Kebudayaan berhubungan erat dengan masyarakat. Ada
beberapa definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
1. Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. (Koentjaraningrat. 2003:72).
2. Menurut
Ralph Linton, kebudayaan adalah seluruh
cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara
hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan
menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
3. Menurut Bakker kata
kebudayaan dari bahasa Sansekerta "Abhyudaya",yang berarti hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap. Dari
akar kata tersebut, Bakker
mengemukakan pengertian kebudayaan
secara umum sebagai berikut : kebudayaan
sebagai penciptaan, penerbitan dan pengolahan
nilai-nilai insani. Tercakup di dalamnya usaha membudayakan bahan alam mentah
serta hasilnya. Di dalam bahan alam, alam diri dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial, nilai-nilai diidentifikasikan dan
dikembangkan sehingga sempurna.
Membudayakan alam, memanusiakan
manusia, menyempurnakan hubungan
keinsanian merupakan kesatuan
tak terpisahkan." (dalam
Pelly dan Menanti, 1994: 22).
4.
E.B. Tylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup
kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala
sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya,
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak. (dalam
Sukanto 172-173).
5. Menurut
Ki Hajar Dewantara, kebudayaan"
dari kata Sanskerta buddhayah,
bentuk jamak dari buddhi yang
berarti "budi" atau
"kekal". Lebih lanjut
dari akar kata tersebut, Ki Hajar Dewantara merumuskan pengetian Kebudayaan
yaitu buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib
dan damai.
v Penjelasan
dari definisi-definisi kebudayaan di atas :
Dari
beberapa pengertian tersebut, dapat diidentifikasi gejala kebudayaan yaitu ide
(pikiran), aktivitas (tindakan), dan hasil karya. Berdasarkan beberapa pengertian
di atas dapat dijabarkan beberapa wujud kebudayaan sebagai berikut:
a.
benda-benda fisik;
b.
kebudayaan sebagai
sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola;
c.
kebudayaan
sebagai gagasan;
d.
kebudayaan sebagai
sistem gagasan yang ideologis. (Koentjaraningrat. 2003:74-75)
Berdasarkan
paparan di atas, dapat juga diketahui bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh
manusia juga dimiliki dengan cara belajar.
kebudayaan tidak diturunkan secara biologis atau pewarisan melalui unsur
genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang
digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah lakunya
digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang
baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini
tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya
adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk
dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi, apa yang dimakan,
bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu
makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan
manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah
cara makan yang berlaku sekarang.
Pada
masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan
makanan ke dalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan-lahan berubah, manusia
mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan
makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga
tempat di mana manusia itu makan. Dulu manusia makan di sembarang tempat,
tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus di mana makanan itu dimakan. Hal ini
semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan
oleh generasi sebelumya atau lingkungan di sekitarnya yang dianggap baik dan berguna
dalam hidupnya. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak
dipelajari. Semut-semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki
kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya
dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola
kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
Agar
dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus
dimiliki bersama oleh suatu kelompok
manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu
kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah
pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat
dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau
kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu
kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah
sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa
yang biasanya karakteristik khas.
Dalam
setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola
ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan.
Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar
dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam
keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma,
Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu
berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal
tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti
norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut
dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal
tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola
tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan
kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung
suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu
mengikuti cara -cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh
kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika
dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi ke dalam 2 jenis
yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak
langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal
yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim
atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada
sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada si pelanggar kalau hal yang
dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar
tata-tertib yang berlaku di masyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan
aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pembatasan-pembatasan
kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang dalam
kebudayaannya. Memang kadang–kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi
tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata kehidupan yang berjalan dalam suatu
kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi
individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai
pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka,
sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan
bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai
suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat
budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan
masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan
ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat
yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau
sistem yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan
itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistem nilai
budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap
bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah
serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut.
Pada
umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi
manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis
dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat
fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam
hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada
kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat
tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya,
orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat
tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai
usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah
dimengerti, tetapi bagi masyarakat pendukung kebudayaan yang melakukan
pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan
diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka
tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai
strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan
tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan
suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami
lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan
tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan
oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan
dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu
melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan
sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal
yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas
air dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam
memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan
sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan
tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari
kelompok-kelompok masyarakat di sekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga
mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan
mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat
tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan
tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang
berlainan mungkin saja akan memilih cara -cara yang berbeda terhadap keadaan
yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap
suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai
sejumlah alasan dan argumen. Alasan-alasan ini sangat banyak dan bervariasi. Tetapi
harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri
pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah
tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang
baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak
selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya
tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan
masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini.
Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap
keadaan-keadaan baru yang masuk ke dalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi
mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai
penyesuaian terhadap unsur -unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah
merugikan mereka sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi –Jilid 1,
cetakan kedua, Jakarta: Rineka Cipta.
Pelly, Usman dan Asih Menanti. 1994. Teori-teori Sosial Budaya.
Jakarta: Proyek P&PMTK Dirjen PT. Depdikbud.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke-37.
Jakarta Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment