Transformasi
mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang
akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses
perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama
bertahap-tahap , tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang
cepat.
Proses transformasi
dianalisis oleh berbagai ahli seperti Hegel. Marx dan Weber serta
Rostow. Perbedaan mereka adalah pada penekanan dan factor yang mempengaruhi transformasi
itu. Hegel menganggap transformasi sebagai dialektika, khususnya dialektika
spiritual. Karl Marx menganggap transformasi juga sebagai dialektika, tetapi
yang menjadi factor utama transformasi itu adalah pertentangan kelas yang
berebut alat-alat produksi.
Max Weber membayangkan bahwa transformasi adalah
suatu proses perubahan yang evolusioner dan saling mempengaruhi antar unsure
dalam suatu “tipe ideal” masyarakat, jadi bersifat ahistoris-multilinear.
Sedangkan menurut Rostow, proses transforrmasi lebih kepada perubahan sosok
bentuk dri prasarana alat-alat produksi serta kosumsi masyarakat.
Berbagai ilustrasi tentang sudaut
pandang dan teori mengeni perubahan dan transformasi tersebut menunjukkan bahwa
msayarakat dan negara dibayangkan pada suatu masa, pada suatu, ketika, berubah
bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu status
transformasi. Kenyataan terebut juga menunjukian bahwa cepat atau lambat
serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat pada
suatu saat meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi
sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.
Berdasarkan hal ini, transformasi adalah kondisi
perubahan dari serat-serat budaya tersebut. Lepas dari sudat pandang yang
melihat proses perubahan dan kemujdian transformasi masyarakat, sebagai proses
historis-hirarkis-dialektis seperti yang ditunjukkan Hegel dan Marx mauppun
yang ahistoris-multilinear yang ditunjukka oleh Weber, semuanya menunjukkan
bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat atau kebudayaan beserta segala sistem
yang terkandung di dalam tubuhnya pada hakekatnya pada tahap tertentu adalah
struktur sebagai hasil dari persetujuan-persetujuan sementara, kompromi,
kesimpulan bersama sementara antara berbagai unsure yang menyangga suatu
kebudayaan.
Maka kebudayaan dalam pembicaraan ini adalah yang
mengacu kepada konsep yang melihat kebudayaan sebagai usaha atau upaya dari
masyarakat untuk menjawab tantangan yang ada pada suatu tahap perkembangan yang
dihadapkan kepadanya.
Dialog transformasi budaya juga
terjadi di Indonesia. Proses semacam ini dilakukan untuk mencoba mencari format
dan sosok budaya yang akan lebih mampu dan efektif dalam menjawab tantangan
ekonomi serta kebudayaan yang dihadakan kepadanya oleh statusnyua sebgai jajahan
Negara-negara Barat. Dalam kasus indoensia, transformasi budaya dipengaruhi
geografi, geoekonomi dan geopolitik wilayah ini.
Transformasi budaya di Indonesia menyentuh tujuh
aspek utama kebudayaan dan juga didasarkan fakta historis. Salah satu contohnya
adalah transformasi yang terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya dan dinasti
Syailendra di Jawa. Walapun pada masa itu agama Hindu-Budha berkembang luas dan
ada pengaruh dari India, tetapi transformasi budaya di dua kawasan tersebut
menunjukkan bahwa prose perubahan tersebut bukan suatu proses “indianisasi”
melainkan “indonesianisasi dari pengaruh peradaban India. Proses
Indonesianisasi atau jawanisasi terhadap pengaruh kebudayaan India rupanya
terus berlangsung hingga jaman pasca Mataram, suatu jaman yang bukan lgi di
bawah baying-bayang peradaban Hindia.
Secara historis, proses transformasi
sebagai akibat dari dialog terus menerus antara peradaban Hidia dengan
budaya-budaya Nusantara telah berlangsung sejak permulaan abad Masehi, lewat
puncak-puncak kerajaan Sriwijaya (abad ke-7), Mataram (abad ke-8), Kediri (abad
ke-11), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke-14). Sungguh suatu kurun
waktu yang panjang. Dalam kurun waktu panjang tersebut dengan semua
pasang-surut proses transformasi budaya-budaya nusantara telah berhasil
menciptakan suatu “sintesa budaya” yang berarti. Suatu tranfomasi sosok-sosok
budaya yang mencerminkan keliatan serta keluwesan budaya kita.
Ketika Islam datang dan masuk ke
dalam kawasan nusantara, terjadilah dialog antara bduaya Islam dengan budaya
yang sudah ada. Dialog peradaban Islam dengan kebudayaan nusantara, salah
staunya kebudayaan Jawa, berjalan tertatih-tatih. Apa yang disebut sebagai
budaya Jawa-Hindu sebagai hasil berbagai transformasi meliputi kurun waktu
kurang lebih 7 abad dan melewati berbagai puncak prestasi.
Transformasi kerajaan-kerajaan pasca Majapahit untuk
menjadi kerajaan Islam Jawa rupanya tidak berhasil memberkan cap Islam yang
kental pada budaya baru tersebut. Mungkin hal itu disebabkan oleh dua factor.
Pertama, lapisan sosok budaya jawa-Hindu yang terlah berbentuk berabad-abad
lamanya hingga berakar dengan kuatnya pada tubuh budaya Jawa. Kedua, dialog
budaya Jawa Islam belum sempat berkembang jauh, kolonialisme barat sudah
memulai kawasan nusantara.
Namun demikian, bagaimanapun kenyal lapisan elit
politik di Jawa dalam mencoba membangun sosok sintesa budaya baru Jawa-Islam,
pada tingkat dari masyarakat Islam telah merembes cukup jauh dan dalam.
Sedangkan di luar Jawa, seperti Aceh dan Goa (Makassar), Islam menemukan lahan
yang subur dalam berdialog dengan budaya local.
Ketika bangsa Barat (Portugis,
Belanda, Inggris) datang, terjadi benturan budaya yang cukup ekstrim. Max Weber
berpendapat bahwa memang ada ada perbedaan yang sangat mendasar antara budaya
Barat dan Timur. Cirri Barat terutama adalah rasionalitas, kegairahan untuk
berspekulasi can bereksperimen. Dengan cirri budaya yang demikian Barat
memiliki kemampuan berekspansi yang kemudian menjangkau perkembangan yang jauh.
Mungkin pendapat Weber ini dapat ikut menjelaskan tentang kekalahan nenek
moyang kita dari kekuatan Barat. Indonesia kalah dari mereka karena idiom
budaya kita kalah modern dengan idiom budaya mereka.
Dengan demikian, dialog budaya kita dengan budaya
Barat lewat Portugis, Inggris, dan Belanda sejak semula sudah merupakan dialog
yang kikuk. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dialog tersebut,
dengan memakai istilah Alvin Toffler, lebih merupakan suatu “future shock” atau suatu kejutan masa depan. Kita tidak siap
menghadapi budaya Eropa, yaitu suatu budaya yang sedang menyiapkan suatu budaya
industri yang kelak akan menentukan idiom modernitas dunia.
Pada waktu itu kita belum cukup lama bergulat untuk
merumuskan sosok yang tepat dalam transformasi budaya kita dalam sintesa
Jawa-Islam. Berbagai transformasi yang kita alami selama penjajahan Belanda
adalah pengalaman transformasi yang tidak serentak maupun yang sama. contohnya,
pengalaman antara Jawa dan Aceh tentu saja berbeda menurut jangka waktu lamanya
mengalami penjajahan.
Ketidakmampuan kita melaksanakan dialog budaya yang
efektif dan mengembangkannya sebagai suatu sintesa yang kreatif dengan idiom
budaya imperialis yang agresif akan tetapi juga rasional dan dingin dari
Belanda menjamah nyaris semua bidang kehidupan. Salah satunya di bidang
politik-pemerintahan dimana terjadi ketidakberdayaan dari pihak Mataran untuk
lepas dari belenggu budaya memerintah ala Barat. Ketidekberdayaan tersebut
terutama terlihat pada ketidakmampuan para elit Mataram dan kemudian elit
Surakarta dan Yogyakarta menggunakan kesempatan untuk mengembangkan suatu sosok
kiat memerintah yang baru. Tuntutan idiom budaya Belanda yang sangat menekankan
pada rasionalitas,
No comments:
Post a Comment