PERJANJIAN
RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya
bagi perjuangan bangsa Indonesia)
Bag.3
*Muh. Mujibur Rohman
- Dampak Perjanjian Renville
Perjanjian Renville membawa dampak di dalam tubuh Republik, antara
lain di bidang politik, militer dan sosial. Penandatanganan perjanjian Renville
menimbulkan suatu krisis kabinet. Dari adanya Agresi
Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya
pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh anggota yang
tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi
meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul
kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana
Menteri pada tanggal 23 Januari
1948 dan sesudah itu
mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi dari pemerintahan
Hatta. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya
kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu
menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu
“kabinet
presidentil” darurat (1948-1949), dimana seluruh
pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno
sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para
anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama
terdiri dari orang-orang PNI,
Masyumi,
dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir
dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi.
Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir
mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir
dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada
bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat
ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya
oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi
keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada
tanggal 23 Januari
1948, Amir
Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru
dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari
1948. Hatta menjadi Perdana
Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil
Presiden.
Di bidang militer, sebagai hasil Persetujuan Renville pihak
Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) gerilya yang
dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, tentara Republik “hijrah” ke Jawa Tengah.
Menjelang tanggal 26 Februari 1948 semua kesatuan tentara Republik yang tetap
(TNI)-seluruhnya berjumlah 35.000 orang, di dalamnya termasuk divisi Siliwangi
yang dipimpin Kolonel Nasution-telah mengundurkan diri dari kantong-kantong
gerilya mereka dan menyeberangi garis
Van Mook menuju teritorial yang dikuasai oleh Republik. Bagi pemerintah
Republik, tidak mudah membujuk mereka untuk melepaskan dan meninggalkan
pangkalan-pangkalan gerilya yang dipertahankan itu. Maka tinggal sekitar 4000
orang pasukan tidak tetap yang tidak mau mengosongkan daerahnya (Kahin, op.cit). Selain itu tidak semua pejuang
Republik yang tergabung dalam berbagai laskar antara lain Barisan Bambu Runcing
dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo
mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan
bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwirjo, yang menolak jabatan
Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Sjrifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam
dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus
1949, di wilayah yang
masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Gerakan divisi Siliwangi ke Jawa Tengah menimbulkan
akibat-akibat di wilayah itu yang sangat penting artinya bagi pencapaian
terakhir kemerdekaan. Nasution dan para pengikutnya yang sebagian besar adalah
orang Sunda, membentuk suatu pasukan yang setia kepada pemerintahan Hatta. Segera
timbul pertentangan antara mereka dengan satuan-satuan setempat yang
beranggotakan orang-orang Jawa, yang cenderung kepada kepemimpinan Soedirman
atau Front Demokrasi Rakyat di bawah Amir Sjarifuddin. Pemerintah Hatta ingin
mengurangi jumlah anggota angkatan bersenjata yang sangat besar-secara kasar
diperkirakan sekitar 350.000 tentara regular dan 470.000 tentara tak regular-
yang menjadi tanggung jawabnya dengan program “RERA” atau reorganisasi dan
rasionalisasi tentara. Namun, pihak yag tersingkir sebagai akibat dari rencana
“RERA” ini pastilah akan menjadi pejuang-pejuang yang mendukung lawan-lawan
pemerintahan. Dengan terpecah-pecahnya pihak militer ke dalam berbagai kelompok
sebagai akibat diajukannya usaha rasionalisasi tersebut, maka mulai timbul
penculikan-penculikan, pembunuhan-pembunuhan, dan bentrokan-bentrokan
bersenjata di wilayah Yogyakarta-Surakarta. Pada akhir bulan Agustus 1948
tampaknya ada kemungkinan terjadi perang saudara. Kini berlangsung suasana
panas yang merupakan campuran dari
siasat-siasat politik kaum elite, politik, pihak militer dan
ketegangan-ketegangan masyarakat di Jawa Tengah, sementara pasukan Belanda
telah mengambil posisi di barat utara dan timur Republik.
Di bidang sosial keadaan di dalam Republik pada tahun
1948 sangan kacau. Kekuasaan Republik secara efektif telah terdesak ke wilayah
pedalaman Jawa Tengah yang padat penduduknya dan kekurangan beras, di mana
penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade Belanda dan masuknya
sekitar enam juta pengungsi dan tentara Republik. Pemerintah Republik mencetak
lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya dan inflasi pun melonjak. Akan
tetapi tindakan ini bukannya tidak bermanfaat. Dengan meningkatnya inflasi dan
harga beras, maka penghasilan petani meningkat dan sebagian hutang mereka
terlunasi, sementara penghasilan pekerja merosot. Sebagai akibatnya ialah
pemerataan yang memperbaiki nasib kaum tani secara relatif sehingga tidak
menimbulkan gejolak di tingkat bawah
untuk mengadakan revolusi sosial secara besar-besaran.
No comments:
Post a Comment