Situasi
Sosial Politik di Indonesia 1950-1959
Kurun waktu
antara 1950-1959 ditandai dengan kebebasan dalam artikulasi politik. Sementara
di sisi lain merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi
harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan keberhasilan mencapai kemerdekaan.
Dalam bidang politik, para politisi sipil membentuk banyak partai, tetapi jika
dilihat dalam perkembangannya hanya beberapa partai politik yang dikatakan
partai besar. Partai-partai tersebut antara lain Masyumi, PNI dan PKI. Partai-partai
tersebut mengusung ideologi masing-masing seperti Masyumi yang mengusung ideologi
Islam, PNI identik dengan ideologi yang nasionalis sementara PKI mengusung ideologi
komunis.
Di tingkat pemerintahan, para tahun
1950 terbentuk suatu sistem parlementer, yang di dalamnya kabinet bertanggung
jawab kepada parlemen satu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan
terbentuknya sistem parlementer ini maka terbentuk kabinet-kabinet, dimulai
dari kabinet Natsir sampai kepada kabinet Djuanda. Pada umumnya umur kabinet-kabinet
tersebut tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan program-program mereka
masing-masing mengalami kegagalan atau tidak disetujui oleh parlemen sehingga
mereka mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen. Hal ini cukup untuk
menjatuhkan mereka.
Pada tengah kurun waktu ini terdapat
dua peristiwa penting, yaitu Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung dan
Pemilihan Umum yang keduanya dilaksanakan pada tahun 1955. Konferensi Asia
Afrika memiliki arti penting dalam konteks internasional sedangkan pemilihan
umum memiliki arti penting di dalam konstelasi politik saat itu. Dari pemilihan
umum tersebut muncul empat partai yang memiliki jumlah suara terbanyak, yaitu
Masyumi, PNI, PKI, dan NU (memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 dan
menjadi partai politik sendiri)
Dalam kurun waktu ini terdapat
situasi konflik politik, yaitu diantara partai-partai politik itu sendiri. Hal
ini ditimbulkan salah satunya karena faktor ideologis yang berbeda diantara
mereka. Selain itu terdapat konflik antara politisi sipil dengan tentara dan
konflik di tubuh tentara itu sendiri. Para politisi sipil beranggapan bahwa
menentukan urusan militer adalah urusan mereka sedangkan golongan tentara
beranggapan hal tersebut adalah kondisi internalnya sendiri. Akibat hal ini
maka struktur sosial dan politik negara mulai hancur. Akibatnya krisis yang
berlarut-larut di dalam tubuh militer menyebabkan runtuhnya sistem politik
parlementer. Karena partai-partai politik semakin terpolarisasi dalam pembagian
Jawa (PNI, PKI, NU) dan luar Jawa (Masyumi) serta birokrasi tidak begitu
efektif, maka tentara mulai memegang peranan. Akan tetapi, dengan adanya
perpecahan di dalam internal tentara itu sendiri maka keadaan negara makin
kacau. Sedangkan di tingkat atas, kurun waktu ini ditandai dengan fenomena
perpecahan antara Sukarno dan Hatta mengenai partai-partai politik yang lebih
mendasarkan diri pada kepentingan pribadi yang sempit. Untuk hal ini, Hatta
lebih suka memperbaiki partai-partai politik, sedangkan Sukarno ingin
membebaskan diri dari partai-partai politik sama sekali. Fenomena lain dalam
situasi sosial politik kurun waktu ini adalah meningkatnya aktivitas dan
peranan PKI dalam konstelasi politik. PKI mengalami kemajuan yang pesat yang
ditandai dengan meningkatnya massa pengikutnya serta kedekatannya dengan
Sukarno.
Adanya situasi yang kacau di bidang
politik serta gagalnya sistem parlementer dalam menyusun suatu pemerintahan
yang berwibawa menyebabkan Sukarno mencetuskan idenya tentang “demokrasi
Terpimpin” di tengah-tengah krisis pada tahun 1957. Ini merupakan suatu sistem
yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis. Demokrasi terpimpin didominasi
oleh kepribadian Sukarno, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambil bersama-sama
dengan pimpinan angkatan bersenjata.
Pada tahun-tahun ini partai-partai
politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling bermusuhan satu sama
lain terlalu berat bagi mereka untuk bekerja sama dalam mempertahankan sistem
parlementer. Para politisi Jakarta, baik sipil maupun militer, kini mengalihkan
perhatian pada soal bagaimana caranya menyelesaikan peralihan ke demokrasi
terpimpin. Pada akhir kurun waktu 1959 fenomena penting yang muncul adalah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli. Dengan keluarnya dekrit ini maka apa
yang disebut dengan “demokrasi terpimpin” mulai dijalankan sepenuhnya. Hal ini
menimbulkan pergeseran kekuatan dalam konstelasi politik, yang sebelumnya
berada para poros pemerintah-partai-partai politik besar-militer, setelah
keluarnya dekrit presiden poros kekuatan berubah menjadi Sukarno-PKI-Militer.
No comments:
Post a Comment