History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

DINAMIKA PERJUANGAN BERSENJATA DAN PERJUANGAN DIPLOMASI DALAM SEJARAH KONTEMPORER INDONESIA

Dalam sejarah kontemporer Indonesia, dikenal dua bentuk strategi perjuangan, yaitu diplomasi dan perjuangan bersenjata. Perjuangan diplomasi dapat berjalan searah dengan perjuangan bersenjata maupun dapat berjalan berlawanan. Hal ini dapat dilihat ketika masa setelah Indonesia merdeka atau masa revolusi dan perjuangan merebut Irian Barat. Strategi diplomasi dan perjuangan bersenjata ketika masa revolusi (perang kemerdekaan), keduanya sama-sama digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan republik terhadap aksi polisionil Belanda.
     Dalam konteks perjuangan diplomasi dengan Belanda, ada dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang strategi perjuangan ini. Kelompok pertama diwakili oleh Sjahrir, yang ketika menjadi perdana menteri lebih menekankan dan mengutamakan diplomasi daripada gerakan bersenjata. Hal ini dilatarbelakangi pandangan Sjahrir tentang kedudukan Indonesia yang masih sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di bawah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara muda yang masih sangat rapuh ini untuk memusuhi mereka. Sjahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak terundang untuk mendukung Belanda secara penuh”.

     Cara diplomasi terlihat dari diadakannya perundingan-perundingan dengan pihak Belanda seperti perundingan Linggarjati dan perundingan Renville. Walaupun pada kenyataannya perundingan-perundingan tersebut memberikan konsesi sedikit bagi pihak republik, tetapi, menurut pandangan Sjahrir dan kelompoknya, hal ini dapat menjamin kemerdekaan Indonesia. Cara ini didukung oleh pemerintah, termasuk Sukarno-Hatta karena pertimbangan kondisi pada waktu itu.
     Terhadap strategi diplomasi ini, kelompok yang bereaksi keras terhadap strategi ini adalah kelompok Tan Malaka. Visi revolusi Tan Malaka menginginkan pengakuan kemerdekaan 100 persen. Dengan kata lain Tan Malaka menghendaki revolusi total, yang antara lain pengusiran terhadap semua kekuatan asing dan perombakan di bidang ekonomi, politik dan militer. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu faktor mengapa banyak pemuda, laskar, dan massa memihak kepada visi revolusi Tan Malaka. Di sini timbul fenomena pemerintah yang mengutamakan jalan diplomasi berhadapan dengan semangat dan kemauan keras (sebagian besar) massa rakyat yang berjuang untuk meneruskan dan meningkatkan revolusi bersenjata.
     Di samping jalan diplomasi, di daerah-daerah banyak muncul revolusi bersenjata yang mengadakan perlawanan terhadap tentara sekutu maupun NICA. Peristiwa-peristiwa seperti revolusi 10 November 1945 (Insiden Tunjungan) di Surabaya, Bandung Lautan Api, pertempuran Medan Area, dan Palagan Ambarawa, mencerminkan semangat dan perlawanan rakyat dan laskar-laskar gerilya terhadap tentara kolonial. Mereka berpandangan bahwa untuk mengusir penjajah harus melalui perjuangan bersenjata. Hal ini diperkuat bahwa jalan diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah seingkali memberikan keuntungan kepada pihak kolonial.
     Strategi diplomasi dan revolusi bersenjata juga ditempuh dalam perjuangan merebut Irian Barat. Cara diplomasi telah diupayakan sejak kabinet I RI, dan secara terus-menerus dijadikan program kabinet selanjutnya. Usaha tersebut gagal karena Belanda tetap mempertahankan Irian barat dan memasukkannya ke dalam wilayah negara tersebut. Usaha secara bilateral ini ternyata tidak berhasil sehingga pihak RI membawa masalah tersebut ke dalam forum PBB. Namun usaha ini juga mengalami kebuntuan karena Belanda menganggap masalah Irian Barat hanya masalah bilateral Indonesia-Belanda. Selain itu perjuangan Irian barat juga dibahas dalam Konferensi Asia Afrika, sehingga Indonesia mendapatkan dukungan dari negara-negara yang hadir dalam konferensi tersebut. Jalan diplomasi yang ditempuh ini pun tidak berhasil karena Belanda tetap bersikukuh mempertahankan Irian Barat. Oleh karena itu, maka diadakan konfrontasi secara total terhadap  Belanda, yang dalam hal ini dengan melakukan revolusi bersenjata.
      Operasi-operasi bersenjata untuk pembebasan Irian Barat dilakukan pihak pemerintah RI melalui tiga fase, yaitu infiltrasi (mengadakan penyusupan dan memasukan tentara ke wilayah Irian Barat), fase eksploitasi (mengadakan serangan terbuka terhadap pos-pos pertahan lawan) dan fase konsolidasi (mendudukkan kekuasaan secara mutlak di wilayah Irian Barat). Adanya tekanan dari Amerika Serikat juga menyebabkan pihak Belanda bersedia berunding kembali membicarakan masalah Irian Barat. Dalam perjuangan pembebasan ini, dapat dikatakan bahwa strategi diplomasi berjalan secara sinergis dengan revolusi bersenjata. (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment