DINAMIKA
PERJUANGAN BERSENJATA DAN PERJUANGAN DIPLOMASI DALAM SEJARAH KONTEMPORER
INDONESIA
Dalam sejarah kontemporer Indonesia, dikenal dua bentuk strategi
perjuangan, yaitu diplomasi dan perjuangan bersenjata. Perjuangan diplomasi
dapat berjalan searah dengan perjuangan bersenjata maupun dapat berjalan
berlawanan. Hal ini dapat dilihat ketika masa setelah Indonesia merdeka atau
masa revolusi dan perjuangan merebut Irian Barat. Strategi diplomasi dan
perjuangan bersenjata ketika masa revolusi (perang kemerdekaan), keduanya
sama-sama digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan republik terhadap aksi
polisionil Belanda.
Dalam konteks perjuangan
diplomasi dengan Belanda, ada dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda
tentang strategi perjuangan ini. Kelompok pertama diwakili oleh Sjahrir, yang
ketika menjadi perdana menteri lebih menekankan dan mengutamakan diplomasi
daripada gerakan bersenjata. Hal ini dilatarbelakangi pandangan Sjahrir tentang
kedudukan Indonesia
yang masih sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di bawah pengaruh
kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah
bijaksana bagi negara muda yang masih sangat rapuh ini untuk memusuhi mereka.
Sjahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan
politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia
mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan
Indonesia ialah melalui “diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan
Inggris tidak terundang untuk mendukung Belanda secara penuh”.
Cara diplomasi terlihat
dari diadakannya perundingan-perundingan dengan pihak Belanda seperti
perundingan Linggarjati dan perundingan Renville. Walaupun pada kenyataannya
perundingan-perundingan tersebut memberikan konsesi sedikit bagi pihak
republik, tetapi, menurut pandangan Sjahrir dan kelompoknya, hal ini dapat
menjamin kemerdekaan Indonesia .
Cara ini didukung oleh pemerintah, termasuk Sukarno-Hatta karena pertimbangan
kondisi pada waktu itu.
Terhadap strategi
diplomasi ini, kelompok yang bereaksi keras terhadap strategi ini adalah kelompok
Tan Malaka. Visi revolusi Tan Malaka menginginkan pengakuan kemerdekaan 100
persen. Dengan kata lain Tan Malaka menghendaki revolusi total, yang antara
lain pengusiran terhadap semua kekuatan asing dan perombakan di bidang ekonomi,
politik dan militer. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang
menguntungkan revolusi merupakan salah satu faktor mengapa banyak pemuda,
laskar, dan massa
memihak kepada visi revolusi Tan Malaka. Di sini timbul fenomena pemerintah
yang mengutamakan jalan diplomasi berhadapan dengan semangat dan kemauan keras
(sebagian besar) massa rakyat yang berjuang untuk meneruskan dan meningkatkan
revolusi bersenjata.
Di samping jalan
diplomasi, di daerah-daerah banyak muncul revolusi bersenjata yang mengadakan
perlawanan terhadap tentara sekutu maupun NICA. Peristiwa-peristiwa seperti
revolusi 10 November 1945 (Insiden Tunjungan) di Surabaya, Bandung Lautan Api,
pertempuran Medan Area, dan Palagan Ambarawa, mencerminkan semangat dan
perlawanan rakyat dan laskar-laskar gerilya terhadap tentara kolonial. Mereka
berpandangan bahwa untuk mengusir penjajah harus melalui perjuangan bersenjata.
Hal ini diperkuat bahwa jalan diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah
seingkali memberikan keuntungan kepada pihak kolonial.
Strategi diplomasi dan
revolusi bersenjata juga ditempuh dalam perjuangan merebut Irian Barat. Cara
diplomasi telah diupayakan sejak kabinet I RI, dan secara terus-menerus
dijadikan program kabinet selanjutnya. Usaha tersebut gagal karena Belanda
tetap mempertahankan Irian barat dan memasukkannya ke dalam wilayah negara
tersebut. Usaha secara bilateral ini ternyata tidak berhasil sehingga pihak RI
membawa masalah tersebut ke dalam forum PBB. Namun usaha ini juga mengalami
kebuntuan karena Belanda menganggap masalah Irian Barat hanya masalah bilateral
Indonesia-Belanda. Selain itu perjuangan Irian barat juga dibahas dalam
Konferensi Asia Afrika, sehingga Indonesia mendapatkan dukungan dari
negara-negara yang hadir dalam konferensi tersebut. Jalan diplomasi yang ditempuh
ini pun tidak berhasil karena Belanda tetap bersikukuh mempertahankan Irian
Barat. Oleh karena itu, maka diadakan konfrontasi secara total terhadap Belanda, yang dalam hal ini dengan melakukan
revolusi bersenjata.
Operasi-operasi bersenjata untuk pembebasan
Irian Barat dilakukan pihak pemerintah RI melalui tiga fase, yaitu infiltrasi
(mengadakan penyusupan dan memasukan tentara ke wilayah Irian Barat), fase
eksploitasi (mengadakan serangan terbuka terhadap pos-pos pertahan lawan) dan
fase konsolidasi (mendudukkan kekuasaan secara mutlak di wilayah Irian Barat).
Adanya tekanan dari Amerika Serikat juga menyebabkan pihak Belanda bersedia
berunding kembali membicarakan masalah Irian Barat. Dalam perjuangan pembebasan
ini, dapat dikatakan bahwa strategi diplomasi berjalan secara sinergis dengan
revolusi bersenjata. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment