihat dari segi prinsip keterjaminan subsistensi, maka muncul fenomena-fenomena yang jarang menjadi pusat perhatian dalam analisa tentang kolonialisme. Dari segi keterjaminan subsistensi, kolonialisme melalui perekonomiannya yang bersifat “dualistis” telah menciptakan masalah-masalah sebanyak yang dipecahkannya. Di satu pihak, ia memang menciptakan jaringan-jaringan pengangkutan dan kemampuan politis yang dapat mengangkut padi dari daerah surplus ke daerah defisit, dan dengan demikian menekan ancaman kelaparan setempat. Akan tetapi di pihak lain, kemampuan pengangkutan dan politis itu dapat pula digunakan untuk mengangkut padi dari satu daerah dalam bentuk sewa dan pajak. Di satu pihak, politik dan modal kolonial telah mendobrak batas-batas pertanian dan berkat kerja petani-petani perintis, telah membuka tanah pertanian baru yang luas. Di lain pihak, sebagian besar dari tanah itu dikuasai oleh satu kelas kecil tuan tanah, yang kekuasaannya atas penduduk daerah pedesaan yang bertambah dengan sangat cepat cenderung untuk meniadakan setiap perbaikan dalam taraf hidup kaum tani yang sebetulnya dapat mereka capai apabila tidak ada kekuasaan itu (Scott, 1981: 86)). Hal-hal yang sudah disebutkan ini merupakan perwujudan dari adanya dualisme perekonomian, yang membawa pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat desa, terutama petani.
            Pertumbuhan negara kolonial dan komersialisasi pertanian yang membawa masyarakat petani ke dalam ekonomi dunia telah memperumit dilema keterjaminan subsistensi kaum tani. Hal ini disebabkan sekurang-kurangnya oleh lima cara (Damsar, 2002):
1.       ketidakstabilan yang bersumber dari pasar
2.      perlindungan desa yang semakin lemah
3.      hilangnya sumber-sumber daya subsistensi sekunder
4.      buruknya hubungan-hubungan kelas agraris.
5.      negara kolonial yang semakin ekstensif dan intensif dalam memungut pajak
Masih dalam konteks dualisme ekonomi, aplikasi dualisme ekonomi dapat dilihat dari akar terbentuknya koperasi di Indonesia. Masih berdasar teori dualisme ekonominya, Boeke mengemukakan bahwa lembaga yang cocok untuk diterapkan pada perekonomian Hindia-Belanda yang masih tradisional adalah koperasi. Bagi Boeke, sistem bisnis koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi daripada bentuk badan-badan usaha kapitalis. Dari situlah akhirnya muncul beleid (peraturan) perkoperasian no. 91 tahun 1927. Beleid itu mengijinkan koperasi yang didirikan dengan menggunakan bahasa daerah, mengijinkan koperasi beroperasi sesuai hukum dagang daerah masing-masing dan perijinannya pun dapat diurus di daerah tempat koperasi itu akan didirikan. Hal yang terlihat di sini adalah koperasi Indonesia didirikan atas dasar yang sederhana, dengan status hukum Indonesia, bukan status hukum Eropa. Cara baru ini tidak dapat segera diterima dan membuat persetujuan bulat karena tidak terlalu cocok dengan konsep unifikasi dan asosiasi yang masih mempunyai pengikut. Namun, pengakuan atas dua lapisan operasi dualistis yang legal dan yang praktis secara terpisah, Indonesia dan Barat, dianggap sebagai jalan keluar atas demikian banyak masalah yang ditimbulkan oleh dilema kolonial yang dualistis.
            Gagasan Boeke mengenai ekonomi Indonesia tidak terbatas pada menggalakkan koperasi pribumi. Ia menunjukkan kegagalan keseluruhan program kredit dan kesejahteraan pemerintah dalam suasana yang impersonalistis yang menguasai keadaan, yang berusaha menerapkan tata pembangunan dan perbaikan secara seragam kepada seluruh penduduk Indonesia. Apa yang terjadi dalam praktik ialah bahwa sejumlah kecil individu memperlihatkan kemauan mereka hendak memanfaatkan fasilitas untuk kemajuan ekonomi yang disediakan pemerintah sedangakan mayoritas terbesar acuh tak acuh. Boeke merasa bahwa pemerintah harus mengarahkan perhatian kepada orang-orang yang bergairah ini, memusatkan perhatian untuk membantu mereka daripada terus menerus dengan kerja yang besar yang tanpa hasil dengan mencoba meningkatkan kehidupan seluruh penduduk.
