PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(Bag.1)
Keikutsertaan kaum wanita
dalam semua aspek kehidupan suatu bangsa tidak dapat diabaikan. Disamping
sebagai ibu dan isteri yang menjalankan peran domestik seputar urusan keluarga
dan rumah tangga, kaum wanita sejalan dengan tuntutan zaman dan kondisi real lingkungan
sekitarnya, juga dituntut berperan di sektor publik. Keikutsertaan kaum wanita
Indonesia di sektor publik telah berlangsung lama sejak zaman pra kolonial yang
antara lain ditandai oleh tampilnya beberapa tokoh wanita sebagai penguasa
kerajaan baik di Jawa maupun luar Jawa. Demikian juga pada masa perang
kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, kaum wanita Indonesia secara langsung
dan tidak langsung ikut berperan aktif di medan peperangan (Nurliana, 1986: 1).
Dalam
tulisan ini, gerakan wanita Indonesia dalam perkembangan sejarahnya (khususnya
masa penjajahan) dapat dibagi menjadi beberapa periode, yang meliputi :
I. Zaman
Kolonial Belanda , terbagi dalam tiga periode yaitu :
1. Periode Perintis (1880-1910)
2. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasiona1 (1911-1928)
3. Periode Kesadaran Nasional (1928-1941)
II.
Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 – 1945)
I. Zaman
Kolonial Belanda
1. Periode Perintis (1880 – 1910)
Kedatangan
V.O.C. untuk "berdagang" dengan menggunakan moncong meriam di
kepulauan Tanah Air kita, sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat
Indonesia. Melalui penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber-sumber
ekonomi adalah untuk memperkaya Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan
dari V.O.C. kepada Bataafse Republiek
sama sekali tidak merubah situasi saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya
saja dengan cara yang berbeda. Hak monopoli perdagangan dan hak monopoli
pelayaran antar pulau di seluruh Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya
materiil rakyat Indonesia dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di
Belanda dengan staatsmonopoli.
Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di Negara Jajahan “Nederlands
Indië” langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel (1830-1870), yaitu suatu
sistim pengetrapan tanam paksa berbagai jenis tanaman (kopi, gula, tembakau,
dll.) di atas 1/5 tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat. Dengan
sekadar latar belakang situasi ini, kita memasuki periode Perintis Perjuangan
Wanita Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Sejak abad ke-18 pemberontakan timbul di mana-mana,
hingga hampir setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer ke
berbagai tempat di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Saya akan
mengemukakan beberapa perintis pejuang wanita kita yang ikut ambil bagian di
dalam perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Keikutsertaan secara aktif kaum wanita
dalam melawan kekuatan kolonial telah menonjol sejak abad 19. Hal itu antara
lain dapat diketahui dari maraknya gerakan-gerakan perlawanan yang dipimpin
oleh tokoh-tokoh wanita seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun
1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd XIX;
Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA
Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walanda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahmad Dahlan
tahun 1872-1936, dan Rasuna Said 1901-1965 (Gunawan dalam Ridjal, 1993: 100).
Sebenarnya,
Gerakan Wanita Indonesia baru dimulai pada permulaan abad ke-20, yaitu
permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai
oleh tumbuhnya organisasi-organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan
organisasi-organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan
begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai
organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan
anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan berdasarkan
peraturan-peraturan yang dimuat di anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga.
Sebelumnya kaum wanita berjuang secara perorangan, belum terorganisasi dalam
susunan suatu badan perkumpulan.
Pada masa itu belum ditemukan cara perjuangan Nasional.
Periode Perintis meliputi masa sebelum tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase
kebangkitan kesadaran nasional, dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20
Mei 1908. Periode Perintis masih juga meliputi masa permulaan politik etis
Belanda di Indonesia (permulaan abad-19)
RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai
salah seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan
ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal. Kartini
(1879-1904) adalah anak kedua (wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di
pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan
anak-anak wanitanya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan
kakak-kakak mereka. Suatu hal yang luar biasa untuk zaman itu. Walaupun Kartini
sangat ingin meneruskan sekolahnya sesudah memasuki masa remajanya, seperti
halnya kakak-kakaknya, yang salah seorang di antaranya bahkan belajar di
Universitas Leiden, Negeri Belanda, ia justru dimasukkan ke pingitan “kurungan
emas,” demikian ia menyebut istana ayahnya di dalam salah satu suratnya.
Begitulah adat-istiadat bagi gadis-gadis bangsawan zaman itu. Di dalam pingitan
itu, sambil menunggu saat dikawinkan dengan laki-laki yang mungkin belum pernah
dilihat sebelumnya
(Armijn Pane, 1949: 9).
Kartini memulai surat-menyuratnya yang
luar biasa dengan beberapa tokoh, termasuk seorang feminis Belanda yaitu Stella
Zeehandelaar. Di dalam surat-suratnya ini yang sering merupakan luapan amarah
terhadap segala keadaan yang mengungkung kebebasan geraknya, dan yang
menghalangi dirinya dari perjuangan sepenuhnya untuk kepentingan dan emansipasi
rakyat Jawa pada umumnya, dan wanita Jawa pada khususnya. Bahkan dari
surat-suratnya dapat diketahui bahwa ia pernah berangan-angan untuk tidak
kawin, mandiri, dan ingin meruntuhkan tembok feodalisme. Ia merumuskan
gagasan-gagasannya, yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: ia
memandang pendidikan bagi kaum wanita sebagai salah satu syarat penting untuk
memajukan rakyatnya. Dalam pandangannya, ibu yang terpelajar bisa diharapkan
kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik, tidak hanya wanita kalangan
miskin, wanita kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah
sendiri, dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi
perawat, bidan, dan guru. Poligami
harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum wanita.
Buah pikiran Kartini sangat terkenal juga
di luar negeri. “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap terbitlah Terang) memuat
surat-surat Kartini yang berisi cita-citanya untuk kemajuan dan memajukan
kaumnya. Kartini berpendapat bahwa untuk mengatasi keterbelakangan kaum wanita
terutama ialah melalui jalur pendidikan, karena hal itu memungkinkan tumbuhnya
kesadaran masyarakat akan adanya ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan,
ketidakadilan dan penghisapan. Pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita
pada waktu itu cukup pengetahuan dasar berhitung, baca-tulis, ketrampilan
kerumahtanggaan dan pendidikan guru. Pendidikan bagi pribumi mengakibatkan
terbukanya fikiran dan wawasan yang menumbuhkan kesadaran untuk makin maju, dan
dengan demikian mendorong untuk bergerak berjuang demi kemajuan kaum dan
bangsanya
(Rochwulaningsih, 1996: 48-84).
Kartini bukanlah satu-satunya
wanita yang berjuang untuk pendidikan kaum wanita pada zamannya. Beberapa butir
dari cita-cita wanita yang dinamis, dan dalam banyak hal juga berjiwa
pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh wanita lainnya, terutama cita-citanya
tentang pendidikan bagi kaum wanita. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah
Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun demikian
Kartini yang menjadi simbol gerakan wanita Indonesia. Bahkan dapat dikatakan
bahwa Kartini merupakan tokoh perintis pergerakan nasional. Dapat dilihat dalam
banyak suratnya kepada para sahabatnya, ia berkali-kali mengajak seluruh bangsa
bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh
organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah,
universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut
sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita
Indonesia. Pada tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”.
Dalam kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa
lain (Soeroto, 1979: 477).
Para tokoh Perintis gerakan
wanita belum mempunyai perkumpulan atau organisasi wanita, dengan kata lain
berjuang orang perorangan; tetapi dalam kenyataan bahwa mereka mengangkat
senjata bahu membahu dengan kaum laki-laki melawan penjajah Belanda, tidak
dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan sumber inspirasi bagi generasi wanita
berikutnya untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Juga para tokoh
Perintis dalam masa sesudah diterapkannya Politik etis Belanda di Indonesia,
memberikan teladan dan dorongan kepada kaumnya untuk meneruskan jejak langkah
mereka. Mereka berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun
kemandirian kaumnya, kemajuan bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.
Unsur lain gerakan wanita
Indonesia yang sedang tumbuh ialah hasrat untuk “emansipasi nasional.” Dalam
pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita
berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya pada
periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan
perjuangan wanita. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment