PERJANJIAN
RENVILLE
(Latar belakang, Kronologi, dan Dampaknya
bagi Perjuangan Bangsa Indonesia)
Bag.2
*Muh. Mujibur Rohman
- Kronologi Perjanjian Renville
Perundingan Renville adalah perjanjian antara Indonesia
dan Belanda
yang ditandatangani pada tanggal 17 Februari
1947 di atas geladak kapal
perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta.
Delegasi Indonesia
dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin Harahap, yang anggotanya
antara lain Agus Salim
dan Achmad Soebardjo. Delegasi Kerajaan
Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember
1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee
of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika
Serikat, Australia, dan Belgia.
Pada tanggal 8
Desember 1947, KTN mengadakan sidang resminya yang pertama dengan delegasi
republik dan delegasi Belanda. Usul-usul pertamanya diterima sepenuhnya oleh
delegasi Republik, namun hanya diterima sebagian oleh delegasi Belanda.
Rencananya yang kedua juga disetujui oleh Republik tetapi hanya dapat diterima
sebagi kertas kerja oleh Belanda (Kahin, 1995). Belanda mengawali perundingan
dengan segudang kartu truf, yaitu
Republik Indonesia hanya terdiri dari sepotong kecil Pulau Jawa dan
hutan belantara di Sumatra. Tentara belanda akan untuk membuat penyelesaian,
sementara di seputar Jawa dan Sumatra ada jaringan “negara bagian” yang baru
didirikan, dan juga mewakili sebagian dari tanah jajahan dulu serta bersedia
bekerja sama dengan Belanda (Heijboer, 1998: 114). Selain itu Belanda
bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia mundur ke batas demarkasi
sebelum agresi militer, dan tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang
dinamakan "Garis van Mook" sebagai hasil agresi
militer mereka. Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan Dream Line
(garis impian) karena dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah
yang sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam
yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, seperti minyak dan
hasil pertambangan lain.
Menghadapi Belanda
yang tetap bersikukuh pada pendiriannya, pada tanggal 26 Desember KTN
menyerahkan pesan Natal atau “Christmas
Message”, suatu usul menyeluruh yang jauh lebih mendekati kedudukan
Belanda. Pesan ini menyerukan genjatan senjata, dengan garis Van Mook diterima
sebagai batas kemiliteran antara kedua belah pihak yan bertikai, tetapi antara
lain dengan syarat, bahwa selama periode tidak kurang dari tiga bulan, Belanda
akan menarik mundur pasukannya hingga ke posisi yang dulu didudukinya sebelum
agresi milter 21 Juli 1947, dan bahwa pemerintah pemerintah sipil Republik akan
kembali ke wilayah-wilayah yang ditinggalkan itu. Usul-usul ini diterima oleh
Republik. Sedangkan Belanda setuju menerima usul-usul KTN sebagian, dengan
menyodorkan rangkaian usulnya sendiri yang terdiri dari 12 prinsip dengan
memasukkan ke dalamnya usul-usul KTN yang dapat mereka terima. Usul balasan
Belanda ini juga menyebutkan bahwa dalam waktu “tidak kurang dari tiga bulan
dan tidak lebih dari setahun setelah penandatanganan persetujuan itu, selama
waktu itu akan dilakukan pembicaraan bebas dan tidak dipaksa serta dibuat
pertimbangan atas masalah-masalah pokok”. Akan tetapi, mereka menghilangkan
setiap kata yang menyebutkan tentang penarikan mundur paskan Belanda atau
dikembalikannya pemerintahan sipil Republik dalam wilayah yang mereka
tinggalkan. Republik tidak diberi perwakilan dalam pemerintah sementara sebelum
penyerahan kedaulatan, dan nama Republik tidak disebutkan dan juga tidak dalam
12 prinsip tersebut. Dari sudut pandang Republik, yang lebih mengejutkan adalah
tidak adanya jaminan internasional selama waktu antara pendatanganan
persetujuan dan penyerahan kedaulatan. Dengan menyerahkan usul ini, Belanda
menunjukkan bahwa “bila Republik tidak mau menerimanya tanpa syarat, ke 12
prinsip itu tidak perlu dihiraukan dan akan dilakukan aksi pembebasan” (Kahin, 1995).
Usulan-usulan
Belanda yang bernada ultimatum ini tidak diterima Republik. Karena mengetahui
bahwa pemerintah Republik pasti tidak akan menerima ultimatum ini, maka KTN
berusaha mengatasi jalan buntu tersebut dengan mengajukan enam prinsip
tambahan, melengkapi 12 prinsip yang dikemukakan oleh Belanda. Pelaksanaan
keenam prinsip ini dimaksudkan untuk memberi ketegasan bahwa rakyat Indonesia akan
memutuskan nasib negaranya sendiri. Menurut Dr. Graham, ini menggambarkan bahwa
keenam prinsip tambahan tersebut “akan mengubah pertempuran dari suatu garis
demarkasi militer yang bersifat sementara yang dapat dihapuskan, menjadi
pertempuran pada suatu garis politik yang bersifat demokrasi, yang berlangsung
lama” atau from bullets to ballots
(dari peluru ke kotak suara). Negeri Belanda tampaknya dapat menerima enam usul
KTN itu jika Republik mau menerimanya beserta ke 12 prinsip Belanda selama
waktu yang ditentukan dalam ultimatumnya tertanggal 9 Januari. Batasan ini
kemudian diperpanjang hingga 48 jam.
Kedua belas prinsip yang diajukan Belanda ini bersifat samar-samar dan
membingungkan, dan Republik minta penjelasannya.
Dengan hampir
habisnya batas waktu yang ditentukan Belanda, maka para anggota KTN terbang ke Yogyakarta untuk menjawab pertanyaan-pertanyan para
pemimpin Republik mengenai kedua belas prinsip yang diusulkan Belanda. Mereka
menjawab sebagian masalah ini dengan suatu konsep pernyatan menurut pandangan
mereka sendiri yang tidak condong ke salah satu pihak yang berisi hampir semua
konsensus dari ketiga anggota KTN. Meskipun tidak dapat diterima oleh Belanda,
tafsiran KTN ini penting untuk mendorong agar Republik menyetujui genjatan
senjata dan ke-12 usul balasan Belanda. KTN juga menekankan kepada pihak
Republik bahwa tidak menerima genjatan senjata dan ke-12 usul balasan Belanda
itu, akan mengakhiri fungus KTN, dan pertikaian itu akan dikembalikan ke tangan
Dewan Keamanan. Lebih lanjut Dr. Graham menjelaskan bahwa hanya jika
syarat-syarat yang dituntut oleh Belanda dapat diterima Republik, mungkin pemerintah
Amerika akan cenderung menentang usaha-usaha lebih jauh dari Belanda untuk
membuat penyelesaian dengan kekerasan. Ia meyakinkan pemimpin Republik bahwa
dengan menerima syarat-syarat itu mereka boleh percaya bahwa pemerintah Amerika
akan berusaha keras untuk mempengaruhi Belanda tugas mereka dalam perundingan
itu. Jaminan ini menyebabkan para pemimpin Republik pada akhirnya menyetujui
suatu genjatan senjata berdasarkan garis Van Mook dan tuntutan-tuntutan dari
Belanda.
Hanya dengan suatu
batas yang nyaris dan dengan penolakan yang sangat keras, akhirnya pemerintah
Republik memutuskan untuk menuruti
desakan-desakan KTN, dan terutama Dr. Graham dan menandatangani persetujuan
yang dituntut oleh Belanda dalam ultimatumnya. Cara itu ditentang mati-matian
oleh Sjahrir, para pemimpin Masyumi dan kebanyakan pemimpin PNI. Para pemimpin PNI ini menyuarakan keberatan yang serius
terhadap alinea-alinea militer dari perjanjian itu, tetapi dilaporkan bahwa
partai tersebut telah mempersiapkan sebuah mosi yang mendukung pemerintah.
Berbeda dengan PNI, Masyumi tanpa diduga mulai goncang. Pada hari sebelum
penandatangan perjanjian Renville datang sebuah laporan yang mengatakan lima orang menteri dari
unsur Masyumi meninggalkan kabinet, sementara kedua wakil Masyumi yang
memainkan peranan penting di dalam delegasi yang ikut mempersiapkan perjanjian
itu juga mengundurkan diri. Akibatnya, barisan delegasi yang dipimpin Amir
Sjarifuddin telah amat menipis ketika ia menandatangani perjanjian Renville (Abdullah,
1997: 228-229). Di kalangan militer, yang diwakili oleh Soedirman dan Oerip
Soemohardjo, juga tidak sependapat dengan persetujuan Renville ini. Mereka
berpendapat bahwa isi dalam perjanjian tersebut tidak menghargai tentara
Republik sebagaimana mestinya. Mula-mula Amir Sjarifuddin, Soekarno dan Hatta
juga menentang persetujuan ini. Namun demikian, laporan dari beberapa komandan
tentara Republik yang terpenting tentang keadaan amunisi mereka yang kritis
kepada Presiden Soekarno, kecurigaan tertentu bahwa Belanda akan melaksanakan
kampanye menyeluruh lagi bila Republik menolak untuk menerima tuntutan-tuntutan
itu peringatan dari KTN bahwa tidak ada bantuan yang efektif dari Dewan
Keamanan PBB dalam masalah ini, semuanya meyakinkan mereka betapa kritisnya
situasi ini.
Demikianlah, pada
tanggal 17 Januari 1948 pemerintah Republik ikut bersama Belanda menandatangani
Perjanjian Renville yang meliputi suatu genjatan senjata secara militer
berdasarkan garis Van Mook, 12 prinsip dari Belanda, dan enam prinsip tambahan
yang diusulkan oleh KTN. Walaupun perjanjian ini tampaknya seperti kemenangan
besar pihak Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang bijaksana dari
Republik dalam menerima persetujuan itu (suatu tindakan yang sebagian didorong
oleh kurangnya amunisi di pihak Republik) menyebabkan mereka mendapatkan
dukungan Amerika yang sangat menentukan (Ricklefs, 2005).
No comments:
Post a Comment