History

History
"History Make Me Happy"

Thursday 15 September 2016

PERJANJIAN RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya bagi Perjuangan Bangsa Indonesia)
Bag.1
*Muh. Mujibur Rohman
  • Situasi dan Latar Belakang Perjanjian Renville
Munculnya perjanjian Renville didahului peristiwa pengingkaran Perundingan Linggarjati oleh pihak Belanda yang dilanjutkan oleh agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947. Sekitar bulan Mei 1947, pihak Belanda sudah memutuskan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan (Ricklefs, 2005).
Sebelum agresi dilakukan, pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah   republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik. Pemerintah RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk diadakannya gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi  di antara Karawang dan Bekasi.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus “mengembalikan ketertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan “aksi polisionil” mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan akhir Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk Van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai “aksi polisional” tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik. Oleh karena persenjataan Belanda lebih lengkap terutama dengan senjata lengkung jarak jauh, mortir, dan didukung pertahanan linier yang kuat, maka pasukan Indonesia hanya melakukan pembalasan dengan taktik gerilya, serbu dan menyingkir. Hal tersebut dilakukan dengan menyerbu Belanda secara mendadak dan sebelum sempat membalas, maka laskar-laskar telah kembali ke basis masing-masing di pedalaman, hingga terjadi semacam “kejar-mengejar” yang terus-menerus berlangsung sampai ada usaha untuk menghentikan tembak menembak bagi kedua belah pihak (Tjokropranolo, 1992).
Di tingkat pemerintahan pusat, setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Sjarifuddin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosuwirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifuddin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosuwirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosuwirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Sjarifuddin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Sjarifuddin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
Aksi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 segera menarik perhatian dunia internasional. Pihak Belanda secara terang-terangan mengkhianati perjanjian Linggarjati dengan menyerbu wilayah “de facto” republik yang telah diakuinya. Perserikatan Bangsa-Bangsa kini terlibat langsung dalam konflik tersebut, suatu keterlibatan yang akhirnya akan menjebak pihak Belanda dalam posisi diplomatik yang sulit. India dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB. Kedua negara tersebut mengajukan permintaan kepada Dewan Keamanan PBB agar masalah Indonesia dibahas dalam sidang dewan. Permintaan itu diterima oleh Dewan Keamanan (Basri dan Gunawan, 1997). Negara lain yang menyatakan dukungannya terhadap Republik adalah Uni Sovyet., tetapi peranan yang lebih penting dimainkan oleh Amerika Serikat. 
Dalam sidang Dewan tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan satu seruan kepada kedua belah pihak yang sedang bermusuhan untuk segera menghentikan tembak-menembak dan menyelesaikan pertikaiannya dengan cara perwasitan (arbitrase) atau dengan cara-cara damai yang lain dan melaporkan tentang hasil-hasil penyelesaian itu kepada Dewan Keamanan. Demikianlah pada tanggal 4 Agustus 1947 berlaku genjatan senjata dan kemudian meningkat kepada perundingan.
Dewan Keamanan kemudian menawarkan suatu komisi jasa-jasa baik sebagai suatu kompromi, yang kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN seorang dipilih oleh Indonesia, seorang dipilih oleh Belanda, sedangkan kedua anggota tersebut memilih anggota ketiga. Pemerintah Republik Indonesia memilih Australia, pemerintah Kerajaan Belanda memilih Belgia, sedangkan kedua negara tersebut memilih Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Selanjutnya pemerintah Australia menunjuk Richard C. Kirby, hakim Mahkamah Arbitrase dari persemakmuran Australia sebagai wakilnya untuk duduk dalam komisi itu. Pemerintah Belgia menunjuk Paul van Zeeland (bekas perdana menteri dan wakil luar negeri) sebagai wakilnya, dan Pemerintah Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank B Graham (Poesponegoro dan Notosutanto, 1992). KTN mulai bekerja di Indonesia bulan Oktober 1947.  

Sejak dikeluarkan resolusi Dewan Keamanan pada tanggal 1 November 1947, maka tugas KTN tidak lagi hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang militer. Kontak pendahuluan yang diadakan oleh KTN dengan kedua belah pihak yang bersengketa itu menunjukkan bahwa masing-masing pihak tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Oleh karena itu Amerika Serikat menawarkan kapal angkut pasukan Renville sebagai tempat berunding, yang selanjutnya diterima pihak Indonesia maupun Belanda.

No comments:

Post a Comment