Ilmu sosial itu obyek studinya adalah masyarakat. Membicarakan demokrasi
sebenarnya berbicara tentang masyarakat. Demokrasi adalah suatu sistem
dimana hubungan kekuasaan antara pemerintah (atau negara) dan masyarakat (atau
warga negara) dikelola. Esensi demokrasi, adalah suatu mekanisme hubungan
kekuasaan antara negara dan masyarakat yang seimbang dan harmonis. Yang
terpenting dalam esensi ini adalah kekuasaan yang berada di tangan pemerintah
itu dapat dilaksanakan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi yang ideal adalah
suatu mekanisme dimana terdapat jaminan bahwa warga masyarakat memiliki akses
yang memadai terhadap kekuasaan. Mereka dapat mengawasi jalannya kekuasaan,
mereka memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan aspirasi itu di
dengar, dan –yang terpenting– mereka memiliki peluang yang sama menjadi bagian
dari pemerintahan itu. Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani: “demos”
(rakyat) dan “kratos” (kekuasaan). Dengan demikian, secara
harfiah, demokrasi dapat kita pahami sebagai suatu bentuk pemerintahan
rakyat. Tetapi, dalam praktek ketatanegaraan dewasa ini, kita tidak
mungkin lagi menemukan praktek-praktek langsung sebagaimana ditunjukkan oleh
model pemerintahan oleh rakyat di Negara Kota (polis) pada jaman Yunani Kuno.
Dalam konteks modern, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana
kekuasaan menjalankan pemerintahan itu diperoleh dari rakyat, baik secara
langsung (direct democracy), maupun melalui perwakilan (representatives
democracy). Kita juga mengenal model demokrasi konsensus (concencus
democracy) dimana keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan konsensus
bersama antara pemangku kepentingan.
Pada masa Orde baru, kekuasaan politik yang tersentralisasi di tangan
Suharto selalu diklaim sebagai bentuk demokrasi. Akan tetapi, demokrasi
Indonesia pada masa Orde Baru adalah “demokrasi papan nama”, dimana dalam prakteknya
kita tidak menemukan adanya mekanisme pengawasan kekuasaan yang ideal, tidak
ada ruang yang cukup bagi partisipasi warga, dan tidak ada wadah yang
memungkinkan bagi warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas dan
terbuka, tanpa tekanan.
Reformasi politik yang bergulir sejak 1998 difokuskan pada perubahan menuju
demokrasi hanya merupakan perubahan pada tataran prosedur-prosedur demokrasi
semata, akan tetapi belum menjangkau aspek substansial dari demokrasi itu.
Untuk menuju suatu model demokrasi substansial pada masa mendatang, kita
membutuhkan setidaknya dua prakondisi:
1.
Partai politik yang kuat, efektif,
dan efisien. Sistem multi partai akan menjadi sia-sia tanpa adanya partai
politik yang kuat. Partai politik yang kuat adalah partai politik yang
menjalankan peran dan fungsinya, yaitu yang menjadi tempat untuk rekrutmen
politik, tempat pendidikan politik, tempat untuk menyelesaikan konflik, dan
wadah untuk mengagregasikan kepentingan.
2.
Warga negara (masyarakat) yang
otonom, yaitu masyarakat yang menyadari hak dan kewajibannya, dan bersedia
melakukan tindakan-tindakan politik dalam kerangka keseimbangan antara hak dan
kewajiban tersebut. Untuk itu, dibutuhkan suatu tingkat kematangan
tertentu di level masyarakat, yang dapat dilakukan dengan mengintensifkan
segala bentuk pendidikan politik, baik formal, informal, maupun non-formal. Masyarakat
yang otonom dapat menjadi penentu arah perkembangan pembangunan politik dan
perubahan sosial. Warga dapat secara langsung mengawasi pelaksanaan kekuasaan
politik, atau juga dapat menyalurkan aspirasi mereka melalui partai politik
sebagai saluran formal yang tersedia.
Agar perbaikan demokrasi seperti yang disebutkan diatas dapat memiliki
arti, maka harus diikuti dengan
penguatan budaya politik. Budaya politik
yang kuat adalah kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban mereka, dan
dorongan yang kuat untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang memiliki karakter budaya
politik yang kuat bukanlah masyarakat yang hanya sibuk ikut berpolitik
saja. Secara minimal, partisipasi politik masyarakat dapat terjadi dalam
praktek-praktek yang kadang-kadang tidak disadari, seperti membayar pajak,
terlibat dalam organisasi sosial, atau memberikan suara dalam pemilihan umum.
Ada suatu formula yang dapat membentuk perilaku atau karakter seseorang,
yaitu: tindakan-tindakan atau aktivitas yang sering dilakukan akan menjadi
kebiasaan (habit). Kebiasaan
yang berulang-ulang akan menjadi karakter. Dan kumpulan dari berbagai
karakter akan menjadi kultur (budaya). Jika kita terbiasa dengan
cara-cara anti kekerasan, maka anti-kekerasan itu akan menjadi karakter
kita. Jika sebagian besar orang memiliki karakter anti-kekerasan, maka
ini akan menjadi budaya kita. Formula “habit-karakter-kultur” inilah yang
perlu kita bangun. Masyarakat perlu dibiasakan dengan cara-cara
demokrasi. Jika cara-cara ini telah menjadi kebiasaan, dapat kita
pastikan demokrasi akan menjadi karakter kita. Ini berarti, pada saat
banyak orang telah memiliki karakter demokrasi, maka budaya demokrasi akan menjadi budaya positif yang memberi ciri
khusus pada masyarakat.
Untuk menumbuhkan budaya demokrasi, dapat melalui proses pendidikan.
Pendidikan demokrasi diartikan
sebagai upaya sistematis yang dilakukan Negara dan masyarakat untuk
memfasilitasi individu warga negaranya agar memahami, menghayati, mengamalkan
dan mengembangkan konsep, prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan
perannya dalam masyarakat.
Demokrasi
memang tidak diwarisi, tetapi ditangkap dan dicerna melalui proses belajar. Oleh
karena itu untuk memahaminya diperlukan suatu proses pendidikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi dalam berbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan
formal (di sekolah dan perguruan tinggi), non formal (pendidikan di luar
sekolah dan informal (pergaulan di rumah dan masyarakat kultural) bertujuan untuk
membangun cita – cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan
demokrasi dalam berbagai konteks.
Namun
upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal tidaklah mudah. Proses
mengimplementasikan demokrasi inilah sebagai sistem politik dalam kehidupan
bernegara. Pendidikan demokrasi bertujuan
menghasilkan demokrasi yang mengaju pada ciri – ciri sebagai berikut :
a. Proses
yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap, berkesinambungan terus – menerus.
b. Bersifat
evolusioner dalam arti dilakukan secara perlahan.
c. Perubahan
bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan ( anarkis)
d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti pebedaan yang
ada diselesaikan dengan cara musyawarah.
Jadi,
budaya demokrasi di masyarakat akan terbentuk bilamana nilai – nilai demokrasi
itu sudah berkembang luas, merata, dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan
perilaku hidup. Pada hakikatnya budaya demokrasi akan mengembangkan nilai –
nilai demokrasi
Di negara berkembang pendidikan demokrasi sering dianggap “taken for granted or ignored”.
Sesungguhnya, dapat ditegaskan pendidikan demokrasi seyogyanya ditempatkan
sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu
pendidikan demokrasi perlu dilihat dalam dua setting besar, yakni school based democracy education, yakni
pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis pendidikan formal dan society based democracy education,
pendidikan demokrasi dalam konteks atau yang berbasis kehidupan masyarakat.
Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia sudah
digariskan dalam berbagai peraturan perundangan. Misalnya, dalam usulan BP KNIP
tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “pendidikan dan pengajaran harus
menjadi siswa-siswi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab”, yang
kemudian oleh kementerian PKK (pendidikan pengajaran dan kebudayaan) dirumuskan
dalam tujuan pendidikan : “untuk mendidik warga negara yang sejati yang
bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”.
Khusus mengenai konsep dan strategi pendidikan Demokrasi
dirumuskan dan disimpulkan bahwa secara konseptual pendidikan untuk Kewarganegaraan
yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama bagi pendidikan di
Indonesia. Ikhtiar pendidikan ini pada dasarnya harus ditujukan untuk
mengembangkan kecerdasan spiritual, rasional, emosional, dan sosial warga negara
baik sebagai aktor sosial maupun sebagai pemimpin pada hari ini dan hari esok.
Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warga negara yang cerdas dan baik
adalah sebagai warga negara Indonesia.
Yang cerdas dan baik itu adalah mereka yang secara ajek
memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan
zaman, dan secara efektif dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang
selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral
dari masyarakat global yang damai dan sejahtera didasarkan pada keadilan. Dari
dua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan
demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional atau multidimensional atau
dikenal dengan konsep citizenship
education. Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumtif positif
dan pragmatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global.
Menata demokrasi melalui pendidikan masih belum
terinstitusionalisasi secara sistematis di Indonesia. Padahal, di negara-negara
maju, terutama Amerika Serikat dan di Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian
tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka. Sebagai output dari pendidikan yang demokratis,
kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi
adanya keterkaitan antara sikap-sikap demokratis warga negara dan program
pendidikan demokrasi, populer dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh melalui
jalur pendidikan formal.
Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti
Indonesia, pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat
sipil yang beradab dan demokratis amat penting diakukan. Pendidikan
kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah pendidikan nasional. Di era
Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan pendidikan civic. Demikian pula masa Presiden
Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam
nama dan tingkatan.
Sayang, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde
Baru (Orba), seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian
luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Budaya dan
praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite
politik dan pelaku bisnis sejak masa Orba hingga kini bisa menjadi fakta nyata
gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Mencermati hal penting itu, upaya reformasi atas Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) nasional sudah saatnya dilakukan. Beberapa
unsur penting dalam pembelajaran PPKn perlu segera dilakukan perubahan secara
mendasar: konsep, orientasi, materi, metode dan evaluasi pembelajarannya. Secara
konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk pendidikan yang
memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku universal, di mana prinsip
umum demokrasi yang mengandung pengertian mekanisme sosial politik yang
dilakukan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk warga negara menjadi fondasi
dan tujuannya.
Berkaca pada realitas demokrasi di Indonesia, pendidikan
demokrasi yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan dengan konsep
itu sudah saatnya dilakukan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membangun
kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan
mampu menggunakannya secara demokratis dan beradab.
Dalam konteks pendidikan demokrasi, pandangan tentang
demokrasi dari filsuf pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, dapat dijadikan
rujukan yang relevan. Menurut dia,
demokrasi bukan sekadar bentuk suatu pemerintahan, tetapi lebih sebagai pola
hidup bersama (associated living) dan
hubungan dari pengalaman berkomunikasi. Oleh karena itu, kian banyak orang
terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain yang berbeda, mereka akan
kian banyak merujuk segala perbuatannya kepada kepentingan orang banyak, kian
majemuk, dan, masyarakat itu akan semakin demokratis. Ide John Dewey tentang
demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi
dan kelompok tampak sesuai realitas kultural dan sosial Indonesia yang majemuk.
Orientasi lama pengajaran PPKn yang lebih menekankan
kepatuhan peserta didik kepada negara sudah saatnya diubah ke arah pengajaran
yang berorientasi pada penyiapan peserta didik menjadi warga negara yang
kritis, aktif, toleran, dan mandiri. Jika orientasi pendidikan PPKn masa lalu
telah terbukti gagal melahirkan manusia Indonesia yang mandiri dan kreatif,
karena terlalu kuatnya muatan “pengarahan” negara atas warga negara, pendidikan
kewarganegaraan mendatang seharusnya diarahkan untuk membangun daya kreativitas
dan inovasi peserta didik melalui pola-pola pendidikan yang demokratis dan
partisipatif.
Absennya dua faktor ini dalam sistem pendidikan masa lalu
ternyata telah berakibat fatal manakala negara sendiri tidak mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan
dari peran pendidikan kewarganegaraan di masa lalu yang kurang memberi ruang
bagi pengembangan sikap mandiri dan kreativitas di kalangan peserta didik. Materi
PPKn merupakan unsur lain dari pendidikan kewarganegaraan nasional yang harus
segera dilakukan pembaruan. Masih kuatnya unsur- unsur militeristis dan
indoktrinasi dalam materi ajar PPKn sudah selayaknya diganti dengan pengetahuan
yang dibutuhkan oleh tiap warga negara, yakni materi ajar yang berhubungan
dengan pengembangan prinsip-prinsip demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia.
Materi ajar PPKn yang berbasis pada penafsiran tunggal
Pancasila dan bersifat sempit tidak bisa lagi dipaksakan berjalan dengan
semangat zaman demokrasi yang menekankan pada pembentukan warga negara yang
berwawasan luas dan terbuka (outward
looking) bagi beragam pandangan, termasuk tafsir alternatif terhadap dasar
negara Pancasila sekalipun. Dengan adanya pendidikan demokrasi yang baik dan
benar, yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan, kita dapat
berharap tumbuhnya budaya demokrasi yang benar dan santun, serta yang adil dan
jujur.
No comments:
Post a Comment