History

History
"History Make Me Happy"

Sunday 6 January 2013

Makna motif batik ditinjau dari perspektif sosial-budaya

A.      Latar Belakang
Batik merupakan salah satu produk budaya bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, batik mengalami perkembangan corak, teknik, proses, dan fungsi akibat perjalanan masa dan sentuhan berbagai budaya lain. Batik dibangun dengan pandangan dasar artistik yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Kekayaan ragam hias sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah, terutama sejak masa prasejarah yang kemudian ditambah dengan bentuk ragam hias paduan budaya Cina dan India. Hal ini merupakan variasi yang sangat menarik karena memadukan berbagai budaya antar bangsa (Handoyo, 2008: 3).
Dalam sejarah pembatikan, aktivitas membatik telah mengalami pertumbuhan dengan berbagai corak orientasinya. Pertama, batik sebagai kegiatan sambilan wong cilik. Ke dua, batik sebagai mata dagangan. Ke tiga, batik sebagai kegiatan tradisi dari kalangan bangsawan. Ke empat, batik sebagai usaha dagang sebagian orang Cina dan Belanda-Indo, Ke lima, batik sebagai kebutuhan seni atau desain dengan konsep kontemporer (Hasanudin, 2001). Batik sebagai mata dagangan mempunyai pemakai dalam jumlah banyak dan mencakup wilayah pasar yang luas. Dalam hal ini juga dikenal batik klasik, yaitu batik yang dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh kalangan bangsawan keraton Yogyakarta dan Surakarta. Batik klasik atau batik keraton dibuat untuk mewujudkan nilai-nilai budaya Jawa.
Dalam budaya Jawa, khususnya di lingkungan keraton, terdapat ketentuan-ketentuan yang menyangkut keluarga raja dan pejabat keraton dalam bertindak, berbicara dan berpakaian agar sesuai dengan aturan keraton. Keraton memandang perlu membuat aturan supaya kedudukan raja tetap kuat dan mutlak. Dampak aturan itu membangkitkan feodalisme, dan feodalisme sendiri adalah sikap mental yang memperlakukan secara khusus orang-orang tertentu karena usia atau kedudukannya. Dari kerajaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitar abad 17, 18 dan 19, batik berkembang luas khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekedar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Tujuan orang Jawa membatik terutama adalah untuk keperluan sendiri, namun perkembangan selanjutnya dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Veldhuisen, 2007: 12).
Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Hardjonagoro mengatakan bahwa batik merupakan kreasi yang memiliki kharisma sangat kuat dan berakar pada proses meditasi dan filsafat tradisional, dia juga menambahkan bahwa di Jawa khususnya, tidak diragukan lagi filosofi yang terkandung pada desain batik berasal dari gaya hidup agraris yang berpusat pada konsep-konsep mengenai kesuburan, konsep sangkan paran (asal mulaning dumadi), dan konsep manunggaling Kawula Gusti (Achjadi, 1999: 65).

B. Ragam dan Makna Motif Batik
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik". Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta (Veldhuisen, 2007).
Ragam motif dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam motif dan warna yang terbatas, dan beberapa motif hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga memopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Batik mempunyai peranan penting bagi masyarakat Jawa tempo dulu bahkan masih berlaku hingga saat ini. Buktinya, dalam upacara-upacara tradisional, motif batik dalam wujud kain jarit sangat berperanan, misalnya dalam upacara mitoni atau tingkeban dan upacara pernikahan. Seringkali dalam upacara pernikahan tradisi Jawa, orang tua pengantin tidak boleh sembarangan memakai jenis motif batik, kecuali motif truntum. Harapannya agar pelaksanaan pernikahan berjalan lancar, orang tua mendapat nama harum sesuai dengan motif truntum yang mengambil konsep bunga tanjung yang wangi baunya. Masing-masing motif kain batik yang biasanya digunakan seperti di bawah ini:

