History

History
"History Make Me Happy"

Sunday 6 January 2013

Transformasi Budaya Indonesia


Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap , tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat.
Proses transformasi  dianalisis oleh berbagai ahli seperti Hegel. Marx dan Weber serta Rostow. Perbedaan mereka adalah pada penekanan dan factor yang mempengaruhi transformasi itu. Hegel menganggap transformasi sebagai dialektika, khususnya dialektika spiritual. Karl Marx menganggap transformasi juga sebagai dialektika, tetapi yang menjadi factor utama transformasi itu adalah pertentangan kelas yang berebut alat-alat produksi.
Max Weber membayangkan bahwa transformasi adalah suatu proses perubahan yang evolusioner dan saling mempengaruhi antar unsure dalam suatu “tipe ideal” masyarakat, jadi bersifat ahistoris-multilinear. Sedangkan menurut Rostow, proses transforrmasi lebih kepada perubahan sosok bentuk dri prasarana alat-alat produksi serta kosumsi masyarakat.
            Berbagai ilustrasi tentang sudaut pandang dan teori mengeni perubahan dan transformasi tersebut menunjukkan bahwa msayarakat dan negara dibayangkan pada suatu masa, pada suatu, ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu status transformasi. Kenyataan terebut juga menunjukian bahwa cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan.
Berdasarkan hal ini, transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut. Lepas dari sudat pandang yang melihat proses perubahan dan kemujdian transformasi masyarakat, sebagai proses historis-hirarkis-dialektis seperti yang ditunjukkan Hegel dan Marx mauppun yang ahistoris-multilinear yang ditunjukka oleh Weber, semuanya menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat atau kebudayaan beserta segala sistem yang terkandung di dalam tubuhnya pada hakekatnya pada tahap tertentu adalah struktur sebagai hasil dari persetujuan-persetujuan sementara, kompromi, kesimpulan bersama sementara antara berbagai unsure yang menyangga suatu kebudayaan.
Maka kebudayaan dalam pembicaraan ini adalah yang mengacu kepada konsep yang melihat kebudayaan sebagai usaha atau upaya dari masyarakat untuk menjawab tantangan yang ada pada suatu tahap perkembangan yang dihadapkan kepadanya.
            Dialog transformasi budaya juga terjadi di Indonesia. Proses semacam ini dilakukan untuk mencoba mencari format dan sosok budaya yang akan lebih mampu dan efektif dalam menjawab tantangan ekonomi serta kebudayaan yang dihadakan kepadanya oleh statusnyua sebgai jajahan Negara-negara Barat. Dalam kasus indoensia, transformasi budaya dipengaruhi geografi, geoekonomi dan geopolitik wilayah ini.
Transformasi budaya di Indonesia menyentuh tujuh aspek utama kebudayaan dan juga didasarkan fakta historis. Salah satu contohnya adalah transformasi yang terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya dan dinasti Syailendra di Jawa. Walapun pada masa itu agama Hindu-Budha berkembang luas dan ada pengaruh dari India, tetapi transformasi budaya di dua kawasan tersebut menunjukkan bahwa prose perubahan tersebut bukan suatu proses “indianisasi” melainkan “indonesianisasi dari pengaruh peradaban India. Proses Indonesianisasi atau jawanisasi terhadap pengaruh kebudayaan India rupanya terus berlangsung hingga jaman pasca Mataram, suatu jaman yang bukan lgi di bawah baying-bayang peradaban Hindia.
            Secara historis, proses transformasi sebagai akibat dari dialog terus menerus antara peradaban Hidia dengan budaya-budaya Nusantara telah berlangsung sejak permulaan abad Masehi, lewat puncak-puncak kerajaan Sriwijaya (abad ke-7), Mataram (abad ke-8), Kediri (abad ke-11), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke-14). Sungguh suatu kurun waktu yang panjang. Dalam kurun waktu panjang tersebut dengan semua pasang-surut proses transformasi budaya-budaya nusantara telah berhasil menciptakan suatu “sintesa budaya” yang berarti. Suatu tranfomasi sosok-sosok budaya yang mencerminkan keliatan serta keluwesan budaya kita.
            Ketika Islam datang dan masuk ke dalam kawasan nusantara, terjadilah dialog antara bduaya Islam dengan budaya yang sudah ada. Dialog peradaban Islam dengan kebudayaan nusantara, salah staunya kebudayaan Jawa, berjalan tertatih-tatih. Apa yang disebut sebagai budaya Jawa-Hindu sebagai hasil berbagai transformasi meliputi kurun waktu kurang lebih 7 abad dan melewati berbagai puncak prestasi.
Transformasi kerajaan-kerajaan pasca Majapahit untuk menjadi kerajaan Islam Jawa rupanya tidak berhasil memberkan cap Islam yang kental pada budaya baru tersebut. Mungkin hal itu disebabkan oleh dua factor. Pertama, lapisan sosok budaya jawa-Hindu yang terlah berbentuk berabad-abad lamanya hingga berakar dengan kuatnya pada tubuh budaya Jawa. Kedua, dialog budaya Jawa Islam belum sempat berkembang jauh, kolonialisme barat sudah memulai kawasan nusantara.
Namun demikian, bagaimanapun kenyal lapisan elit politik di Jawa dalam mencoba membangun sosok sintesa budaya baru Jawa-Islam, pada tingkat dari masyarakat Islam telah merembes cukup jauh dan dalam. Sedangkan di luar Jawa, seperti Aceh dan Goa (Makassar), Islam menemukan lahan yang subur dalam berdialog dengan budaya local.
            Ketika bangsa Barat (Portugis, Belanda, Inggris) datang, terjadi benturan budaya yang cukup ekstrim. Max Weber berpendapat bahwa memang ada ada perbedaan yang sangat mendasar antara budaya Barat dan Timur. Cirri Barat terutama adalah rasionalitas, kegairahan untuk berspekulasi can bereksperimen. Dengan cirri budaya yang demikian Barat memiliki kemampuan berekspansi yang kemudian menjangkau perkembangan yang jauh. Mungkin pendapat Weber ini dapat ikut menjelaskan tentang kekalahan nenek moyang kita dari kekuatan Barat. Indonesia kalah dari mereka karena idiom budaya kita kalah modern dengan idiom budaya mereka.
Dengan demikian, dialog budaya kita dengan budaya Barat lewat Portugis, Inggris, dan Belanda sejak semula sudah merupakan dialog yang kikuk. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dialog tersebut, dengan memakai istilah Alvin Toffler, lebih merupakan suatu “future shock” atau suatu kejutan masa depan. Kita tidak siap menghadapi budaya Eropa, yaitu suatu budaya yang sedang menyiapkan suatu budaya industri yang kelak akan menentukan idiom modernitas dunia.
Pada waktu itu kita belum cukup lama bergulat untuk merumuskan sosok yang tepat dalam transformasi budaya kita dalam sintesa Jawa-Islam. Berbagai transformasi yang kita alami selama penjajahan Belanda adalah pengalaman transformasi yang tidak serentak maupun yang sama. contohnya, pengalaman antara Jawa dan Aceh tentu saja berbeda menurut jangka waktu lamanya mengalami penjajahan.
Ketidakmampuan kita melaksanakan dialog budaya yang efektif dan mengembangkannya sebagai suatu sintesa yang kreatif dengan idiom budaya imperialis yang agresif akan tetapi juga rasional dan dingin dari Belanda menjamah nyaris semua bidang kehidupan. Salah satunya di bidang politik-pemerintahan dimana terjadi ketidakberdayaan dari pihak Mataran untuk lepas dari belenggu budaya memerintah ala Barat. Ketidekberdayaan tersebut terutama terlihat pada ketidakmampuan para elit Mataram dan kemudian elit Surakarta dan Yogyakarta menggunakan kesempatan untuk mengembangkan suatu sosok kiat memerintah yang baru. Tuntutan idiom budaya Belanda yang sangat menekankan pada rasionalitas,

No comments:

Post a Comment