PERJANJIAN
RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya
bagi Perjuangan Bangsa Indonesia)
Bag.1
*Muh. Mujibur Rohman
- Situasi dan Latar Belakang Perjanjian Renville
Munculnya perjanjian Renville didahului
peristiwa pengingkaran Perundingan Linggarjati oleh pihak Belanda yang
dilanjutkan oleh agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947. Sekitar bulan Mei
1947, pihak Belanda sudah memutuskan bahwa mereka harus menyerang Republik secara
langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai
pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan seluruh wilayah
Republik dalam waktu enam bulan (Ricklefs, 2005).
Sebelum agresi dilakukan, pada tanggal 27 Mei
1947, Belanda
mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia
harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah
daerah republik yang memerlukan bantuan
Belanda (gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir
menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan,
tetapi menolak gendarmerie bersama.
Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik. Pemerintah
RI dan Belanda pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk
diadakannya gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville,
tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai
laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga
terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi di antara Karawang dan Bekasi.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba,
Belanda terus “mengembalikan ketertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada
tanggal 20 Juli
1947 tengah malam
(tepatnya 21 Juli
1947) mulailah pihak Belanda
melancarkan “aksi polisionil” mereka yang pertama. Aksi
Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan
pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki
Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung
Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang . Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda
yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus
asa, maka pada bulan akhir Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya
bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat
mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang
Belanda, termasuk Van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya tidak menyukai “aksi polisional” tersebut serta menggiring
Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik. Oleh
karena persenjataan Belanda lebih lengkap terutama dengan senjata lengkung
jarak jauh, mortir, dan didukung pertahanan linier yang kuat, maka pasukan Indonesia hanya
melakukan pembalasan dengan taktik gerilya, serbu dan menyingkir. Hal tersebut
dilakukan dengan menyerbu Belanda secara mendadak dan sebelum sempat membalas,
maka laskar-laskar telah kembali ke basis masing-masing di pedalaman, hingga
terjadi semacam “kejar-mengejar” yang terus-menerus berlangsung sampai ada
usaha untuk menghentikan tembak menembak bagi kedua belah pihak (Tjokropranolo,
1992).
Di
tingkat pemerintahan pusat, setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli,
pengganti Sjahrir
adalah Amir Sjarifuddin yang sebelumnya menjabat
sebagai Menteri Pertahanan. Dalam
kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk
dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosuwirjo untuk turut serta duduk dalam
kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan
dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifuddin,
dia menolak kursi menteri karena "ia
belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosuwirjo menolak tawaran itu bukan
semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi.
Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari
gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak
menguntungkan bagi Indonesia
disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda.
Di samping itu Kartosuwirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin
yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Sjarifuddin
selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana
Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Sjarifuddin
ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
Aksi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 segera
menarik perhatian dunia internasional. Pihak Belanda secara terang-terangan
mengkhianati perjanjian Linggarjati dengan menyerbu wilayah “de facto” republik yang telah diakuinya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa kini terlibat langsung dalam konflik tersebut, suatu
keterlibatan yang akhirnya akan menjebak pihak Belanda dalam posisi diplomatik
yang sulit. India
dan Australia
sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB. Kedua negara tersebut mengajukan
permintaan kepada Dewan Keamanan PBB agar masalah Indonesia dibahas dalam sidang
dewan. Permintaan itu diterima oleh Dewan Keamanan (Basri dan Gunawan, 1997).
Negara lain yang menyatakan dukungannya terhadap Republik adalah Uni Sovyet.,
tetapi peranan yang lebih penting dimainkan oleh Amerika Serikat.
Dalam sidang Dewan tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan
satu seruan kepada kedua belah pihak yang sedang bermusuhan untuk segera
menghentikan tembak-menembak dan menyelesaikan pertikaiannya dengan cara
perwasitan (arbitrase) atau dengan cara-cara damai yang lain dan melaporkan
tentang hasil-hasil penyelesaian itu kepada Dewan Keamanan. Demikianlah pada
tanggal 4 Agustus 1947 berlaku genjatan senjata dan kemudian meningkat kepada
perundingan.
Dewan Keamanan kemudian menawarkan suatu komisi
jasa-jasa baik sebagai suatu kompromi, yang kemudian terkenal dengan sebutan
Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN seorang dipilih oleh Indonesia ,
seorang dipilih oleh Belanda, sedangkan kedua anggota tersebut memilih anggota
ketiga. Pemerintah Republik Indonesia
memilih Australia ,
pemerintah Kerajaan Belanda memilih Belgia, sedangkan kedua negara tersebut
memilih Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Selanjutnya pemerintah Australia
menunjuk Richard C. Kirby, hakim Mahkamah Arbitrase dari persemakmuran Australia
sebagai wakilnya untuk duduk dalam komisi itu. Pemerintah Belgia menunjuk Paul
van Zeeland (bekas perdana menteri dan wakil luar negeri) sebagai wakilnya, dan
Pemerintah Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank B Graham (Poesponegoro dan Notosutanto,
1992). KTN mulai bekerja di Indonesia bulan Oktober 1947.
Sejak dikeluarkan resolusi Dewan Keamanan pada tanggal 1 November 1947 , maka tugas
KTN tidak lagi hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang militer. Kontak
pendahuluan yang diadakan oleh KTN dengan kedua belah pihak yang bersengketa
itu menunjukkan bahwa masing-masing pihak tidak mau bertemu di wilayah yang
dikuasai pihak lainnya. Oleh karena itu Amerika Serikat menawarkan kapal angkut
pasukan Renville sebagai tempat
berunding, yang selanjutnya diterima pihak Indonesia maupun Belanda.
No comments:
Post a Comment