Proses ini menurut Boeke harus tidak lepas dari usaha, kekuatan dan kapasitas individu Indonesia dalam mengusahakan perbaikan diri sendiri- ia mempergunakan istilah “oto-aktivitas”- dan tekanan pemerintah (parentah halus) yang mencoba memaksakan perubahan harus ditinggalkan (van Niel, 1984). Indikasi ini menunjukkan suatu alternatif untuk mengurangi dilema dualisme perekonomian kolonial, dengan mengedepankan peranan penduduk pribumi dan  sedikit mengurangi tekanan dan peran pemerintah. Akan tetapi hal ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan, karena pemerintah masih tetap berperan banyak dalam mengatur kebijakan ekonomi.  Selain itu, munculnya krisis 1930-an membuat Boeke sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan ekonomi haruslah dualistis.
            Selama krisis 1930-an, perusahaan-perusahaan Barat merasa perlu memproteksi posisinya, karena ada kemerosotan harga, kelebihan produksi dan proteksionisme yang mendunia. Ini benar meskipun fakta menunjukkan bahwa mereka lebih suka untuk tidak memberikan terlalu banyak kebebasan kepada pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan protektif. Namun, Boeke menyatakan bahwa penduduk Indonesia mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap proteksi. Karena karakter masyarakat Indonesia yang dualistis, penduduk pribumi semakin merasakan diri mereka didiskreditkan. Hal ini akan menimbulkan bencana “kecuali jika pemerintah memberikan pertolongan” dan “kecuali jika pemerintah yang banyak akal menemukan cara untuk menolong para produsen pribumi”.
Boeke melihat krisis 1930-an lebih tidak sebagai jeda (kekosongan sementara). Menurut Boeke, kebijakan ekonomi dualistis sangat diperlukan dalam waktu yang lama. Pendekatan Boeke mengimplikasikan bahwa intervensi pemerintah menunjukkan pentingnya sikap meninggalkan kebijakan laissez faire sejak awal 1900 (Linblad, 1998) Tindakan-tindakan ekonomi pemerintah pada awalnya tidak menopang suatu keseluruhan yang koheren. Tindakan-tindakan tersebut sering bersifat sementara, namun telah menambah pengalaman pemerintah dalam melaksanakan kebijakan ekonomi.
Dalam perkembangannya, di satu pihak teori dualisme ekonomi Boeke menambah dimensi lain tentang sejarah ekonomi Indonesia tetapi di lain pihak mendapat kritikan dari beberapa ahli ekonomi yang lain. Menurut Van Niel, Boeke melihat suatu perbedaan antara ekonomi rumah tangga pedesaan Jawa dengan ekonomi padat modal berorientasi ekspor dari pemerintah. Pengamatannya, yang tentu saja memasukkan tenaga kerja murah sebagai bagian dari pembedaan itu, memang tepat dan mudah dipahami. Namun, alasan-alasan yang dikemukakannya sama sekali tidak dapat diterima. Orang-orang Jawa bukannya tidak peduli dengan perolehan keuntungan pribadi, tetapi tuntutan-tuntutan yang dikenakan terhadap mereka dalam konteks lingkungan hidup mereka justru yang tidak memungkinkan mereka bertindak dengan cara-cara yang sesungguhnya dianggap wajar oleh sistem ekonomi liberal (van Niel, 2003).
Kritik yang paling gencar terhadap teori Boeke antara lain datang dari Benjamin Higgins dan J.A.C. Mackie. Menurut Higgins fenomena dualisme tidak hanya terjadi di “timur”, seperti yang dikemukakan oleh Boeke, tetapi juga terjadi di “barat”, bahkan bisa terjadi dimana saja. Selain itu beberapa fenomena yang diasosiasikan oleh Boeke sebagai masyarakat dualistik dapat diterangkan dengan memuaskan oleh teori ekonomi konvensional dengan tidak memerlukan teori dualisme yang khusus. Lebih lanjut Higgins mengemukakan bahwa proporsi Boeke mengenai tidak mampunya sektor pertanian tradisional bersaing dengan perkebunan telah disangkal dengan fakta bahwa para pekebun kecil yang menanam karet ternyata berhasil dalam usahanya selama masa depresi tahun 1930-an. Kritik Higgins diperkuat oleh banyaknya observasi Boeke mengenai ciri khas masyarakat timur yang tidak konsisten dengan bukti faktualnya. Kritik yang lain muncul dari J.A.C. Mackie. Ia menentang dualisme yang mengkontraskan perkebunan besar yang dinamis dan rasional dengan petani kecil yang lemah dan stagnan dengan menunjukkan fakta bahwa para petani kecil yang disebut Boeke sebagai sektor subsisten-prakapitalis, ternyata tumbuh pesat dan dinamis pada dekade 1920-an
Selain itu beberapa ahli ekonomi mengemukakan pemikiran yang lain mengenai struktur perekonomian yang berkembang di Indonesia. Studi yang dilakukan oleh hal Hill, Chris Manning, Ross McLeod, dan Howard Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia. Studi Hal Hill agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia. Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan Indonesia.
Sedangkan Chris Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi. Pemikiran yang lain datang dari Ross McLeod. McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang berlanjut antara sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik negara sedang berkembang (NSB). Dalam sektor keuangan, dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang informal. McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan sebagai perbedaan harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan dalam lokasi geografis. Pemikiran selanjutnya adalah dari Howard Dick, yang menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia mencatat adanya tiga gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.
Selain pemikiran di atas, dalam perkembangan ilmu ekonomi pembangunan terdapat teori ketergantungan internasional yang di dalamnya memuat tentang tesis pembangunan dualistik. Di dalam tesis pembangunan dualistik ini, konsep dualisme ekonomi memiliki empat elemen dasar (Todaro, 2000: 111-112), yaitu:
1.      Di setiap tempat dan konteks, selalu saja ada sejumlah elemen “ superior “ dan sekaligus elemen “inferior”. Elemen – elemen tersebut hadir secara bersamaan dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah hakekat sebenarnya dari konsep dualisme yang kemudian di adopsi untuk  Indonesia. Contoh penerapan konsep dualisme ini antara lain dapat dilihat dari pemikiran Lewis tentang koeksistensi (kebersamaan) kelompok elit yang kaya raya dan terdidik, dengan massa orang – orang miskin yang buta aksara; dan sinyalemen dari pendekatan ketergantungan akan adanya koeksistensi antara negara – negara agraris kecil yang serba melarat serta lemah didalam perekonomian internasional.
2.      Koeksistensi bukanlah hal yang bersifat sementara atau transisional , melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior mempunyai kekuatan untuk mempertahankan superioritasnya, sedangkan elemen yang inferior tidaklah mudah untuk meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara yang kaya dan miskin bukan merupakan suatu fenomena sejarah yang akan membaik dengan sendirinya bila saatnya telah tiba. Meskipun teori pertumbuhan ekonomi bertahap dan model pertumbuhan struktural secara implisit juga dilandaskan pada asumsi demikian, namun faktanya bahwa ketimpangan internasional semakin membesar sehingga secara jelas bahwa asumsi tersebut adalah keliru.
3.      Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya tidak menunjukkan tanda – tanda akan berkurang, melainkan cenderung meningkat. Sebagai contoh, kesenjangan produktivitas antara para pekerja di negara – negara maju dengan para pekerja di negara – negara berkembang tampaknya semakin lama semakin melebar.
4.      Hubungan saling keterkaitan antara elemen – elemen yang superior dengan elemen – elemen yang lainnya yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga keberadaan elemen – elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen – elemen yang inferior. Dengan demikian, apa yang disebut dengan prinsip “penetasan kemakmuran ke bawah” (trikel down effect) itu sesungguhnya sulit untuk diterima. Bahkan dalam kenyataannya, elemen – elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi, mengeksploitasi atau menggencet elemen – elemen yang inferior.
Teori dualisme ekonomi Boeke dan tesis pembangunan dualistik ini memiliki kesamaan mengenai adanya dua elemen yang berbeda dan kontras di dalam masyarakat, di satu pihak ada elemen  “superior” sedangkan di pihak lain ada elemen “inferior”.  Walaupun teori dualisme ekonomi Boeke banyak mendapat kritikan dari ahli ekonomi yang lain, tetapi teorinya- beserta tesis pembangunan dualistik- dapat digunakan untuk menganalisis bekerjanya dualisme ekonomi (jika dapat disebut demikian) dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Teori dualisme ekonomi dalam konteks Indonesia saat ini dapat digunakan untuk membantu dalam menganalisis dialektika hubungan ekonomi antar para pelaku ekonomi.
 Dualisme ekonomi di Indonesia tidak hanya mengejawantah sebagai manifes, yang muncul sebagai akibat dari perbedaan taraf pengembangan teknologi, melainkan nampak sebagai perbedaan konsep nilai (falsafah), ideologi, dan sosial-budaya, yang mempengaruhi bekerjanya sistem ekonomi. Jika dihubungkan dengan keadaan ekonomi Indonesia beberapa dekade terakhir ini, persoalan Indonesia agaknya masih belum beranjak jauh dari apa yang ditemukan Boeke mengenai persoalan ekonomi pada masa kolonial yang lalu, meski dalam konteks yang berbeda. Dalam realitas Indonesia, terdapat dua sektor (pelaku) ekonomi yang berbeda yang berdampingan. Perbedaan dua sektor  tersebut, menurut kaca mata pemerintah dibagi dalam dua sektor yaitu formal yang identik dengan swasta dengan badan-badan usaha skala besar seperti BUMN atau yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT), yang dapat dikategorikan pelaku ekonomi yang “superior”, dan informal yang identik dengan petani, pengusaha dan pedagang kecil, yang tergolong pelaku ekonomi yang bersifat “inferior”.  Selama ini, yang diuntungkan dengan sistem yang ada adalah yang formal, sementara sektor informal yang mempunyai kontribusi besar hanya mendapat sedikit perhatian.
Derajat interelasi dan interdependensi antara kedua sistem (pelaku) umumnya terjadi dalam pola yang tidak seimbang. Dalam hal ini, sistem (pelaku) ekonomi superior (dominan) cenderung mensubordinasi sistem (pelaku) ekonomi inferior karena kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, modal (capital) dan SDM yang dikuasai pelaku ekonomi di sektor modern tersebut (Hamid, 2005: 9). Hal ini tampaknya bersesuaian dengan elemen dasar yang keempat dalam tesis pembangunan dualistik mengenai saling hubungan antara elemen superior dengan elemen inferior. Akan tetapi, tetap ada resistensi dari pelaku ekonomi tradisional di pedesaan yang berupaya mengembangkan tatanan sosial-ekonomi yang sesuai dengan sistem nilai dan sistem sosial-budaya mereka.
Strategi pembangunan Indonesia yang lebih berorientasi membangun sektor modern dengan strategi industri substitusi impor ternyata malah menimbulkan fenomena pengangguran struktural. Pengangguran struktural adalah para pekerja sektor pertanian yang tidak tertampung dalam sektor industri, sementara pertumbuhan sektor pertanian telah mengalami kemandegan (stagnasi). Pengangguran struktural ini kemudian ditampung oleh sektor informal. Sektor informal yang dimaksud disini adalah perdagangan kaki lima, pedagang eceran kecil dan pengrajin kecil. Sektor informal ternyata efektif dalam menanggulangi masalah pengangguran, minimal menjadi jaring pengaman bagi masalah sosial yang mungkin ditimbulkan dari fenomena pengangguran struktural.

Berdasarkan dualisme ekonomi inilah, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah harus memperhatikan kedua sektor, formal-modern maupun informal, secara seimbang. Akan tetapi jika melihat struktur dualisme di Indonesia yang berat sebelah, pemerintah dapat menyusun kebijakan ekonomi yang berbeda dengan memberi porsi atau “kue” pembangunan yang  lebih banyak kepada pelaku ekonomi yang kecil, rentan dan kurang mampu.

1 comment:

  1. Butuh alat pertanian tradisional? kami menyediakan berbagai peralatan seperti arit cangkul dll

    ReplyDelete