Ø Posisi Sejarah
Dalam Dunia Ilmu
1.
Ilmu
Nomotetis/Eksakta
Sejarah mempunyai cara
sendiri dalam pekerjaannya. Orang sering membedakan antara ilmu-ilmu alam
dengan dengan ilmu-ilmu manusia. Ilmu-ilmu alam bertujuan menemukan hukum-hukum
umum, atau bersifat nomotetis. Istilah nomotetis
berasal dari bahasa Yunani Nomo dan Tithenai. Nomo berarti hukum, dan tithenai
berarti mendirikan.
Dalam ilmu alam, hukum-hukum
berlaku secara tetap, tidak pandang orang, tempat, waktu, dan suasana. Kalau
ada hukum bahwa benda akan memuai, maka semua benda akan memuai tanpa peduli
siapa, di mana, kapan, dan dalam keadaan apapun.
Sejarah
sangat tergantung pada pengalaman manusia. Pengalaman itu direkam dalam
dokumen. Dokumen-dokumen itulah yang diteliti untuk menentukan fakta.
Fakta-fakta itulah yang diinterpretasi. Dari interpretasi atas fakta-fakta
barulah muncul tulisan sejarah.
Jadi,
meskipun ada perbedaan mendasar dengan ilmu alam, sejarah juga memiliki
persamaan, yaitu sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan, dan penyerapan.
Akan tetapi, dalam ilmu-ilmu alam percobaan itu dapat diulang-ulang. Sementara
itu sejarah tidak bisa mengulangi percobaan. Contohnya, revolusi Indonesia
tidak dapat diulang kembali, sekali terkadi, sudah itu lenyap ditelan masa
lampau. Sejarah hanya meninggalkan sumber/dokumen. Beda lain ialah kalau fakta
sejarah itu adalah fakta manusia, sedangkan dalam ilmu-ilmu alam adalah fakta
alam.
Perbedaan-perbedaan
itu tentu saja membawa konsekuensi tersendiri bagi sejarah. Sejarah sering
disebut tidak ilmiah karena bukan termasuk ilmu-ilmu alam. Perbedaan antara
sejarah dan ilmu-ilmu nomotetis tidak terletak pada cara kerja, tetapi pada
objek. Ilmu-ilmu alam yang mengamati benda-benda tentu saja berbeda dengan
sejarah yang mengamati manusia. Beda antara ilmu-ilmu alam dan sejarah seperti
perbedaan antara benda dan manusia. Benda-benda itu mati, sedangkan manusia itu
hidup. Benda mati tidak berpikir, sedangkan manusia itu berpikir dan
berkesadaran. Dapat dimengerti kalau ilmu-ilmu alam menghasilkan hukum alam
yang berlaku umum dan pasti, sedangkan sejarah menghasilkan generalisasi yang
tidak sepasti ilmu-ilmu alam. Kesimpulannya, sejarah bukan termasuk ilmu
nomotetis (ilmu-ilmu alam).
2.
Ilmu
Ideografis/Humaniora
Sejarah sering
dimasukkan dalam ilmu-ilmu manusia atau human
studies, yang dalam perjalanan waktu dipecah ke dalam ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan ilmu kemanusiaan (humanities). Sejarah itu bercerita
tentang manusia. Akan tetapi, juga bukan cerita tentang manusia masa lalu
secara keseluruhan. Objek utama sejarah adalah manusia. Akan tetapi,sama-sama
membicarakan tentang manusia, kajian sejarah berbeda dengan misalnya
antropologi. Sejarah identik dengan peradaban manusia. Lebih dari segalanya,
yang juga menjadi objek dari sejarah ialah waktu. Jadi, sejarah mempunyai objek
sendiri yang tidak dimiliki ilmu lain secara khusus. Waktu dalam pandangan
sejarah manusia tak pernah lepas dari manusia.
Oleh
karena itu sejarah berusaha menuliskan hal-hal yang khas
atau bersifat idiografis.
Istilah idiografis berasal dari
bahasa Yunani idio dan graphein. Idio berarti ciri-ciri
seseorang dan graphein berarti
menulis. Sering juga disebut ideografis (bahasa Yunani idea berarti pikiran dan graphein,
sebab sejarah ialah ilmu yang menuliskan pikiran pelaku). Kesimpulannya,
sejarah bisa masuk ilmu humaniora karena objeknya adalah manusia. Sejarah
membicarakan manusia/masyarakat dengan selalu memperhatikan signifikansi ruang
dan waktu.
3.
Ilmu
Sosial/Tingkah laku
Sejarah dan ilmu-ilmu
sosial mempunyai hubungan timbal balik. Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu
sosial, dan sebaliknya. Belajar sejarah tidak dapat dilepaskan dari belajar
ilmu-ilmu sosial, meskipun sejarah punya cara sendiri menghadapi objeknya.
Topik-topik baru terpikirkan, berkat ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian,
sejarah dan ilmu-ilmu sosial berbeda tujuannya. Tujuan sejarah ialah
mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, ideografis dan sekali terjadi.
Sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajek, dan merupakan pola.
Pendekatan sejarah juga berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Sejarah itu diakronis,
memanjang dalam waktu. Sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam
ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmu-ilmu sosial menekankan
struktur.
Sejarah
pada mulanya sangatlah naratif, yang hanya tersusun berdasarkan urutan fakta
dengan penjelasan dan ulasan sekedarnya atas kenyataan-kenyataan atau
peristiwa-peristiwa yang telah berlalu (aspek what, who, when, dan where). Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan,
sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu menunjukkan posisinya yang sejajar dengan
disiplin-disiplin lain bagi kehidupan manusia masa kini dan mendatang.
Kecenderungan ini akan semakin nyata apabila sejarah bukan hanya sebatas kisah
biasa, melainkan di dalamnya terkandung eksplanasi kritis dan kedalaman
pengetahuan tentang “bagaimana (how)”
dan “mengapa (why)”
peristiwa-peristiwa masa lampau terjadi. Terdorong oleh kecenderungan
metodologis ini, maka dalam prakteknya sejarah harus menggunakan pendekatan dan
konsep-konsep serta teori-teori ilmu sosial yang lebih strategis dalam
merekonstruksi masa lampau. Penggabungan ini dapat menggambarkan kejadian
sebagai proses sekaligus mengungkapkan aspek struktural atas kejadian-kejadian.
Ø Fungsi Sejarah
1.
Fungsi
Genealogis
Menurut
T. Ibrahim Alfian, sejarah memiliki beberapa kegunaan. Salah satunya untuk
melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok itu guna
kelangsungan hidup. Di dalam karya-karya sejarah tradisional seperti babad, dan
hikayat yang berisi mitos, legenda dan cerita pahlawan juga terdapat genealogi.
Genealogi memuat silsilah seseorang atau suatu kelompok mansayarakat tertentu.
Dengan
genealogi dapat diketahui nenek moyang seseorang atau suatu kelompok masyarakat.
Seseorang atau kelompok akan merasa bangga apabila dirinya merupakan keturunan
dari orang yang memiliki pengaruh, nama besar, jasa dalam sejarah. Orang Bugis
sangat bangga dengan Arung Palaka yang pemberani. Dari hal ini muncul siri pesse atau semangat untuk
mempertahankan harga diri pada masyarakat Bugis.
Dalam Babad
Tanah Jawi, Raja-raja Mataram dalam genealoginya sampai kepada para nabi di
satu pihak dan legenda pewayangan di pihak lain. Di dalamnya, digambarkan bahwa
silsilah raja-raja Jawa sampai kepada para nabi seperti Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa, dan seterusnya, melalui tokoh timur tengah Iskandar Zulkarnain,
tokoh-tokoh wayang purwa, raja-raja mistis di Jawa dan akhirnya bersambung
sampai raja-raja Mataram. Genealogi ini juga dapat memperkuat legitimasi suatu
kekuasaan.
2.
Fungsi
Didaktis
Sejarah dapat digunakan
sebagai pendidikan politik. Hal ini dapat diihat dalam lika-liku sejarah
Indonesia. Setiap pemerintah selalu melakukan pendidikan sejarah dan
kewarganegaraan untuk warganya. Pada zaman Jepang dengan maksud untuk
memobilisasikan penduduk, bahkan para penghulu yang sehari-harinya hanya
mengurus soal nikah, talak, dan rujuk diharuskan untuk mengikuti latihan. Baru
pertama kali itulah para penghulu , yang kebanyakan terdiri dari para kiai, mendapat pendidikan politik secara
resmi.
Pada zaman Orde Lama
(Orla) ada indoktrinasi. Indoktrinasi itu dilakukan pada organisasi dan melalui
sekolah-sekolah. Tujuan dari pendidikan politik ialah dukungan atas politik
kekuasaan dengan mendorong perbuatan-perbuatan revolusioner dan menyingkirkan
kaum kontra revolusi. Pada zaman Orde Baru (Orba) kita mengenal
penataran-penataran, tetapi dengan tujuan lain, yaitu untuk pembangunan. Tentu
saja tujuan, intensitas, dan materi berbeda-beda, tetapi itu semua dapat dimasukkan
dalam pendidikan politik. Pendidikan semacam itu dipakai untuk mengenalkan
ideologi negara serta hak dan kewajiban warga negara.
3.
Fungsi
Kajian Ilmu
Peristiwa
sejarah itu mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan
dialami oleh manusia. Karena itu, lapangan sejarah meliputi segala pengalaman
manusia yang mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa, kapan, di mana, dan
bagaimana sesuatu telah terjadi. Faktor manusia dalam perspektif sejarah
sangatlah esensial, karena berdasarkan kesadarannya manusia memiliki nilai
historisitas, yaitu selalu berkembang dalam rangka merealisasikan dirinya
secara konkret.
Oleh
karena itu, peristiwa-peristiwa manusia sebagai kenyataan diri bersifat
simbolis dan mengandung makna. Peristiwa sejarah bukan hanya kejadian fisik,
melainkan peristiwa bermakna yang terpantul sepanjang waktu sehingga dapat
terungkap segi-segi pertumbuhan, kejayaan, dan keruntuhannya. Hal ini menjadi
kajian sejarah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejarah adalah sebuah
ilmu yang berusaha menemukan, mengungkapkan serta memahami nilai dan makna
budaya yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa masa lampau.
Tidak semua peristiwa masuk dalam
kajian sejarah. Hal ini disebabkan sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang
mempunyai makna sosial. Sejarah sebagai ilmu berusaha menentukan pengetahuan
tentang masa lampau suatu masyarakat tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kartodirdjo,
Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo.1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Musyarof, Ibtihadj. 2006. Islam Jawa. Yogyakarta: Tugu.
No comments:
Post a Comment