History

History
"History Make Me Happy"

Thursday 10 January 2013

Situasi Sosial Politik di Indonesia 1950-1959


                                  Situasi Sosial Politik di Indonesia 1950-1959
           Kurun waktu antara 1950-1959 ditandai dengan kebebasan dalam artikulasi politik. Sementara di sisi lain merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan keberhasilan mencapai kemerdekaan. Dalam bidang politik, para politisi sipil membentuk banyak partai, tetapi jika dilihat dalam perkembangannya hanya beberapa partai politik yang dikatakan partai besar. Partai-partai tersebut antara lain Masyumi, PNI dan PKI. Partai-partai tersebut mengusung ideologi masing-masing seperti Masyumi yang mengusung ideologi Islam, PNI identik dengan ideologi yang nasionalis sementara PKI mengusung ideologi komunis.
            Di tingkat pemerintahan, para tahun 1950 terbentuk suatu sistem parlementer, yang di dalamnya kabinet bertanggung jawab kepada parlemen satu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan terbentuknya sistem parlementer ini maka terbentuk kabinet-kabinet, dimulai dari kabinet Natsir sampai kepada kabinet Djuanda. Pada umumnya umur kabinet-kabinet tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan program-program mereka masing-masing mengalami kegagalan atau tidak disetujui oleh parlemen sehingga mereka mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen. Hal ini cukup untuk menjatuhkan mereka.
            Pada tengah kurun waktu ini terdapat dua peristiwa penting, yaitu Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan Pemilihan Umum yang keduanya dilaksanakan pada tahun 1955. Konferensi Asia Afrika memiliki arti penting dalam konteks internasional sedangkan pemilihan umum memiliki arti penting di dalam konstelasi politik saat itu. Dari pemilihan umum tersebut muncul empat partai yang memiliki jumlah suara terbanyak, yaitu Masyumi, PNI, PKI, dan NU (memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 dan menjadi partai politik sendiri)
            Dalam kurun waktu ini terdapat situasi konflik politik, yaitu diantara partai-partai politik itu sendiri. Hal ini ditimbulkan salah satunya karena faktor ideologis yang berbeda diantara mereka. Selain itu terdapat konflik antara politisi sipil dengan tentara dan konflik di tubuh tentara itu sendiri. Para politisi sipil beranggapan bahwa menentukan urusan militer adalah urusan mereka sedangkan golongan tentara beranggapan hal tersebut adalah kondisi internalnya sendiri. Akibat hal ini maka struktur sosial dan politik negara mulai hancur. Akibatnya krisis yang berlarut-larut di dalam tubuh militer menyebabkan runtuhnya sistem politik parlementer. Karena partai-partai politik semakin terpolarisasi dalam pembagian Jawa (PNI, PKI, NU) dan luar Jawa (Masyumi) serta birokrasi tidak begitu efektif, maka tentara mulai memegang peranan. Akan tetapi, dengan adanya perpecahan di dalam internal tentara itu sendiri maka keadaan negara makin kacau. Sedangkan di tingkat atas, kurun waktu ini ditandai dengan fenomena perpecahan antara Sukarno dan Hatta mengenai partai-partai politik yang lebih mendasarkan diri pada kepentingan pribadi yang sempit. Untuk hal ini, Hatta lebih suka memperbaiki partai-partai politik, sedangkan Sukarno ingin membebaskan diri dari partai-partai politik sama sekali. Fenomena lain dalam situasi sosial politik kurun waktu ini adalah meningkatnya aktivitas dan peranan PKI dalam konstelasi politik. PKI mengalami kemajuan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya massa pengikutnya serta kedekatannya dengan Sukarno.
            Adanya situasi yang kacau di bidang politik serta gagalnya sistem parlementer dalam menyusun suatu pemerintahan yang berwibawa menyebabkan Sukarno mencetuskan idenya tentang “demokrasi Terpimpin” di tengah-tengah krisis pada tahun 1957. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Sukarno, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambil bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata.
            Pada tahun-tahun ini partai-partai politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling bermusuhan satu sama lain terlalu berat bagi mereka untuk bekerja sama dalam mempertahankan sistem parlementer. Para politisi Jakarta, baik sipil maupun militer, kini mengalihkan perhatian pada soal bagaimana caranya menyelesaikan peralihan ke demokrasi terpimpin. Pada akhir kurun waktu 1959 fenomena penting yang muncul adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli. Dengan keluarnya dekrit ini maka apa yang disebut dengan “demokrasi terpimpin” mulai dijalankan sepenuhnya. Hal ini menimbulkan pergeseran kekuatan dalam konstelasi politik, yang sebelumnya berada para poros pemerintah-partai-partai politik besar-militer, setelah keluarnya dekrit presiden poros kekuatan berubah menjadi Sukarno-PKI-Militer.

No comments:

Post a Comment