History

History
"History Make Me Happy"

Sunday 6 January 2013

Budaya dan Pendidikan Demokrasi di Indonesia



Ilmu sosial itu obyek studinya adalah masyarakat. Membicarakan demokrasi sebenarnya berbicara tentang masyarakat.  Demokrasi adalah suatu sistem dimana hubungan kekuasaan antara pemerintah (atau negara) dan masyarakat (atau warga negara) dikelola.  Esensi demokrasi, adalah suatu mekanisme hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat yang seimbang dan harmonis.  Yang terpenting dalam esensi ini adalah kekuasaan yang berada di tangan pemerintah itu dapat dilaksanakan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi yang ideal adalah suatu mekanisme dimana terdapat jaminan bahwa warga masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap kekuasaan. Mereka dapat mengawasi jalannya kekuasaan, mereka memiliki kesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan aspirasi itu di dengar, dan –yang terpenting– mereka memiliki peluang yang sama menjadi bagian dari pemerintahan itu. Istilah demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani: “demos” (rakyat) dan “kratos” (kekuasaan).  Dengan demikian, secara harfiah, demokrasi dapat kita pahami sebagai suatu bentuk pemerintahan rakyat.  Tetapi, dalam praktek ketatanegaraan dewasa ini, kita tidak mungkin lagi menemukan praktek-praktek langsung sebagaimana ditunjukkan oleh model pemerintahan oleh rakyat di Negara Kota (polis) pada jaman Yunani Kuno.
Dalam konteks modern, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana kekuasaan menjalankan pemerintahan itu diperoleh dari rakyat, baik secara langsung (direct democracy), maupun melalui perwakilan (representatives democracy).  Kita juga mengenal model demokrasi konsensus (concencus democracy) dimana keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan konsensus bersama antara pemangku kepentingan. 
Pada masa Orde baru, kekuasaan politik yang tersentralisasi di tangan Suharto selalu diklaim sebagai bentuk demokrasi.  Akan tetapi, demokrasi Indonesia pada masa Orde Baru adalah “demokrasi papan nama”, dimana dalam prakteknya kita tidak menemukan adanya mekanisme pengawasan kekuasaan yang ideal, tidak ada ruang yang cukup bagi partisipasi warga, dan tidak ada wadah yang memungkinkan bagi warga untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas dan terbuka, tanpa tekanan.
Reformasi politik yang bergulir sejak 1998 difokuskan pada perubahan menuju demokrasi hanya merupakan perubahan pada tataran prosedur-prosedur demokrasi semata, akan tetapi belum menjangkau aspek substansial dari demokrasi itu.
Untuk menuju suatu model demokrasi substansial pada masa mendatang, kita membutuhkan setidaknya dua prakondisi:
1.    Partai politik yang kuat, efektif, dan efisien.  Sistem multi partai akan menjadi sia-sia tanpa adanya partai politik yang kuat.  Partai politik yang kuat adalah partai politik yang menjalankan peran dan fungsinya, yaitu yang menjadi tempat untuk rekrutmen politik, tempat pendidikan politik, tempat untuk menyelesaikan konflik, dan wadah untuk mengagregasikan kepentingan.
2.    Warga negara (masyarakat) yang otonom, yaitu masyarakat yang menyadari hak dan kewajibannya, dan bersedia melakukan tindakan-tindakan politik dalam kerangka keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut.  Untuk itu, dibutuhkan suatu tingkat kematangan tertentu di level masyarakat, yang dapat dilakukan dengan mengintensifkan segala bentuk pendidikan politik, baik formal, informal, maupun non-formal. Masyarakat yang otonom dapat menjadi penentu arah perkembangan pembangunan politik dan perubahan sosial.  Warga dapat secara langsung mengawasi pelaksanaan kekuasaan politik, atau juga dapat menyalurkan aspirasi mereka melalui partai politik sebagai saluran formal yang tersedia.
Agar perbaikan demokrasi seperti yang disebutkan diatas dapat memiliki arti, maka harus  diikuti dengan penguatan budaya politik. Budaya politik yang kuat adalah kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban mereka, dan dorongan yang kuat untuk mengaktualisasikan hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari.  Masyarakat yang memiliki karakter budaya politik yang kuat bukanlah masyarakat yang hanya sibuk ikut berpolitik saja.  Secara minimal, partisipasi politik masyarakat dapat terjadi dalam praktek-praktek yang kadang-kadang tidak disadari, seperti membayar pajak, terlibat dalam organisasi sosial, atau memberikan suara dalam pemilihan umum.
Ada suatu formula yang dapat membentuk perilaku atau karakter seseorang, yaitu: tindakan-tindakan atau aktivitas yang sering dilakukan akan menjadi kebiasaan (habit).  Kebiasaan yang berulang-ulang akan menjadi karakter.  Dan kumpulan dari berbagai karakter akan menjadi kultur (budaya).  Jika kita terbiasa dengan cara-cara anti kekerasan, maka anti-kekerasan itu akan menjadi karakter kita.  Jika sebagian besar orang memiliki karakter anti-kekerasan, maka ini akan menjadi budaya kita.  Formula “habit-karakter-kultur” inilah yang perlu kita bangun. Masyarakat perlu dibiasakan dengan cara-cara demokrasi.  Jika cara-cara ini telah menjadi kebiasaan, dapat kita pastikan demokrasi akan menjadi karakter kita.  Ini berarti, pada saat banyak orang telah memiliki karakter demokrasi, maka budaya demokrasi akan menjadi budaya positif yang memberi ciri khusus pada masyarakat.
Untuk menumbuhkan budaya demokrasi, dapat melalui proses pendidikan. Pendidikan demokrasi diartikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga negaranya agar memahami, menghayati, mengamalkan dan mengembangkan konsep, prinsip dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan perannya dalam masyarakat.
Demokrasi memang tidak diwarisi, tetapi ditangkap dan dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu untuk memahaminya diperlukan suatu proses pendidikan demokrasi.  Pendidikan demokrasi dalam berbagai konteks, dalam hal ini untuk pendidikan formal (di sekolah dan perguruan tinggi), non formal (pendidikan di luar sekolah dan informal (pergaulan di rumah dan masyarakat kultural) bertujuan untuk membangun cita – cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam berbagai konteks.
Namun upaya untuk menuju kehidupan demokrasi yang ideal tidaklah mudah. Proses mengimplementasikan demokrasi inilah sebagai sistem politik dalam kehidupan bernegara. Pendidikan demokrasi bertujuan menghasilkan demokrasi yang mengaju pada ciri – ciri sebagai berikut :
a. Proses yang tak pernah selesai, dalam arti bertahap, berkesinambungan terus – menerus.
b. Bersifat evolusioner dalam arti dilakukan secara perlahan.
c. Perubahan bersifat damai dalam arti tanpa kekerasan ( anarkis)
d. Berjalan melalui cara musyawarah; dalam arti pebedaan yang ada diselesaikan dengan cara musyawarah.
Jadi, budaya demokrasi di masyarakat akan terbentuk bilamana nilai – nilai demokrasi itu sudah berkembang luas, merata, dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan perilaku hidup. Pada hakikatnya budaya demokrasi akan mengembangkan nilai – nilai demokrasi
Di negara berkembang pendidikan demokrasi sering dianggap “taken for granted or ignored”. Sesungguhnya, dapat ditegaskan pendidikan demokrasi seyogyanya ditempatkan sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan demokrasi perlu dilihat dalam dua setting besar, yakni school based democracy education, yakni pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis pendidikan formal dan society based democracy education, pendidikan demokrasi dalam konteks atau yang berbasis kehidupan masyarakat.
Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia sudah digariskan dalam berbagai peraturan perundangan. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “pendidikan dan pengajaran harus menjadi siswa-siswi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab”, yang kemudian oleh kementerian PKK (pendidikan pengajaran dan kebudayaan) dirumuskan dalam tujuan pendidikan : “untuk mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”.
Khusus mengenai konsep dan strategi pendidikan Demokrasi dirumuskan dan disimpulkan bahwa secara konseptual pendidikan untuk Kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar pertimbangan utama bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar pendidikan ini pada dasarnya harus ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, rasional, emosional, dan sosial warga negara baik sebagai aktor sosial maupun sebagai pemimpin pada hari ini dan hari esok. Sedangkan rumusan mengenai karakter utama warga negara yang cerdas dan baik adalah sebagai warga negara Indonesia.
Yang cerdas dan baik itu adalah mereka yang secara ajek memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai demokrasi sesuai perkembangan zaman, dan secara efektif dan langgeng menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat global yang damai dan sejahtera didasarkan pada keadilan. Dari dua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan demokrasi yang digagaskan adalah pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional atau multidimensional atau  dikenal dengan konsep citizenship education. Sifat multidimensionalitasnya itu terletak dalam asumtif positif dan pragmatiknya yang menyangkut individu, negara, dan masyarakat global.
Menata demokrasi melalui pendidikan masih belum terinstitusionalisasi secara sistematis di Indonesia. Padahal, di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan di Eropa, pendidikan demokrasi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka. Sebagai output dari pendidikan yang demokratis, kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi adanya keterkaitan antara sikap-sikap demokratis warga negara dan program pendidikan demokrasi, populer dengan sebutan civic education (pendidikan kewarganegaraan), yang ditempuh melalui jalur pendidikan formal.
Bagi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi, seperti Indonesia, pendidikan kewarganegaraan yang mampu memperkuat barisan masyarakat sipil yang beradab dan demokratis amat penting diakukan. Pendidikan kewarganegaraan bukanlah barang baru dalam sejarah pendidikan nasional. Di era Soekarno, misalnya, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan pendidikan civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan.
Sayang, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru (Orba), seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orba hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Mencermati hal penting itu, upaya reformasi atas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) nasional sudah saatnya dilakukan. Beberapa unsur penting dalam pembelajaran PPKn perlu segera dilakukan perubahan secara mendasar: konsep, orientasi, materi, metode dan evaluasi pembelajarannya. Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu bentuk pendidikan yang memuat unsur-unsur pendidikan demokrasi yang berlaku universal, di mana prinsip umum demokrasi yang mengandung pengertian mekanisme sosial politik yang dilakukan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk warga negara menjadi fondasi dan tujuannya.
Berkaca pada realitas demokrasi di Indonesia, pendidikan demokrasi yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan dengan konsep itu sudah saatnya dilakukan. Tujuan pendidikan ini adalah untuk membangun kesadaran peserta didik akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mampu menggunakannya secara demokratis dan beradab.
Dalam konteks pendidikan demokrasi, pandangan tentang demokrasi dari filsuf pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, dapat dijadikan rujukan yang relevan. Menurut dia, demokrasi bukan sekadar bentuk suatu pemerintahan, tetapi lebih sebagai pola hidup bersama (associated living) dan hubungan dari pengalaman berkomunikasi. Oleh karena itu, kian banyak orang terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain yang berbeda, mereka akan kian banyak merujuk segala perbuatannya kepada kepentingan orang banyak, kian majemuk, dan, masyarakat itu akan semakin demokratis. Ide John Dewey tentang demokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok tampak sesuai realitas kultural dan sosial Indonesia yang majemuk.
Orientasi lama pengajaran PPKn yang lebih menekankan kepatuhan peserta didik kepada negara sudah saatnya diubah ke arah pengajaran yang berorientasi pada penyiapan peserta didik menjadi warga negara yang kritis, aktif, toleran, dan mandiri. Jika orientasi pendidikan PPKn masa lalu telah terbukti gagal melahirkan manusia Indonesia yang mandiri dan kreatif, karena terlalu kuatnya muatan “pengarahan” negara atas warga negara, pendidikan kewarganegaraan mendatang seharusnya diarahkan untuk membangun daya kreativitas dan inovasi peserta didik melalui pola-pola pendidikan yang demokratis dan partisipatif.
Absennya dua faktor ini dalam sistem pendidikan masa lalu ternyata telah berakibat fatal manakala negara sendiri tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari peran pendidikan kewarganegaraan di masa lalu yang kurang memberi ruang bagi pengembangan sikap mandiri dan kreativitas di kalangan peserta didik. Materi PPKn merupakan unsur lain dari pendidikan kewarganegaraan nasional yang harus segera dilakukan pembaruan. Masih kuatnya unsur- unsur militeristis dan indoktrinasi dalam materi ajar PPKn sudah selayaknya diganti dengan pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap warga negara, yakni materi ajar yang berhubungan dengan pengembangan prinsip-prinsip demokrasi, civil society, dan hak asasi manusia.
Materi ajar PPKn yang berbasis pada penafsiran tunggal Pancasila dan bersifat sempit tidak bisa lagi dipaksakan berjalan dengan semangat zaman demokrasi yang menekankan pada pembentukan warga negara yang berwawasan luas dan terbuka (outward looking) bagi beragam pandangan, termasuk tafsir alternatif terhadap dasar negara Pancasila sekalipun. Dengan adanya pendidikan demokrasi yang baik dan benar, yang disubordinasikan dalam pendidikan kewarganegaraan, kita dapat berharap tumbuhnya budaya demokrasi yang benar dan santun, serta yang adil dan jujur.



No comments:

Post a Comment