History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.2)

B.     Jawa dan Kebatinan
    Kebatinan (dari batin: tersembunyi, rahasia ) berarti memelihara dan mengembangkan manusia-dalam dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius. Manusia-dalam dipandang sebagai semacam mikrokosmos (jagat cilik) terhadap makrokosmos (jagat gedhe) atau hidup.  Orang yang melakukan kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula-Gusti) dan yang merupakan awal-mula serta tujuan segala-galanya (Sangkan-paran).
     Ada beberapa definisi lain mengenai kebatinan. Istilah kebatinan berasal dari kata “batin” yang artinya bagian dalam tubuh manusia, sehingga “kebatinan” dapat diartikan sebagai ilmu yang berusaha mempelajari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci. Jadi aliran kebatinan berarti suatu golongan yang mengikuti paham yang mendalami suatu ajaran agama atau keagamaan. Menurut M. M. Djojodigoeno kebatinan itu mempunyai empat unsur yaitu ilmu gaib, union mistik, sangkan parananing dumadi dan budi luhur. Sedangkan Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) merumuskan kebatinan sebagai sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
     Menurut Kamil Kartapradja, aliran kebatinan/aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk  ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu dua macam:
1.      Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistik, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli, kepercayaan orang-orang Dayak di Kalimantan yang namanya Kaharingan, apa yang dinamai Agama Toani Tolatang yang terdapat di kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan ) dan kepercayaan yang terdapat di beberapa pulau terasing, yang penghuninya sering disebut suku-suku terasing.
2.      Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan Kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya : Golongan kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Kamil Kartapradja menambahkan arti kebatinan itu ialah gerak badan rohani yang macam apapun (Kartapradja, 1990).
     Kebatinan Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli sebelum adanya pengaruh agama- agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan Kristen). Setelah masuknya Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, maka terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk bercampur dengan agama baru. Dalam proses akulturasi itu, biasanya terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, unsur- unsur agama baru diterima akan tetapi unsur agama lama tidak hilang dan bercampur dengan unsur agama baru (contoh Islam abangan dimana ia menyebut dirinya Islam, tetapi melaksanakan upacara-upacara selamatan dan tidak berdoa sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua, unsur-unsur agama baru makin menguat dan mendominasi unsur agama lama makin menghilang (contoh agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga, unsur agama baru bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan agama baru yang memiliki ciri tersendiri (contoh agama Hindu Bali yang berbeda  dengan ajaran Hindu di Hindustan). Keempat, unsure agama lama mengalami revival dan menjadi menonjol meskipun menggunakan juga unsur-unsur agama baru (contoh agama Wudu di Brasilia). Dengan empat kemungkinan dalam proses akulturasi ini, dapat dipelajari pelbagai aliran kebatinan yang berkembang di Jawa.
    Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di Jawa dengan tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di surakarta sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (Badan 1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962.

    Kebanyakan budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya lokal saja dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. Gerakan budaya  seperti  itu secara resmi merupakan aliran kecil, dengan nama seperti Penunggalan, perukunan kawula manembah gusti, jiwa ayu dan pancasila handayaningratan dari Surakarta; ilmu kebatinan kasunyatan dari yogyakarta; ilmu sejati dari madiun; dan trimurti naluri majapahit dari mojokerto, dan lain-lain. Sebagian kecil dari budaya kebatinan  ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari 200 orang namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di berbagai kota di Jawa Tengah dan terorganisasi dalam cabang-cabang. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment