History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.1)

A.      Manusia Jawa dan Kejawen
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Arti umum menurut kamus bagi istilah Kejawen atau kejawaan dalam bahasa Inggris adalah Javaneseness, Javanism, yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan sebagai berasal dari masa Hindu Budha dalam sejarah Jawa dan bergabung dalam suatu filsafat, yaitu suatu sistem khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan.
     Sebagai suatu sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik, dan sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (Mulder, 1985). Singkatnya, Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang  menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan sebagaimana rupanya.
     Ciri khas utama agama Kejawen atau agami Jawi ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha. Namun pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya The Religion of Java. Olehnya Kejawen disebut "Agami Jawi". Kejawen juga merupakan atau menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Sehingga ketika sebagian mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik beragama Islam, misalnya seperti dalam mistisme, pada hakekatnya hal itu adalah suatu karakteristik keanekaragaman religius. Meskipun demikian mereka tetap orang Jawa yang membicarakan kehidupan dalam prespektif mitologi wayang, atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan.
     Banyak dari mereka pun menghormati slametan sebagai mekanisme integrasi sosial yang penting, atau sangat memuliakan kewajiban menziarahi makam orang tuanya dan leluhur mereka. Lebih dari itu dalam pengertian etika, mereka akan menempa diri sama seriusnya dengan orang Jawa yang mana saja untuk menjadi iklas, yakni ketulusan niat. Ini ada kaitannya dengan pemahaman Jawa untuk sepi ing pamrih, yakni tidak diarahkan oleh tujuan-tujuan egoistik, menempatkan kepetingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
     Di dalam mengekpresikan budayanya, manusia Jawa amat sangat menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama individu, dilakukan pada lingkungan alam dan dilakukan pada Tuhan yang dilambangkan sebagai pusat segala kehidupan di dunia. Masing-masing pola perilaku yang ditunjukkan adalah pola perilaku yang mengutakan keseimbangan, sehingga apabila terjadi sesuatu, seperti terganggu kelangsungan kehidupan manusia di dunia, dianggap sebagai adanya gangguan keseimbangan. Dalam pada itu manusia harus dengan segera memperbaiki gangguan itu, sehingga keseimbangan kembali akan dapat dirasakan. Terutama hubungan manusia dengan Tuhan, di dalam budaya Jawa diekspresikan di dalam kehidupan seorang individu dengan orang tua. Ini dilakukan karena Tuhan sebagai pusat dari segala kehidupan tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan. Oleh karena penghormatan terhadap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk perlambang yang memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di dunia, yaitu orang tua, yang harus dihormati melalui pola ngawula, ngabekti dan ngluhurake tanpa batas waktu.
     Karakteristik dari kebudayaan Jawa yang lain adalah kepercayaan atas suratan nasib (takdir Tuhan, kodrat alam) dan ramalan yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan erat dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang pilihan yang mampu menyingkap rahasia alam serta dapat mengetahui suratan nasib yang telah digariskan Tuhan. Orang-orang ini dalam kepustakaan Jawa sering disebut waskitha (Simuh, 1995).  
     Dengan adanya kurang lebih enam puluh lima juta orang yang berbahasa Jawa, maka orang-orang Jawa merupakan golongan etnis tunggal yang terbesar di Asia Tenggara. Kebanyakan di antara mereka akan menegaskan bahwa mereka memeluk agama Islam, tetapi dalam praktek terdapat suatu garis pemisah kultural yang mencolok antara mereka yang secara serius melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam (orang santri) dan mayoritas yang disebut orang abangan, yaitu mereka yang tidak mengatur hidupnya menururt kaidah-kaidah formal agama Islam (Mulder, 1983). Golongan ini mengikuti tradisi pikiran kejawen yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa kuno dan budaya Hindu-Budha serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran Kejawen ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup manusia.
     Orang Islam Kejawen menyebut Tuhan dengan istilah “Gusti Allah” (Hariwijaya, 2006). Dua istilah ini merupakan gabungan dari kata bahasa Jawa dan bahasa Arab. Kata Gusti dalam bahasa Jawa berarti pihak yang dihormati, dijunjung, dipundi-pundi, dan diharapkan dapat memberikan pengayoman dan perlindungan. Kata Gusti di sini bersifat teologis. Dengan demikian maknanya berbeda dengan kata Gusti yang bersifat sosiologis seperti Gusti Prabu, Gusti Ratu, Gusti Pangeran yang merupakan gelar kebangsawanan. Sedangkan kata Allah adalah adopsi dari kata Arab yang berarti nama diri Tuhan dalam agama Islam, karena orang Jawa mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
     Sejak dahulu selalu ada orang-orang agama Kejawen atau agami Islam Jawi yang merasa bahwa kehidupan beragama yang hanya berpusat kepada serangkaian upacara slametan, memberikan sajian pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu serta berziarah ke makam-makam, sebagai tidak berarti, tidak memuaskan dan dangkal. Oleh karena itu mereka mencari penghayatan mengenai inti hidup dan kehidupan spiritual manusia. Berbagai gerakan yang dinamakan gerakan kebatinan Kejawen yang berusaha menemukan suatu kehidupan spiritual yang lebih berarti telah muncul, tetapi menghilang kembali sepanjang sejarah kebudayaan Jawa. Istilah kebatinan itu menandakan bahwa di dalam semua gerakan itu para anggotanya mencari kebenaran dalam batin diri sendiri (Koentjaraningrat, 1984).

No comments:

Post a Comment