History

History
"History Make Me Happy"

Thursday 15 September 2016

PERJANJIAN RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya bagi Perjuangan Bangsa Indonesia)
Bag.2
*Muh. Mujibur Rohman

  • Kronologi Perjanjian Renville

Perundingan Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Februari 1947 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin Harahap, yang anggotanya antara lain Agus Salim dan Achmad Soebardjo. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.

            Pada tanggal 8 Desember 1947, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi republik dan delegasi Belanda. Usul-usul pertamanya diterima sepenuhnya oleh delegasi Republik, namun hanya diterima sebagian oleh delegasi Belanda. Rencananya yang kedua juga disetujui oleh Republik tetapi hanya dapat diterima sebagi kertas kerja oleh Belanda (Kahin, 1995). Belanda mengawali perundingan dengan segudang kartu truf, yaitu  Republik Indonesia hanya terdiri dari sepotong kecil Pulau Jawa dan hutan belantara di Sumatra. Tentara belanda akan untuk membuat penyelesaian, sementara di seputar Jawa dan Sumatra ada jaringan “negara bagian” yang baru didirikan, dan juga mewakili sebagian dari tanah jajahan dulu serta bersedia bekerja sama dengan Belanda (Heijboer, 1998: 114). Selain itu Belanda bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer, dan tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan "Garis van Mook" sebagai hasil agresi militer mereka. Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan Dream Line (garis impian) karena dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah yang sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, seperti minyak dan hasil pertambangan lain.
            Menghadapi Belanda yang tetap bersikukuh pada pendiriannya, pada tanggal 26 Desember KTN menyerahkan pesan Natal atau “Christmas Message”, suatu usul menyeluruh yang jauh lebih mendekati kedudukan Belanda. Pesan ini menyerukan genjatan senjata, dengan garis Van Mook diterima sebagai batas kemiliteran antara kedua belah pihak yan bertikai, tetapi antara lain dengan syarat, bahwa selama periode tidak kurang dari tiga bulan, Belanda akan menarik mundur pasukannya hingga ke posisi yang dulu didudukinya sebelum agresi milter 21 Juli 1947, dan bahwa pemerintah pemerintah sipil Republik akan kembali ke wilayah-wilayah yang ditinggalkan itu. Usul-usul ini diterima oleh Republik. Sedangkan Belanda setuju menerima usul-usul KTN sebagian, dengan menyodorkan rangkaian usulnya sendiri yang terdiri dari 12 prinsip dengan memasukkan ke dalamnya usul-usul KTN yang dapat mereka terima. Usul balasan Belanda ini juga menyebutkan bahwa dalam waktu “tidak kurang dari tiga bulan dan tidak lebih dari setahun setelah penandatanganan persetujuan itu, selama waktu itu akan dilakukan pembicaraan bebas dan tidak dipaksa serta dibuat pertimbangan atas masalah-masalah pokok”. Akan tetapi, mereka menghilangkan setiap kata yang menyebutkan tentang penarikan mundur paskan Belanda atau dikembalikannya pemerintahan sipil Republik dalam wilayah yang mereka tinggalkan. Republik tidak diberi perwakilan dalam pemerintah sementara sebelum penyerahan kedaulatan, dan nama Republik tidak disebutkan dan juga tidak dalam 12 prinsip tersebut. Dari sudut pandang Republik, yang lebih mengejutkan adalah tidak adanya jaminan internasional selama waktu antara pendatanganan persetujuan dan penyerahan kedaulatan. Dengan menyerahkan usul ini, Belanda menunjukkan bahwa “bila Republik tidak mau menerimanya tanpa syarat, ke 12 prinsip itu tidak perlu dihiraukan dan akan dilakukan aksi pembebasan” (Kahin, 1995).
            Usulan-usulan Belanda yang bernada ultimatum ini tidak diterima Republik. Karena mengetahui bahwa pemerintah Republik pasti tidak akan menerima ultimatum ini, maka KTN berusaha mengatasi jalan buntu tersebut dengan mengajukan enam prinsip tambahan, melengkapi 12 prinsip yang dikemukakan oleh Belanda. Pelaksanaan keenam prinsip ini dimaksudkan untuk memberi ketegasan bahwa rakyat Indonesia akan memutuskan nasib negaranya sendiri. Menurut Dr. Graham, ini menggambarkan bahwa keenam prinsip tambahan tersebut “akan mengubah pertempuran dari suatu garis demarkasi militer yang bersifat sementara yang dapat dihapuskan, menjadi pertempuran pada suatu garis politik yang bersifat demokrasi, yang berlangsung lama” atau from bullets to ballots (dari peluru ke kotak suara). Negeri Belanda tampaknya dapat menerima enam usul KTN itu jika Republik mau menerimanya beserta ke 12 prinsip Belanda selama waktu yang ditentukan dalam ultimatumnya tertanggal 9 Januari. Batasan ini kemudian diperpanjang hingga 48 jam.  Kedua belas prinsip yang diajukan Belanda ini bersifat samar-samar dan membingungkan, dan Republik minta penjelasannya.
