Kudus merupakan sebuah kota di propinsi Jawa Tengah,
Indonesia, yang terletak diantara daerah-daerah Jepara, Demak, Pati dan
Purwodadi serta dijalur perjalanan dari Semarang ibukota Jawa Tengah menuju ke arah
Surabaya. Menurut cerita, nama Kudus berasal dari kata Al-Quds, yang berarti
kesucian. Riwayat kota Kudus tidak bisa
terlepas dari nama Sunan Kudus sebagai pendirinya yang merupakan salah satu
dari Wali Sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu. Sebagai
peninggalannya, Kudus memiliki sebuah artefak yang terkenal yaitu Menara Kudus
yang berbentuk seperti candi serta Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan
Kudus pada sekitar tahun 1685 M. Kecuali terkenal sebagai kota wali, karena di
wilayah Kudus juga dikenal adanya Sunan Muria, Kudus juga terkenal sebagai kota
kretek karena banyaknya pengusaha rokok kretek di daerah tersebut serta bisa
juga disebut sebagai kota industri disebabkan oleh berkembang pesatnya industri
di daerah tersebut seperti industri rokok, kertas, cetak-mencetak, kerajinan,
bordir, makanan, dan lain-lain.
Kali Gelis yang mengalir di tengah-tengah kota Kudus membagi
wilayah Kudus menjadi dua bagian sehingga terdapat dua penyebutan nama untuk
dua bagian wilayah tersebut yakni Kudus Kulon (barat) dan Kudus Wetan (timur).
Pada zaman dahulu menurut cerita, wilayah Kudus Kulon, didiami oleh para
pengusaha, pedagang, petani, dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para
priyayi, cendekiawan, guru-guru, bangsawan, dan kaum ningrat. Dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik ternyata wilayah Kudus
Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para pengusaha dan pedagang tampak
lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus Wetan.
Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun rumah-rumah
adat yang penuh dengan ukir-ukiran yang membedakannya dengan rumah-rumah adat
sebelumnya. Itulah sebabnya bangunan rumah adat yang indah-indah yang
belakangan disebut sebagai Rumah Adat Kudus hanya terdapat di wilayah Kudus
Kulon. Pada awalnya rumah-rumah adat tersebut hanya dimiliki oleh pedagang Cina
Islam, tetapi kemudian ditiru dan dikembangkan oleh pedagang-pedagang pribumi
yang berhasil. Rumah adat Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810
M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbul kemewahan bagi
pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus Kulon terbentuk dengan ciri
keberadaan rumah adat tradisional Kudus tersebut.
Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan asing seperti Hindu, Cina, Persia (Islam) dan Eropa yang masuk ke
kawasan Kudus dalam waktu yang cukup panjang. Kebudayaan-kebudayaan asing
tersebut juga mempengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di daerah
Kudus. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa motif
mewarnai ukiran rumah adat Kudus. Diantaranya motif Cina yang diwujudkan dalam
bentuk ular naga, motif Persia atau Islam yang berupa bunga melati maupun motif
khas Kudus yang berupa bunga teratai dan motif kolonial dalam bentuk
sulur-suluran, mahkota, bejana, dan binatang. Semua motif yang ada itu erat
kaitannya dengan pengaruh budaya yang masuk ke Kudus.
Seni ukir Kudus banyak didominasi oleh bunga teratai untuk memaknai agama
Hindu. Sunan Kudus memperkenalkan seni
ukir yang didominasi oleh bunga melati yang satu sama lain saling berhubungan.
Makna melati adalah untuk menggambarkan bahwa agama Islam yang kala itu masih
sedikit pengikutnya adalah seperti melati yaitu kendati kecil, mampu memberikan
keharuman disekitarnya. Melati dibuat saling berhubungan yang dimaksud adalah
agar semua orang disekitarnya dapat hidup rukun walaupun berbeda agama.
Dalam perkembangan pembuatan Rumah
Adat Kudus, pengaruh unsur-unsur kebudayaan sangat kental memaknai bentuk dan
fungsi dari masing-masing bagiannya sehingga dapat dipilah-pilah sebagai
berikut:
1.Rumah adat sebagai sarana dakwah
Dalam kehidupan
sehari-hari, penduduk Kudus yang mayoritasnya beragama Islam, tingkah laku
kesantriannya di mana saja selalu melekat. Kehidupan ibadah merupakan ikatan
sosial yang diwujudkan dalam berbagai aspek, antara lain juga terwujud pada
rumah tinggal yang sarat dengan adat Islam.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab,
tempat Imam memimpin shalat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat
yang disucikan, sakral dan dikeramatkan. Gedongan juga sebagai tempat yang
disucikan, sakral, dan dikeramatkan dipakai untuk menyimpan benda pusaka serta
harta dari pemiliknya. Gedongan merangkap juga sebagai tempat tidur utama yang
dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin
bagi anak-anak pemiliknya. Ruang depan yang disebut Jaga Satru disediakan untuk
umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah
kanan untuk jamaah pria.
Masih pada ruang Jaga Satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di
tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, kecuali sebagai
simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau
tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang ke-Esaan Tuhan yaitu hanya
satu yang wajib disembah. Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama
yang disebut saka guru melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup yaitu
amarah, luamah, supiah dan mutmainah. Keempat soko guru tersebut juga ditafsirkan
sebagi hakikat dari sifat nafsiyah,salbiyah,mangani,dan maknawiyah. Di atas
keempat tiang tersebut terdapat tumpang sari sebagai pengerat yang jumlahnya
selalu ganjil dan jumlah yang dimaksud selalu membawa makna, jumlah lima melambangkan lima waktu shalat. Jumlah
tiga mengingatkan kehidupan alam arwah atau alam barzah, fana atau dunia, dan
alam akhirat.
Rumah sebagai media dakwah diperlihatkan melalui nilai-nilai ke Islaman
yang diwujudkan dalam bentuk ukiran-ukiran pada partisi antara ruang depan
dengan ruang dalam yang disebut "gebyok". Elemen penguat gebyok
berupa dua batang tiang yang pada bagian atasnya dibuat stilisasi dari telapak
tangan umat saat melakukan shalat pada posisi takbiratulihram yang selalu
disertai dengan menyerukan kata-kata Allahu Akbar, yaitu Allah Yang Maha Besar.
Ukiran-ukiran pada gebyok meskipun merupakan perpaduan dari berbagai pengaruh,
tetapi visualisasinya terutopsi pada kaligrafi Arab yang bertemakan ayat-ayat
Al Quran dan Hadits. Masih banyak lagi pesan-pesan dakwah yang terpatri pada
ragam hias bangunan dan selalu berkisar pada segi-segi, pandangan hidup dan
sikap hidup manusia dalam melakukan kewajibannya di dunia untuk kelak sebagai
bekal di akhirat.
2. Rumah adat kudus sebagai karya seni
bernilai tinggi
Rumah adat di
Kudus, apabila diperhatikan secara seksama dan mendalam, semakin lama semakin
mengagumkan karena sangat unik dan indah pada eksterior maupun interiornya yang
penuh dengan ornamen yang dikerjakan oleh para seniman dengan keterampilan
tinggi. Dasar kelahirannya penuh dengan rasa dan cipta yang terwujud dalam
bentuk-bentuk yang sangat indah dan tidak melanggar kaidah-kaidah keagamaan.
Lewat kegiatan seni memungkinkan penambahan atmosfer terhadap kebenaran
metafisik paling dalam yang dapat dilakukan oleh manusia dan masyarakat dalam
kehidupannya.
Rumah adat di Kudus jika ditinjau dari teori Bernard Rudofsky termasuk
karya arsitektur komunal yang lebih mengutamakan pada unsur seni yang dilakukan
secara terus-menerus dan berkeseimbangan secara spontan oleh seluruh masyarakat
dengan tradisi yang sama dari masa ke masa dan mengikuti kebiasaan ritual yang
berlaku pada masyarakat itu sendiri. Seni bukan sekadar peniruan dan pencerapan
lahiriah terhadap bentuk eksternal semata, melainkan sebagai unsur spiritual
yang dicapai lewat estetika. Karya seperti yang dimaksud termasuk apa yang disebut
arsitektur tanpa arsitek.
Konstruksi rumah dibuat completely
knock down sehingga mudah dibongkar pasang dan memungkinkan ornamen dari
tiap bagian bisa dikerjakan secara rinci dan penuh kerumitan. Ragam hiasnya
diilhami oleh keberhasilan relief candi dan pengerjaannya dibimbing oleh
pengrajin Cina dari daerah Sun Ging. Adapun pemiliknya adalah para pengusaha
dan pedagang yang kaya. Ragam hias bangunan dibuat pada seluruh komponen dengan
sangat berlebihan dan tidak membiarkan sedikit pun bidang yang kosong dan
hasilnya sangat optimum, penuh makna, simbol dan gaya yang saling kait-mengait
antara gaya Jawa-Gujarat-Persia-Cina dan kolonial dalam bentuk sulur-suluran, mahkota,
bejana, dan binatang.
Pengaruh Wali Songo dalam pembentukan ragam hias sangat dominan meskipun
dalam agama terdapat larangan perwujudan makhluk hidup, tetapi mereka memberi
kesempatan toleransi yang besar berupa akulturasi dan asimilasi secara evolutif
sehingga terciptalah bentuk-bentuk figuratif yang indah hasil imajinasi dari
bentuk-bentuk organisme hidup. Apresiasi seni dari para Wali Songo yang penuh
toleransi juga banyak dilakukan oleh khalifah di Arab sejak zaman Abbassiyah.
Istana Harun Al-Rasyid di Bagdad, Istana Al-Mutasin di Samara, Masjid Cordoba
di Spanyol juga dihias dengan fresco
berbentuk singa, burung rajawali, orang berkuda, dan makhluk hidup lainnya.
Seni lukis terwujud di permadani, keramik, dinding, dan pintu-pintu mencapai
taraf yang tinggi sehingga menjadi kekaguman dunia.
Seni ornamentasi tampak menyatu dengan bangunan induk, karena
penciptaannya sangat memperhatikan segi-segi, fungsi, struktur, ritualisasi,
simbolisasi, dan estetik yang secara dekoratif ikut meningkatkan daya tarik
bagi mereka yang memandangnya. Kekhasan adat lokal dalam tata cara hidup
melalui perilaku arsitektur merupakan gambaran jati diri dari rumah Kudus yang
berbeda bentuk dan gaya
dari bangunan joglo yang ada di Jawa pada umumnya, kecuali pada bentuk atap dan
soko guru sebagai penyangga tumpang sari yang penuh makna dan terukir begitu
indah.
3. Rumah adat sebagai lambang martabat
Menurut cerita
tutur selanjutnya disebutkan bahwa rumah-rumah adat yang begitu indah rata-rata
telah berumur lebih dari 100 sampai 200 tahun. Dengan mendasarkan pada usia
bangunan, maka apabila kita akan membahasnya harus menggunakan pisau analisis
yang berlaku pada zamannya.
Menurut Prof Berger struktur masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan 20 dapat
dibedakan dalam beberapa golongan yaitu; bangsawan, pangreh praja atau priyayi,
pedagang, dan petani. Politik kolonial saat itu menanamkan politik emansipasi
yang bertujuan membebaskan individu dari ikatan sosial lama yang dianggap
membelenggu demi untuk kebebasan dan kepastian hukum yang berlaku terutama
dalam ikatan feodal. Perkembangan individual masyarakat diarahkan pada
pembentukan kepribadian, semangat berusaha agar kemakmuran dapat segera
berkembang.
Singkat kata, penduduk Kudus yang dikategorikan sebagai penduduk
pesisiran, taraf hidupnya jauh lebih maju jika dibanding dengan para bangsawan
dan priyayi saat itu, tetapi dalam hidup keseharian mereka kurang mendapat
penghargaan dan penghormatan di masyarakat. Mata pencarian sebagai pedagang
dianggap rendah dan tidak terhormat, maka sebagai kompensasi penduduk Kudus
Kulon yang mayoritasnya pedagang mewujudkannya dalam bentuk rumah yang dibuat
sangat megah dengan harapan agar mereka juga berhak untuk mendapatkan
kehormatan seperti layaknya para bangsawan. Ketinggian lantai rumah dibuat
berundak untuk menyesuaikan dengan strata sosial seperti yang dilakukan oleh
golongan ningrat. Tamu dari kaum petani diterima di ruang depan, untuk golongan
priyayi diterima di ruang tengah sedang bupati dan orang Belanda diterima di
ruang gedongan. Sekeliling rumah dibuat tembok tinggi sama seperti bentuk
keraton.
Rumah-rumah adat yang semula dimiliki oleh pedagang Cina Islam ditiru dan
dikembangkan dengan kaidah-kaidah Jawa dan ke Islaman seperti yang dianut oleh
raja-raja di pedalaman. Seluruh komponen rumah diukir penuh dengan ornamen dari
berbagai gaya
seperti halnya di istana oleh para pengukir dengan keterampilan tinggi dan
hasilnya sangat menakjubkan sehinggga sepantasnya bila mendapatkan pengakuan
kehormatan seperti layaknya kaum priyayi dan bangsawan. Bagi mereka, rumah
adalah simbol status atau martabat si pemilik yang sudah sepantasnya bila
mendapatkan penghormatan dan penyetaraan
Bentuk ukiran-ukiran yang indah pada Rumah Adat Kudus sudah pasti berasal
dari para ahli ukir yang "mumpuni". Model ukiran rumah adat Kudus
agak berbeda dari model tempat para pengukir terkenal yang lain di Jawa yaitu
Jepara. Menurut sejarah, di Kudus dahulunya juga merupakan pusat pengrajin
ukir, lama sebelum dikembangkannya keahlian tersebut di daerah Jepara. Seni
ukir diperkenalkan di Kudus ketika seorang emigran dari Yunan - China , The Ling
Sing, tiba pada sekitar abad ke 15. Dia datang ke Kudus bukan hanya untuk
menyebarkan agama Islam, tetapi juga membagikan ilmunya untuk seni mengukir
kayu dengan gaya
Sung Ging sebagai sebuah maha karya ukiran kayu karena kehalusan dan
keindahannya.
The Ling Sing dikenal sebagai mubaligh dengan sebutan Kiai Telingsing.
Nama Kiai Telingsing ini sampai sekarang diabadikan sebagai nama sebuah jalan
di kota Kudus.
Di seputar jalan tersebut juga terdapat sebuah kampung atau desa yang bernama
Sunggingan yang diperkirakan berasal dari kata Sun Ging tersebut. Daerah
tersebut dahulunya diperkirakan merupakan tempat tinggal para pengukir dan
pemahat hasil didikan dari Kiai Telingsing. Dari abad ke 16 sampai abad ke 18,
para pengukir kayu di Kudus menerima banyak pesanan untuk pembuatan rumah adat
Kudus. Bahan utamanya, kayu jati dengan kualitas terbaik yang di supplai dari
hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Blora, Rembang, Cepu, Tuban,
Pacitan, Bojonegoro, dll. Mulai abad ke 19, kualitas kayu jati semakin menurun sehingga
mengecewakan para pengukir dari Kudus untuk terus mengembangkan keahlian
mereka.
Keahlian ukir mengukir juga banyak dipunyai oleh orang Jepara dan sudah
sangat terkenal sampai saat ini. Terdapat pendapat juga yang mengatakan bahwa
seni ukiran di Kudus juga dikerjakan oleh para ahli ukir dari Jepara, walaupun
pada kenyataannya terdapat perbedaan model ukirannya, terutama dalam hal misi
dan filosofinya. Menurut sejarah, Masjid Mantingan di Jepara yang mempunyai
dinding terbuat dari batu putih berukir dengan motif bunga merupakan hasil
karya seorang Cina bernama Tji Wie Gwan yang dibawa oleh Raden Toyib setelah
pulang dari berguru agama Islam di Campa selama lima tahun. Raden Toyib ini
kemudian menikah dengan Ratu Kalinyamat seorang ratu Jepara yang sangat terkenal
pada waktu itu.
Atas hasil pretasinya membangun Masjid Mantingan pada tahun 1559
(Masehi), Ratu Kalinyamat dan suaminya menganugrahkan sebuah nama baru untuk
Tji Wie Gwan menjadi Sungging Badar Duwung. Sungging artinya ahli ukir, Badar
sama dengan batu dan Duwung artinya tatah. Sungging Badar Duwung inilah yang
dikenal sebagai cikal bakal dari seni ukir Jepara yang secara bertahap mulai
dikenal diseluruh penjuru tanah air dan dunia. Konon ia juga ikut ambil bagian
dari pembuatan Masjid di Loram Kudus dan Masjid Menara Kudus.
Sungging Badar Duwung menurunkan ilmunya kepada masyarakat disekitarnya
baik di daerah Jepara maupun di Kudus dan memunculkan ahli-ahli ukir pilih
tanding yang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya. Keahlian tersebut
secara langsung dan tidak langsung juga bermanfaat dalam proses pembuatan rumah
adat Kudus. Kepastian tentang hal-hal tersebut memang masih perlu untuk
diselidiki lebih lanjut. Tetapi yang pasti Rumah Adat Kudus telah dibangun dan
menjadi salah satu ciri khas Kabupaten Kudus dengan seni ukirnya yang sangat
indah.
No comments:
Post a Comment