History

History
"History Make Me Happy"

Thursday 15 September 2016

PERJANJIAN RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya bagi perjuangan bangsa Indonesia)
Bag.3
*Muh. Mujibur Rohman

  • Dampak Perjanjian Renville


Perjanjian Renville membawa dampak di dalam tubuh Republik, antara lain di bidang politik, militer dan sosial. Penandatanganan perjanjian Renville menimbulkan suatu krisis kabinet. Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948 dan sesudah itu mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang menjadi oposisi dari pemerintahan Hatta. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu “kabinet presidentil” darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Di bidang militer, sebagai hasil Persetujuan Renville pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) gerilya yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, tentara Republik “hijrah” ke Jawa Tengah. Menjelang tanggal 26 Februari 1948 semua kesatuan tentara Republik yang tetap (TNI)-seluruhnya berjumlah 35.000 orang, di dalamnya termasuk divisi Siliwangi yang dipimpin Kolonel Nasution-telah mengundurkan diri dari kantong-kantong gerilya mereka dan  menyeberangi garis Van Mook menuju teritorial yang dikuasai oleh Republik. Bagi pemerintah Republik, tidak mudah membujuk mereka untuk melepaskan dan meninggalkan pangkalan-pangkalan gerilya yang dipertahankan itu. Maka tinggal sekitar 4000 orang pasukan tidak tetap yang tidak mau mengosongkan daerahnya (Kahin, op.cit). Selain itu tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar antara lain Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwirjo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Sjrifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Gerakan divisi Siliwangi ke Jawa Tengah menimbulkan akibat-akibat di wilayah itu yang sangat penting artinya bagi pencapaian terakhir kemerdekaan. Nasution dan para pengikutnya yang sebagian besar adalah orang Sunda, membentuk suatu pasukan yang setia kepada pemerintahan Hatta. Segera timbul pertentangan antara mereka dengan satuan-satuan setempat yang beranggotakan orang-orang Jawa, yang cenderung kepada kepemimpinan Soedirman atau Front Demokrasi Rakyat di bawah Amir Sjarifuddin. Pemerintah Hatta ingin mengurangi jumlah anggota angkatan bersenjata yang sangat besar-secara kasar diperkirakan sekitar 350.000 tentara regular dan 470.000 tentara tak regular- yang menjadi tanggung jawabnya dengan program “RERA” atau reorganisasi dan rasionalisasi tentara. Namun, pihak yag tersingkir sebagai akibat dari rencana “RERA” ini pastilah akan menjadi pejuang-pejuang yang mendukung lawan-lawan pemerintahan. Dengan terpecah-pecahnya pihak militer ke dalam berbagai kelompok sebagai akibat diajukannya usaha rasionalisasi tersebut, maka mulai timbul penculikan-penculikan, pembunuhan-pembunuhan, dan bentrokan-bentrokan bersenjata di wilayah Yogyakarta-Surakarta. Pada akhir bulan Agustus 1948 tampaknya ada kemungkinan terjadi perang saudara. Kini berlangsung suasana panas yang merupakan campuran  dari siasat-siasat politik kaum elite, politik, pihak militer dan ketegangan-ketegangan masyarakat di Jawa Tengah, sementara pasukan Belanda telah mengambil posisi di barat utara dan timur Republik.
Di bidang sosial keadaan di dalam Republik pada tahun 1948 sangan kacau. Kekuasaan Republik secara efektif telah terdesak ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang padat penduduknya dan kekurangan beras, di mana penderitaan semakin meningkat sebagai akibat blokade Belanda dan masuknya sekitar enam juta pengungsi dan tentara Republik. Pemerintah Republik mencetak lebih banyak uang lagi untuk menutup biaya dan inflasi pun melonjak. Akan tetapi tindakan ini bukannya tidak bermanfaat. Dengan meningkatnya inflasi dan harga beras, maka penghasilan petani meningkat dan sebagian hutang mereka terlunasi, sementara penghasilan pekerja merosot. Sebagai akibatnya ialah pemerataan yang memperbaiki nasib kaum tani secara relatif sehingga tidak menimbulkan gejolak di tingkat  bawah untuk mengadakan revolusi sosial secara besar-besaran.

No comments:

Post a Comment