            Dengan hampir habisnya batas waktu yang ditentukan Belanda, maka para anggota KTN terbang ke Yogyakarta untuk menjawab pertanyaan-pertanyan para pemimpin Republik mengenai kedua belas prinsip yang diusulkan Belanda. Mereka menjawab sebagian masalah ini dengan suatu konsep pernyatan menurut pandangan mereka sendiri yang tidak condong ke salah satu pihak yang berisi hampir semua konsensus dari ketiga anggota KTN. Meskipun tidak dapat diterima oleh Belanda, tafsiran KTN ini penting untuk mendorong agar Republik menyetujui genjatan senjata dan ke-12 usul balasan Belanda. KTN juga menekankan kepada pihak Republik bahwa tidak menerima genjatan senjata dan ke-12 usul balasan Belanda itu, akan mengakhiri fungus KTN, dan pertikaian itu akan dikembalikan ke tangan Dewan Keamanan. Lebih lanjut Dr. Graham menjelaskan bahwa hanya jika syarat-syarat yang dituntut oleh Belanda dapat diterima Republik, mungkin pemerintah Amerika akan cenderung menentang usaha-usaha lebih jauh dari Belanda untuk membuat penyelesaian dengan kekerasan. Ia meyakinkan pemimpin Republik bahwa dengan menerima syarat-syarat itu mereka boleh percaya bahwa pemerintah Amerika akan berusaha keras untuk mempengaruhi Belanda tugas mereka dalam perundingan itu. Jaminan ini menyebabkan para pemimpin Republik pada akhirnya menyetujui suatu genjatan senjata berdasarkan garis Van Mook dan tuntutan-tuntutan dari Belanda.
            Hanya dengan suatu batas yang nyaris dan dengan penolakan yang sangat keras, akhirnya pemerintah Republik  memutuskan untuk menuruti desakan-desakan KTN, dan terutama Dr. Graham dan menandatangani persetujuan yang dituntut oleh Belanda dalam ultimatumnya. Cara itu ditentang mati-matian oleh Sjahrir, para pemimpin Masyumi dan kebanyakan pemimpin PNI. Para pemimpin PNI ini menyuarakan keberatan yang serius terhadap alinea-alinea militer dari perjanjian itu, tetapi dilaporkan bahwa partai tersebut telah mempersiapkan sebuah mosi yang mendukung pemerintah. Berbeda dengan PNI, Masyumi tanpa diduga mulai goncang. Pada hari sebelum penandatangan perjanjian Renville datang sebuah laporan yang mengatakan lima orang menteri dari unsur Masyumi meninggalkan kabinet, sementara kedua wakil Masyumi yang memainkan peranan penting di dalam delegasi yang ikut mempersiapkan perjanjian itu juga mengundurkan diri. Akibatnya, barisan delegasi yang dipimpin Amir Sjarifuddin telah amat menipis ketika ia menandatangani perjanjian Renville (Abdullah, 1997: 228-229). Di kalangan militer, yang diwakili oleh Soedirman dan Oerip Soemohardjo, juga tidak sependapat dengan persetujuan Renville ini. Mereka berpendapat bahwa isi dalam perjanjian tersebut tidak menghargai tentara Republik sebagaimana mestinya. Mula-mula Amir Sjarifuddin, Soekarno dan Hatta juga menentang persetujuan ini. Namun demikian, laporan dari beberapa komandan tentara Republik yang terpenting tentang keadaan amunisi mereka yang kritis kepada Presiden Soekarno, kecurigaan tertentu bahwa Belanda akan melaksanakan kampanye menyeluruh lagi bila Republik menolak untuk menerima tuntutan-tuntutan itu peringatan dari KTN bahwa tidak ada bantuan yang efektif dari Dewan Keamanan PBB dalam masalah ini, semuanya meyakinkan mereka betapa kritisnya situasi ini.

            Demikianlah, pada tanggal 17 Januari 1948 pemerintah Republik ikut bersama Belanda menandatangani Perjanjian Renville yang meliputi suatu genjatan senjata secara militer berdasarkan garis Van Mook, 12 prinsip dari Belanda, dan enam prinsip tambahan yang diusulkan oleh KTN. Walaupun perjanjian ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang bijaksana dari Republik dalam menerima persetujuan itu (suatu tindakan yang sebagian didorong oleh kurangnya amunisi di pihak Republik) menyebabkan mereka mendapatkan dukungan Amerika yang sangat menentukan (Ricklefs, 2005).

No comments:

Post a Comment