1. Motif Udan Riris.
Gambar 1. Motif Udan riris
Mengandung makna ketabahan dan harus tahan menjalani hidup prihatin biarpun dilanda hujan dan panas. Demikianlah bagi orang hidup berumah tangga, apalagi bagi pengantin baru, harus berani dan mau hidup prihatin ketika banyak halangan dan cobaan, ibaratnya tertimpa hujan dan panas, tidak boleh mudah mengeluh. Segala halangan dan rintangan itu harus bisa dihadapi dan diselesaikan bersama-sama. Suami atau istri merupakan bagian hidup di dalam rumah tangga. Jika salah satu menghadapi masalah maka pasangannya harus ikut membantu menyelesaikan, bukan sebaliknya justru menambahi masalah. Misalkan, apabila suami sedang mendapat cobaan tergoda oleh wanita lain, maka sang istri harus bisa bijak mencari solusi dan mencari permasalahan. Begitu pula sebaliknya jika sang istri mendapat godaan dari pria lain, tentu suami harus bersikap arif tanpa harus menaruh curiga yang berlebihan sebelum ditemukan bukti.
2. Motif Parangkusuma.
Gambar 2. Motif Parangkusuma
Konon, Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
Motif ini biasanya dipakai pada saat acara tukar cincin. Filosofi dari kusumo yang artinya bunga, maka pemakainya diharapkan akan terlihat indah. Mengandung makna hidup harus dilandasi oleh perjuangan untuk mencari keharuman lahir dan batin, ibaratnya keharuman bunga (kusuma). Demikianlah, bagi orang Jawa, hidup di masyarakat yang paling utama dicari adalah keharuman pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Walaupun sulit untuk direalisasikan, namun umumnya orang Jawa berharap bisa menemukan hidup yang sempurna lahir batin. Apalagi di zaman yang serba terbuka sekarang ini, sungguh sulit untuk mencapai ke tingkat hidup seperti yang diharapkan, karena banyak godaan. Di zaman materialistis ini, orang lebih cenderung mencari nama harum dengan cara membeli dengan uang yang dimiliki, bukan dari tingkah laku dan pribadi yang baik.




3. Motif Parikesit.
Gambar 3. Motif Parikesit
Mengandung makna bahwa untuk mencari keutamaan harus dilandasi dengan usaha keras dan gesit. Tentu usaha keras dan gesit itu tanpa harus meninggalkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bukan sebaliknya usaha keras dan gesit dengan cara kotor, pasti akan sangat dihindari. Sebab dampak yang ditimbulkan akan sangat berat dan yang jelas pasti akan menjadi bumerang bagi diri-sendiri. Dengan usaha keras dan gesit itulah diharapkan bisa membangun keluarga inti yang sejahtera lahir dan batin.
4. Motif Kawung.
Gambar 4. Motif Kawung
Mengandung makna bahwa keinginan dan usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil, seperti rejekinya berlipat ganda. Sudah hukum karma, bahwa orang yang bekerja keras pasti akan menuai hasil, walaupun kadang harus memakan waktu yang lama. Misalnya, seorang petani yang bekerja giat di sawah, jika tidak ada hama yang mengganggu, tentu dia akan memanen hasil padi yang berlipat di kemudian hari. Namun sayang, budaya kerja keras untuk menuai hasil maksimal tidak dilakukan oleh semua orang. Apalagi di zaman sekarang, di mana inginnya serba instan, orang ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras. Ingin cepat kaya dengan cara korupsi, merampok, menipu, dan segala tindakan cela lainnya. Kebiasaan untuk bekerja keras untuk menuai hasil yang maksimal sudah sering diajarkan oleh nenek moyang kita orang Jawa sejak dulu. Kerja keras untuk menghasilkan rejeki berlipat akan lebih bermakna jika dibarengi dengan sikap hemat, teliti, cermat, dan tidak boros.
5. Motif Truntum.
Gambar 5. Motif Truntum
Makna dari motif ini adalah menuntun kedua mempelai dalam memasuki liku-liku kehidupan batu berumah tangga. Motif ini biasanya dipakai oleh orang tua pengantin. Menurut kisahnya, motif ini diciptakan oleh seorang ratu keraton yogyakarta. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan. Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
 Untuk mengisi waktu dan menghilangkan kesedihan, ratu-pun mulai membatik. secara tidak sadar, ratu membuat motif berbentuk bintang-bintang di langit kelam, yang selama ini menemaninya dalam kesendirian. Ketekunan ratu dalam membatik menarik perhatian raja yang kemudian mulai mendekati ratu untuk melihat pembatikannya. Sejak saat itu raja selalu memperhatikan perkembangan sang ratu, dan sedikit demi sedikit kasih sayang raja terhadap ratu tumbuh kembali. berkat motif ini cinta raja bersemi kembali atau tum-tum kembali.
Kain batik truntum mempunyai motif gurda dan motif truntum itu sendiri. Motif truntum sebenarnya termasuk jenis semen, karena arti truntum itu berarti juga bersemi atau tumbuh. Selain itu ada hubungannya dengan kata tumruntum, yang berarti berturut-turut dan merata. Motif truntum ini bentuknya terdiri dari segi tiga runcing berjumlah delapan, dan terdapat bulatan di tengahnya sehingga menyerupai bunga-bunga kecil. Adapun maksud yang terkandung dari kain batik ini secara keseluruhan adalah, agar adik-adik si calon pengantin nantinya dapat mengikuti jejak kakaknya berumah tangga, dan dapat dilakukan dengan selamat sebagaimana kakaknya terdahulu.
Di samping itu, dengan menggunakan kain batik ini bermakna agar kedua pengantin bisa terus rukun, segera mempunyai keturunan serta mendapat banyak rejeki, dan selamat dalam berumah tangga. Juga mengandung makna tumbuh dan berkembang. Demikianlah, orang Jawa selalu mendambakan bagi setiap keluarga baru supaya segera mempunyai keturunan yang akan dapat menggantikan generasi sebelumnya. Generasi baru itulah yang akan menjadi tumpuan setiap keluarga baru yang baru menikah untuk meneruskan segala harapan dan cita-cita keluarga sekaligus sebagai generasi penerus secara biologis yang mewarisi sifat-sifat keturunan dari sebuah keluarga baru. Harapan itu selalu muncul saat keluarga baru terbentuk. Ungkapan-ungkapan seperti segera mendapatkan keturunan yang solih dan solihah, berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, dan negara sering terdengar saat ada upacara pernikahan. Sebab memang dari keluarga baru itulah diharapkan akan berkembang keluarga-keluarga baru lainnya.
6. Motif Sidoluhur.
Gambar 6. Motif Sidoluhur

Menurut mitos, Motif sidoluhur diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Selo. Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak. Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Motif ini mengandung makna keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup memang untuk mencari keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat, maupun profesinya. Keluhuran materi yang diperoleh dengan cara yang benar, halal, dan sah tanpa melakukan kecurangan atau perbuatan yang tercela seperti korupsi, merampok, mencuri, dan sebagainya. Sebab walaupun secara materi merasa cukup atau bahkan berlebihan, namun jika harta materi itu diperoleh secara tidak benar, tidak halal, itu tidak bisa dikatakan bisa mencapai keluhuran secara materi. Keluhuran materi akan lebih bermakna lagi apabila harta yang dimiliki itu bermanfaat bagi orang lain dan bisa diberikan dalam berbagai bentuk seperti sumbangan, donasi, hibah, dan sebagainya. Sementara keluhuran budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang yang bisa dipercaya oleh orang lain, atau perkataannya sangat bermanfaat kepada orang lain tentu itu akan lebih baik daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang lain dan tidak dipercaya orang lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang lain adalah suatu bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran.
7. Motif Sidamukti.
Gambar 7. Motif Sidomukti
Biasanya motif ini dipakai pada acara perkawinan oleh pengantin pria dan wanita. Arti sido-mukti : sido berarti terus menerus atau menjadi, mukti berarti hidup dalam berkecukupan dan kebahagiaan. Di dalam kain batik sidomukti ini juga terdiri dari beberapa motif, diantaranya yang terpenting dan yang utama adalah motif ukel (bentuknya seperti huruf koma), semakin kecil ukelnya maka semakin tinggi mutu seninya. Selain itu, kain ini dihias dengan kotak-kotak yang bergambar kupu-kupu dan semacam kereta pengantin yang ditandu dengan bahu. Mengandung makna kemakmuran. Demikianlah bagi orang Jawa, hidup yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan, dan tindakan, tentu agar hidup akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur baik di dunia maupun di akhirat. Orang hidup di dunia adalah mencari kemakmuran dan ketentraman lahir dan batin. Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman itu niscaya akan tercapai jika tanpa usaha dan kerja keras, keluhuran budi, ucapan, dan tindakan. Namun untuk mencapai itu semua tentu tidaklah mudah. Setiap orang harus bisa mengendalikan hawa nafsu, mengurangi kesenangan, menggunjing tetangga, berbuat baik tanpa merugikan orang lain, dan sebagainya, agar dirinya merasa makmur lahir batin. Kehidupan untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin itulah yang juga menjadi salah satu dambaan masyarakat Jawa dan tentu juga secara universal.
8. Motif Megamendung
Gambar 8. Motif Megamendung
Motif Megamendung yang digunakan oleh masyarakat Cirebon (Jawa Barat) sebagai motif dasar batik sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia pecinta batik, begitupula bagi masyarakat pecinta batik di luar negeri. Sejarah timbulnya motif Megamendung yang diadopsi oleh masyarakat Cirebon yang diambil dari berbagai macam buku dan literatur selalu mengarah pada sejarah kedatangan bangsa China yang datang ke wilayah Cirebon. Tercatat dengan jelas dalam sejarah bahwa Sunan Gunungjati menikahi Ratu Ong Tien dari negeri China. Beberapa benda seni yang dibawa dari negeri China diantaranya adalah keramik, piring, kain yang berhiasan bentuk awan. Bentuk awan dalam beragam budaya melambangkan dunia atas bilamana diambil dari faham Taoisme. Bentuk awan merupakan gambaran dunia luas, bebas dan mempunyai makna transidental (Ketuhanan). Konsep mengenai awan ini juga berpengaruh pada dunia kesenirupaan Islam pada abad 16 yang digunakan oleh kaum Sufi untuk ungkapan dunia besar atau alam bebas (Kudiya, 2009).
Pada bentuk Megamendung dapat dilihat garis lengkung yang beraturan secara teratur dari bentuk garis lengkung yang paling dalam (mengecil) kemudian melebar keluar (membesar) menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Bisa dikatakan bahwa garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun) kemudian berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar/menjalani kehidupan sosial agama) dan pada akhirnya membawa dirinya memasuki dunia baru menuju kembali kedalam penyatuan diri setelah melalui pasang surut (naik dan turun) pada akhirnya kembali ke asalnya (sunnatullah). Sehingga bisa kita lihat bentuk megamendung selalu terbentuk dari lengkungan kecil yang bergerak membesar terus keluar dan pada akhirnya harus kembali lagi menjadi putaran kecil namun tidak boleh terputus. Terlepas dari makna filosofi bahwa Megamendung melambangkan kehidupan manusia secara utuh sehinga bentuknya harus menyatu. Dilihat dari sisi produksi memang mengharuskan kalau bentuk garis lengkung megamendung harus bertemu pada satu titik lengkung berikutnya agar pada saat pemberian warna pada proses yang bertahap (dari warna muda ke warna tua) bisa lebih memudahkan.
Kehidupan masyarakat Jawa banyak menggunakan simbol-simbol, termasuk pula dalam upacara daur hidup seperti mitoni. Masih banyak upacara-upacara lain yang menggunakan kain bermotif batik untuk perlengkapan upacara, seperti upacara ruwatan, upacara srah-srahan, upacara penobatan, upacara tolak bala, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi, Judi (ed.). 1999.  Batik: Spirit of Indonesia. Jakarta: Yayasan Batik.

Handoyo, Joko Dwi. 2008. Batik dan Jumputan. Sleman: PT. Macanan Jaya Cemerlang.

Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran, Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Persada.

Kudiya, Komarudin. 2009. Motif Batik Megamendung, Nilai seni dan Filosofinya, http//www.NetSains.com, diakses tanggal 18 Maret 2011.

Veldhuisen, Harmen C. 2007. Batik Belanda 1840-1940: Pengaruh Belanda pada Batik di Jawa, Sejarah, dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: Gaya Favorit Press.

No comments:

Post a Comment