JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.2)
B.
Jawa dan Kebatinan
Kebatinan (dari batin: tersembunyi,
rahasia ) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum
menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai
semacam mikrokosmos (jagat cilik)
terhadap makrokosmos (jagat gedhe)
atau hidup. Orang yang melakukan
kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri
dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula-Gusti) dan yang merupakan awal-mula serta
tujuan segala-galanya (Sangkan-paran).
Ada beberapa definisi lain mengenai
kebatinan. Istilah kebatinan berasal dari kata “batin” yang artinya bagian
dalam tubuh manusia, sehingga “kebatinan” dapat diartikan sebagai ilmu yang
berusaha mempelajari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci. Jadi
aliran kebatinan berarti suatu golongan yang mengikuti paham yang mendalami
suatu ajaran agama atau keagamaan. Menurut M. M. Djojodigoeno kebatinan itu
mempunyai empat unsur yaitu ilmu gaib, union mistik, sangkan parananing dumadi dan budi luhur. Sedangkan Badan Kongres
Kebatinan Indonesia (BKKI) merumuskan kebatinan sebagai sumber asas dan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
Menurut Kamil Kartapradja, aliran
kebatinan/aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia
di luar agama, dan tidak termasuk ke
dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu dua macam:
1. Kepercayaan yang sifatnya
tradisional dan animistik, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya,
seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli, kepercayaan
orang-orang Dayak di Kalimantan yang namanya Kaharingan, apa yang dinamai Agama
Toani Tolatang yang terdapat di kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan ) dan
kepercayaan yang terdapat di beberapa pulau terasing, yang penghuninya sering
disebut suku-suku terasing.
2. Golongan kepercayaan yang
ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut
atau menamakan dirinya golongan Kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam
perkembangannya akhirnya menamakan dirinya : Golongan kepercayaan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Kamil Kartapradja
menambahkan arti kebatinan itu ialah gerak badan rohani yang macam apapun
(Kartapradja, 1990).
Kebatinan Jawa sebenarnya adalah
peninggalan tradisi agama Jawa asli sebelum adanya pengaruh agama- agama besar (Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen). Setelah masuknya Hindu, Buddha, Islam dan Kristen,
maka terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk bercampur dengan
agama baru. Dalam proses akulturasi itu, biasanya terjadi beberapa kemungkinan.
Pertama, unsur- unsur agama baru diterima akan tetapi unsur agama lama tidak hilang
dan bercampur dengan unsur agama baru (contoh Islam abangan dimana ia menyebut dirinya
Islam, tetapi melaksanakan upacara-upacara selamatan dan tidak berdoa sebagaimana
mestinya orang Islam). Kedua, unsur-unsur agama baru makin menguat dan mendominasi
unsur agama lama makin menghilang (contoh agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga,
unsur agama baru bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan agama baru yang
memiliki ciri tersendiri (contoh agama Hindu Bali yang berbeda dengan ajaran
Hindu di Hindustan). Keempat, unsure agama lama mengalami revival dan menjadi menonjol
meskipun menggunakan juga unsur-unsur agama baru (contoh agama Wudu di Brasilia).
Dengan empat kemungkinan dalam proses akulturasi ini, dapat dipelajari pelbagai
aliran kebatinan yang berkembang di Jawa.
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di
Semarang telah diadakan kongres dari berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada
di berbagai daerah di Jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi
yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7
Agustus tahun berikutnya di surakarta
sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100
organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu organisasi
bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (Badan 1956), yang kemudian
juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam
tahun 1959, 1961 dan 1962.
Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa
awalnya merupakan budaya lokal saja dengan anggota yang terbatas jumlahnya,
yakni tidak lebih dari 200 orang. Gerakan budaya seperti itu secara
resmi merupakan aliran kecil, dengan nama seperti Penunggalan, perukunan kawula
manembah gusti, jiwa ayu dan pancasila handayaningratan dari Surakarta; ilmu
kebatinan kasunyatan dari yogyakarta; ilmu sejati dari madiun; dan trimurti
naluri majapahit dari mojokerto, dan lain-lain. Sebagian kecil dari budaya
kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari 200 orang namun
ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di berbagai kota di
Jawa Tengah dan terorganisasi dalam cabang-cabang. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment