JAWA, KEJAWEN, dan ALIRAN KEBATINAN
(bag.1)
A.
Manusia Jawa dan Kejawen
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan atau
mungkin boleh dikatakan agama
yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa
lainnya yang menetap di Jawa. Arti umum menurut kamus bagi istilah Kejawen atau
kejawaan dalam bahasa Inggris adalah Javaneseness,
Javanism, yang merupakan suatu cap
deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai pada
hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas.
Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan sebagai berasal dari masa Hindu Budha
dalam sejarah Jawa dan bergabung dalam suatu filsafat, yaitu suatu sistem
khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan.
Sebagai suatu sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya,
yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya
bersifat mistik, dan sebagainya yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri,
yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang
pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (Mulder, 1985).
Singkatnya, Javanisme memberikan
suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk
menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan sebagaimana rupanya.
Ciri khas utama agama Kejawen atau agami
Jawi ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha.
Namun pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini
merupakan sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang
ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya
The Religion of
Java. Olehnya Kejawen disebut "Agami Jawi". Kejawen
juga merupakan atau menunjuk pada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa.
Sehingga ketika sebagian mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik beragama Islam,
misalnya seperti dalam mistisme, pada hakekatnya hal itu adalah suatu
karakteristik keanekaragaman religius. Meskipun demikian mereka tetap orang
Jawa yang membicarakan kehidupan dalam prespektif mitologi wayang, atau
menafsirkan shalat lima
waktu sebagai pertemuan pribadi dengan Tuhan.
Banyak dari mereka pun menghormati slametan sebagai mekanisme integrasi
sosial yang penting, atau sangat memuliakan kewajiban menziarahi makam orang
tuanya dan leluhur mereka. Lebih dari itu dalam pengertian etika, mereka akan
menempa diri sama seriusnya dengan orang Jawa yang mana saja untuk menjadi
iklas, yakni ketulusan niat. Ini ada kaitannya dengan pemahaman Jawa untuk sepi ing pamrih, yakni tidak diarahkan
oleh tujuan-tujuan egoistik, menempatkan kepetingan orang lain di atas
kepentingan diri sendiri.
Di dalam mengekpresikan budayanya, manusia
Jawa amat sangat menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada
sesama individu, dilakukan pada lingkungan alam dan dilakukan pada Tuhan yang
dilambangkan sebagai pusat segala kehidupan di dunia. Masing-masing pola
perilaku yang ditunjukkan adalah pola perilaku yang mengutakan keseimbangan,
sehingga apabila terjadi sesuatu, seperti terganggu kelangsungan kehidupan
manusia di dunia, dianggap sebagai adanya gangguan keseimbangan. Dalam pada itu
manusia harus dengan segera memperbaiki gangguan itu, sehingga keseimbangan
kembali akan dapat dirasakan. Terutama hubungan manusia dengan Tuhan, di dalam
budaya Jawa diekspresikan di dalam kehidupan seorang individu dengan orang tua.
Ini dilakukan karena Tuhan sebagai pusat dari segala kehidupan tidak dapat
diraba, tidak dapat dilihat dan hanya dapat dirasakan. Oleh karena penghormatan
terhadap Tuhan dilakukan dengan bentuk-bentuk perlambang yang memberikan makna
pada munculnya kehidupan manusia di dunia, yaitu orang tua, yang harus
dihormati melalui pola ngawula, ngabekti dan ngluhurake tanpa batas waktu.
Karakteristik dari kebudayaan Jawa yang
lain adalah kepercayaan atas suratan nasib (takdir Tuhan, kodrat alam) dan
ramalan yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan
erat dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang pilihan yang mampu
menyingkap rahasia alam serta dapat mengetahui suratan nasib yang telah
digariskan Tuhan. Orang-orang ini dalam kepustakaan Jawa sering disebut waskitha (Simuh, 1995).
Dengan adanya kurang lebih enam puluh lima
juta orang yang berbahasa Jawa, maka orang-orang Jawa merupakan golongan etnis
tunggal yang terbesar di Asia Tenggara. Kebanyakan di antara mereka akan
menegaskan bahwa mereka memeluk agama Islam, tetapi dalam praktek terdapat
suatu garis pemisah kultural yang mencolok antara mereka yang secara serius
melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam (orang santri) dan mayoritas yang disebut orang abangan, yaitu mereka yang tidak mengatur hidupnya menururt
kaidah-kaidah formal agama Islam (Mulder, 1983). Golongan ini mengikuti tradisi
pikiran kejawen yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa kuno dan
budaya Hindu-Budha serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran Kejawen
ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang
ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada
suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup
manusia.
Orang Islam Kejawen menyebut Tuhan
dengan istilah “Gusti Allah” (Hariwijaya, 2006). Dua istilah ini merupakan
gabungan dari kata bahasa Jawa dan bahasa Arab. Kata Gusti dalam bahasa Jawa berarti pihak yang dihormati, dijunjung,
dipundi-pundi, dan diharapkan dapat memberikan pengayoman dan perlindungan.
Kata Gusti di sini bersifat teologis. Dengan demikian maknanya berbeda dengan
kata Gusti yang bersifat sosiologis seperti Gusti Prabu, Gusti Ratu, Gusti
Pangeran yang merupakan gelar kebangsawanan. Sedangkan kata Allah adalah adopsi
dari kata Arab yang berarti nama diri Tuhan dalam agama Islam, karena orang
Jawa mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Sejak dahulu selalu ada orang-orang agama
Kejawen atau agami Islam Jawi yang merasa bahwa kehidupan beragama yang hanya
berpusat kepada serangkaian upacara slametan, memberikan sajian pada
waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu serta berziarah ke
makam-makam, sebagai tidak berarti, tidak memuaskan dan dangkal. Oleh karena
itu mereka mencari penghayatan mengenai inti hidup dan kehidupan spiritual
manusia. Berbagai gerakan yang dinamakan gerakan kebatinan Kejawen yang
berusaha menemukan suatu kehidupan spiritual yang lebih berarti telah muncul,
tetapi menghilang kembali sepanjang sejarah kebudayaan Jawa. Istilah kebatinan
itu menandakan bahwa di dalam semua gerakan itu para anggotanya mencari
kebenaran dalam batin diri sendiri (Koentjaraningrat, 1984).
No comments:
Post a Comment