A.
Latar
Belakang
Batik merupakan salah satu
produk budaya bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, batik mengalami
perkembangan corak, teknik, proses, dan fungsi akibat perjalanan masa dan
sentuhan berbagai budaya lain. Batik dibangun dengan pandangan dasar artistik
yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Kekayaan ragam hias sangat
dipengaruhi oleh perjalanan sejarah, terutama sejak masa prasejarah yang
kemudian ditambah dengan bentuk ragam hias paduan budaya Cina dan India. Hal
ini merupakan variasi yang sangat menarik karena memadukan berbagai budaya
antar bangsa (Handoyo, 2008: 3).
Dalam sejarah pembatikan,
aktivitas membatik telah mengalami pertumbuhan dengan berbagai corak
orientasinya. Pertama, batik sebagai kegiatan sambilan wong cilik. Ke
dua, batik sebagai mata dagangan. Ke tiga, batik sebagai kegiatan
tradisi dari kalangan bangsawan. Ke empat, batik sebagai usaha dagang
sebagian orang Cina dan Belanda-Indo, Ke lima, batik sebagai kebutuhan
seni atau desain dengan konsep kontemporer (Hasanudin, 2001). Batik sebagai
mata dagangan mempunyai pemakai dalam jumlah banyak dan mencakup wilayah pasar
yang luas. Dalam hal ini juga dikenal batik klasik, yaitu batik yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh kalangan bangsawan
keraton Yogyakarta dan Surakarta. Batik klasik atau batik keraton dibuat untuk
mewujudkan nilai-nilai budaya Jawa.
Dalam budaya Jawa, khususnya di
lingkungan keraton, terdapat ketentuan-ketentuan yang menyangkut keluarga raja
dan pejabat keraton dalam bertindak, berbicara dan berpakaian agar sesuai
dengan aturan keraton. Keraton memandang perlu membuat aturan supaya kedudukan
raja tetap kuat dan mutlak. Dampak aturan itu membangkitkan feodalisme, dan feodalisme
sendiri adalah sikap mental yang memperlakukan secara khusus orang-orang
tertentu karena usia atau kedudukannya. Dari kerajaan-kerajaan di Solo dan
Yogyakarta sekitar abad 17, 18 dan 19, batik berkembang luas khususnya di
wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekedar hobi dari para keluarga raja di
dalam berhias lewat pakaian. Tujuan orang Jawa membatik terutama adalah untuk
keperluan sendiri, namun perkembangan selanjutnya dikembangkan menjadi komoditi
perdagangan (Veldhuisen, 2007: 12).
Kanjeng Raden Haryo Tumenggung
Hardjonagoro mengatakan bahwa batik merupakan kreasi yang memiliki kharisma
sangat kuat dan berakar pada proses meditasi dan filsafat tradisional, dia juga
menambahkan bahwa di Jawa khususnya, tidak diragukan lagi filosofi yang terkandung
pada desain batik berasal dari gaya hidup agraris yang berpusat pada
konsep-konsep mengenai kesuburan, konsep sangkan paran (asal mulaning
dumadi), dan konsep manunggaling Kawula Gusti (Achjadi, 1999: 65).
B. Ragam dan Makna Motif Batik
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan
telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Kata
"batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa:
"amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang
bermakna "titik". Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan
keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa
lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai
ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke
dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik
pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak
"Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik
adalah lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun
temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik
keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan
sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta
dan Surakarta
(Veldhuisen, 2007).
Ragam motif dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai
pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam motif dan warna yang terbatas,
dan beberapa motif hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik
pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga
pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh
Tionghoa, yang juga memopulerkan
corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik,
dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti
bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta
kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik
tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam
upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan
masing-masing.
Batik mempunyai peranan penting bagi masyarakat Jawa
tempo dulu bahkan masih berlaku hingga saat ini. Buktinya, dalam
upacara-upacara tradisional, motif
batik dalam wujud kain jarit sangat berperanan, misalnya dalam upacara
mitoni atau tingkeban dan upacara pernikahan. Seringkali dalam upacara
pernikahan tradisi Jawa, orang tua pengantin tidak boleh sembarangan memakai
jenis motif batik, kecuali motif truntum. Harapannya agar
pelaksanaan pernikahan berjalan lancar, orang tua mendapat nama harum sesuai
dengan motif truntum yang
mengambil konsep bunga tanjung yang wangi baunya. Masing-masing motif kain batik yang biasanya digunakan
seperti di bawah ini:
1. Motif Udan Riris.
Gambar 1. Motif Udan riris
Mengandung
makna ketabahan dan harus tahan menjalani hidup prihatin biarpun dilanda hujan
dan panas. Demikianlah bagi orang hidup berumah tangga, apalagi bagi pengantin
baru, harus berani dan mau hidup prihatin ketika banyak halangan dan cobaan,
ibaratnya tertimpa hujan dan panas, tidak boleh mudah mengeluh. Segala halangan
dan rintangan itu harus bisa dihadapi dan diselesaikan bersama-sama. Suami atau
istri merupakan bagian hidup di dalam rumah tangga. Jika salah satu menghadapi
masalah maka pasangannya harus ikut membantu menyelesaikan, bukan sebaliknya
justru menambahi masalah. Misalkan, apabila suami sedang mendapat cobaan
tergoda oleh wanita lain, maka sang istri harus bisa bijak mencari solusi dan
mencari permasalahan. Begitu pula sebaliknya jika sang istri mendapat godaan
dari pria lain, tentu suami harus bersikap arif tanpa harus menaruh curiga yang
berlebihan sebelum ditemukan bukti.
2. Motif Parangkusuma.
Gambar 2. Motif Parangkusuma
Konon, Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J)
dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia
melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu
kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam
pandangan Panembahan sangat khas khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi
Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif
tersebut.
Motif ini biasanya dipakai pada saat acara tukar cincin.
Filosofi dari kusumo yang artinya bunga, maka pemakainya diharapkan akan
terlihat indah. Mengandung makna hidup harus dilandasi oleh perjuangan untuk mencari
keharuman lahir dan batin, ibaratnya keharuman bunga (kusuma). Demikianlah,
bagi orang Jawa, hidup di masyarakat yang paling utama dicari adalah keharuman
pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar
dapat terhindar dari bencana lahir dan batin. Walaupun sulit untuk
direalisasikan, namun umumnya orang Jawa berharap bisa menemukan hidup yang
sempurna lahir batin. Apalagi di zaman yang serba terbuka sekarang ini, sungguh
sulit untuk mencapai ke tingkat hidup seperti yang diharapkan, karena banyak
godaan. Di zaman materialistis ini, orang lebih cenderung mencari nama harum
dengan cara membeli dengan uang yang dimiliki, bukan dari tingkah laku dan
pribadi yang baik.
3. Motif Parikesit.
Gambar 3. Motif Parikesit
Mengandung
makna bahwa untuk mencari keutamaan harus dilandasi dengan usaha keras dan
gesit. Tentu usaha keras dan gesit itu tanpa harus meninggalkan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Bukan sebaliknya usaha keras dan gesit dengan cara
kotor, pasti akan sangat dihindari. Sebab dampak yang ditimbulkan akan sangat
berat dan yang jelas pasti akan menjadi bumerang bagi diri-sendiri. Dengan
usaha keras dan gesit itulah diharapkan bisa membangun keluarga inti yang
sejahtera lahir dan batin.
4. Motif Kawung.
Gambar 4. Motif Kawung
Mengandung
makna bahwa keinginan dan usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil,
seperti rejekinya berlipat ganda. Sudah hukum karma, bahwa orang yang bekerja
keras pasti akan menuai hasil, walaupun kadang harus memakan waktu yang lama.
Misalnya, seorang petani yang bekerja giat di sawah, jika tidak ada hama yang
mengganggu, tentu dia akan memanen hasil padi yang berlipat di kemudian hari.
Namun sayang, budaya kerja keras untuk menuai hasil maksimal tidak dilakukan
oleh semua orang. Apalagi di zaman sekarang, di mana inginnya serba instan,
orang ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras. Ingin cepat kaya dengan cara
korupsi, merampok, menipu, dan segala tindakan cela lainnya. Kebiasaan untuk
bekerja keras untuk menuai hasil yang maksimal sudah sering diajarkan oleh
nenek moyang kita orang Jawa sejak dulu. Kerja keras untuk menghasilkan rejeki
berlipat akan lebih bermakna jika dibarengi dengan sikap hemat, teliti, cermat,
dan tidak boros.
5. Motif Truntum.
Gambar
5. Motif Truntum
Makna dari motif ini adalah menuntun kedua mempelai dalam
memasuki liku-liku kehidupan batu berumah tangga. Motif ini biasanya dipakai
oleh orang tua pengantin. Menurut kisahnya, motif ini diciptakan oleh seorang
ratu keraton yogyakarta. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh
Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini
adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus
garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan. Persoalan status ini menjadikan Kanjeng
Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status
yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua
itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar
malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Untuk mengisi
waktu dan menghilangkan kesedihan, ratu-pun mulai membatik. secara tidak sadar,
ratu membuat motif berbentuk bintang-bintang di langit kelam, yang selama ini
menemaninya dalam kesendirian. Ketekunan ratu dalam membatik menarik perhatian raja
yang kemudian mulai mendekati ratu untuk melihat pembatikannya. Sejak saat itu
raja selalu memperhatikan perkembangan sang ratu, dan sedikit demi sedikit
kasih sayang raja terhadap ratu tumbuh kembali. berkat motif ini cinta raja
bersemi kembali atau tum-tum kembali.
Kain batik truntum mempunyai motif gurda dan
motif truntum itu sendiri. Motif truntum sebenarnya termasuk
jenis semen, karena arti truntum itu berarti juga bersemi
atau tumbuh. Selain itu ada hubungannya dengan kata tumruntum, yang
berarti berturut-turut dan merata. Motif truntum ini bentuknya terdiri
dari segi tiga runcing berjumlah delapan, dan terdapat bulatan di tengahnya
sehingga menyerupai bunga-bunga kecil. Adapun maksud yang terkandung dari kain
batik ini secara keseluruhan adalah, agar adik-adik si calon pengantin nantinya
dapat mengikuti jejak kakaknya berumah tangga, dan dapat dilakukan dengan
selamat sebagaimana kakaknya terdahulu.
Di samping itu, dengan menggunakan kain batik ini
bermakna agar kedua pengantin bisa terus rukun, segera mempunyai keturunan
serta mendapat banyak rejeki, dan selamat dalam berumah tangga. Juga mengandung makna
tumbuh dan berkembang. Demikianlah, orang Jawa selalu mendambakan bagi setiap
keluarga baru supaya segera mempunyai keturunan yang akan dapat menggantikan
generasi sebelumnya. Generasi baru itulah yang akan menjadi tumpuan setiap
keluarga baru yang baru menikah untuk meneruskan segala harapan dan cita-cita
keluarga sekaligus sebagai generasi penerus secara biologis yang mewarisi
sifat-sifat keturunan dari sebuah keluarga baru. Harapan itu selalu muncul saat
keluarga baru terbentuk. Ungkapan-ungkapan seperti segera mendapatkan keturunan
yang solih dan solihah, berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, dan negara
sering terdengar saat ada upacara pernikahan. Sebab memang dari keluarga baru
itulah diharapkan akan berkembang keluarga-keluarga baru lainnya.
6. Motif Sidoluhur.
Gambar
6. Motif Sidoluhur
Menurut mitos, Motif sidoluhur diciptakan Ki Ageng
Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu
dari Ki Selo. Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis
untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta
berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak. Menurut seorang
pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke
selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah
seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan)
nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu
dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah
secara penuh ke kain batik tersebut.
Motif
ini mengandung makna keluhuran. Bagi orang Jawa, hidup memang untuk mencari
keluhuran materi dan non materi. Keluhuran materi artinya bisa tercukupi segala
kebutuhan ragawi dengan bekerja keras sesuai dengan jabatan, pangkat, derajat,
maupun profesinya. Keluhuran materi yang diperoleh dengan cara yang benar,
halal, dan sah tanpa melakukan kecurangan atau perbuatan yang tercela seperti
korupsi, merampok, mencuri, dan sebagainya. Sebab walaupun secara materi merasa
cukup atau bahkan berlebihan, namun jika harta materi itu diperoleh secara
tidak benar, tidak halal, itu tidak bisa dikatakan bisa mencapai keluhuran
secara materi. Keluhuran materi akan lebih bermakna lagi apabila harta yang
dimiliki itu bermanfaat bagi orang lain dan bisa diberikan dalam berbagai
bentuk seperti sumbangan, donasi, hibah, dan sebagainya. Sementara keluhuran
budi, ucapan, dan tindakan adalah bentuk keluhuran non materi. Orang yang bisa
dipercaya oleh orang lain, atau perkataannya sangat bermanfaat kepada orang
lain tentu itu akan lebih baik daripada perkataannya tidak bisa dipegang orang
lain dan tidak dipercaya orang lain. Orang yang sudah bisa dipercaya oleh orang
lain adalah suatu bentuk keluhuran non materi. Orang Jawa sangat berharap
hidupnya kelak dapat mencapai hidup yang penuh dengan nilai keluhuran.
7. Motif Sidamukti.
Gambar 7. Motif Sidomukti
Biasanya motif ini dipakai pada acara perkawinan oleh
pengantin pria dan wanita. Arti sido-mukti : sido berarti terus menerus atau
menjadi, mukti berarti hidup dalam berkecukupan dan kebahagiaan. Di dalam kain
batik sidomukti ini juga terdiri dari beberapa motif, diantaranya yang
terpenting dan yang utama adalah motif ukel (bentuknya seperti huruf
koma), semakin kecil ukelnya maka semakin tinggi mutu seninya. Selain
itu, kain ini dihias dengan kotak-kotak yang bergambar kupu-kupu dan semacam
kereta pengantin yang ditandu dengan bahu. Mengandung makna kemakmuran. Demikianlah bagi
orang Jawa, hidup yang didambakan selain keluhuran budi, ucapan, dan tindakan,
tentu agar hidup akhirnya dapat mencapai mukti atau makmur baik di dunia maupun
di akhirat. Orang hidup di dunia adalah mencari kemakmuran dan ketentraman
lahir dan batin. Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman itu niscaya akan
tercapai jika tanpa usaha dan kerja keras, keluhuran budi, ucapan, dan
tindakan. Namun untuk mencapai itu semua tentu tidaklah mudah. Setiap orang harus
bisa mengendalikan hawa nafsu, mengurangi kesenangan, menggunjing tetangga,
berbuat baik tanpa merugikan orang lain, dan sebagainya, agar dirinya merasa
makmur lahir batin. Kehidupan untuk mencapai kemakmuran lahir dan batin itulah
yang juga menjadi salah satu dambaan masyarakat Jawa dan tentu juga secara
universal.
8. Motif Megamendung
Gambar 8. Motif Megamendung
Motif Megamendung yang digunakan oleh masyarakat Cirebon
(Jawa Barat) sebagai motif dasar batik sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia pecinta batik, begitupula bagi masyarakat pecinta batik di luar
negeri. Sejarah timbulnya motif Megamendung yang diadopsi oleh masyarakat
Cirebon yang diambil dari berbagai macam buku dan literatur selalu mengarah
pada sejarah kedatangan bangsa China yang datang ke wilayah Cirebon. Tercatat
dengan jelas dalam sejarah bahwa Sunan Gunungjati menikahi Ratu Ong Tien dari
negeri China. Beberapa benda seni yang dibawa dari negeri China diantaranya
adalah keramik, piring, kain yang berhiasan bentuk awan. Bentuk awan dalam
beragam budaya melambangkan dunia atas bilamana diambil dari faham Taoisme.
Bentuk awan merupakan gambaran dunia luas, bebas dan mempunyai makna
transidental (Ketuhanan). Konsep mengenai awan ini juga berpengaruh pada dunia
kesenirupaan Islam pada abad 16 yang digunakan oleh kaum Sufi untuk ungkapan
dunia besar atau alam bebas (Kudiya, 2009).
Pada bentuk Megamendung dapat dilihat garis lengkung
yang beraturan secara teratur dari bentuk garis lengkung yang paling dalam
(mengecil) kemudian melebar keluar (membesar) menunjukkan gerak yang teratur
harmonis. Bisa dikatakan bahwa garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan
moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun) kemudian
berkembang keluar untuk mencari jati diri (belajar/menjalani kehidupan sosial
agama) dan pada akhirnya membawa dirinya memasuki dunia baru menuju kembali
kedalam penyatuan diri setelah melalui pasang surut (naik dan turun) pada
akhirnya kembali ke asalnya (sunnatullah). Sehingga bisa kita lihat bentuk megamendung
selalu terbentuk dari lengkungan kecil yang bergerak membesar terus keluar dan
pada akhirnya harus kembali lagi menjadi putaran kecil namun tidak boleh
terputus. Terlepas dari makna filosofi bahwa Megamendung melambangkan kehidupan
manusia secara utuh sehinga bentuknya harus menyatu. Dilihat dari sisi produksi
memang mengharuskan kalau bentuk garis lengkung megamendung harus bertemu pada
satu titik lengkung berikutnya agar pada saat pemberian warna pada proses yang
bertahap (dari warna muda ke warna tua) bisa lebih memudahkan.
Kehidupan
masyarakat Jawa banyak menggunakan simbol-simbol, termasuk pula dalam upacara
daur hidup seperti mitoni. Masih banyak upacara-upacara lain yang menggunakan
kain bermotif batik untuk perlengkapan upacara, seperti upacara ruwatan,
upacara srah-srahan, upacara penobatan, upacara tolak bala, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Achjadi, Judi (ed.). 1999. Batik: Spirit of Indonesia.
Jakarta: Yayasan Batik.
Handoyo, Joko Dwi. 2008. Batik dan Jumputan. Sleman: PT. Macanan Jaya Cemerlang.
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran, Melacak Pengaruh
Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Persada.
Kudiya, Komarudin. 2009. Motif Batik Megamendung, Nilai seni dan Filosofinya, http//www.NetSains.com,
diakses tanggal 18 Maret 2011.
Veldhuisen, Harmen C. 2007. Batik Belanda
1840-1940: Pengaruh Belanda pada Batik di Jawa, Sejarah, dan Kisah-kisah di
Sekitarnya. Jakarta: Gaya Favorit Press.
No comments:
Post a Comment