History

History
"History Make Me Happy"

Tuesday 16 August 2016

PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN 
(Bag.1)

Keikutsertaan kaum wanita dalam semua aspek kehidupan suatu bangsa tidak dapat diabaikan. Disamping sebagai ibu dan isteri yang menjalankan peran domestik seputar urusan keluarga dan rumah tangga, kaum wanita sejalan dengan tuntutan zaman dan kondisi real lingkungan sekitarnya, juga dituntut berperan di sektor publik. Keikutsertaan kaum wanita Indonesia di sektor publik telah berlangsung lama sejak zaman pra kolonial yang antara lain ditandai oleh tampilnya beberapa tokoh wanita sebagai penguasa kerajaan baik di Jawa maupun luar Jawa. Demikian juga pada masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, kaum wanita Indonesia secara langsung dan tidak langsung ikut berperan aktif di medan peperangan (Nurliana, 1986: 1).
Dalam tulisan ini, gerakan wanita Indonesia dalam perkembangan sejarahnya (khususnya masa penjajahan) dapat dibagi menjadi beberapa periode, yang meliputi : 
I. Zaman Kolonial Belanda , terbagi dalam tiga periode yaitu :
1. Periode Perintis (1880-1910)
2. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasiona1 (1911-1928)
3. Periode Kesadaran Nasional (1928-1941)
II. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 – 1945)

I. Zaman Kolonial Belanda
1. Periode Perintis (1880 – 1910)
Kedatangan V.O.C. untuk "berdagang" dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan Tanah Air kita, sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia.  Melalui penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber-sumber ekonomi adalah untuk memperkaya Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari V.O.C. kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau di seluruh Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di Negara Jajahan “Nederlands Indië” langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel (1830-1870), yaitu suatu sistim pengetrapan tanam paksa berbagai jenis tanaman (kopi, gula, tembakau, dll.) di atas 1/5 tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat. Dengan sekadar latar belakang situasi ini, kita memasuki periode Perintis Perjuangan Wanita Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Sejak abad ke-18 pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer ke berbagai tempat di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Saya akan mengemukakan beberapa perintis pejuang wanita kita yang ikut ambil bagian di dalam perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Keikutsertaan secara aktif kaum wanita dalam melawan kekuatan kolonial telah menonjol sejak abad 19. Hal itu antara lain dapat diketahui dari maraknya gerakan-gerakan perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh wanita seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walanda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahmad Dahlan tahun 1872-1936, dan Rasuna Said 1901-1965 (Gunawan dalam Ridjal, 1993: 100).
Sebenarnya, Gerakan Wanita Indonesia baru dimulai pada permulaan abad ke-20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi-organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan organisasi-organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang secara perorangan, belum terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan.
Pada masa itu belum ditemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia (permulaan abad-19)
RA. Kartini umumnya disebut-sebut sebagai salah seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka wanita feminis dari zamannya, dan ia memang tokoh feminis dari masa awal yang paling terkenal. Kartini (1879-1904) adalah anak kedua (wanita) dari Bupati Jepara, sebuah daerah di pantai utara Jawa. Ayahnya seorang yang berpikiran maju, karenanya mengizinkan anak-anak wanitanya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Suatu hal yang luar biasa untuk zaman itu. Walaupun Kartini sangat ingin meneruskan sekolahnya sesudah memasuki masa remajanya, seperti halnya kakak-kakaknya, yang salah seorang di antaranya bahkan belajar di Universitas Leiden, Negeri Belanda, ia justru dimasukkan ke pingitan “kurungan emas,” demikian ia menyebut istana ayahnya di dalam salah satu suratnya. Begitulah adat-istiadat bagi gadis-gadis bangsawan zaman itu. Di dalam pingitan itu, sambil menunggu saat dikawinkan dengan laki-laki yang mungkin belum pernah dilihat sebelumnya (Armijn Pane, 1949: 9).
Kartini memulai surat-menyuratnya yang luar biasa dengan beberapa tokoh, termasuk seorang feminis Belanda yaitu Stella Zeehandelaar. Di dalam surat-suratnya ini yang sering merupakan luapan amarah terhadap segala keadaan yang mengungkung kebebasan geraknya, dan yang menghalangi dirinya dari perjuangan sepenuhnya untuk kepentingan dan emansipasi rakyat Jawa pada umumnya, dan wanita Jawa pada khususnya. Bahkan dari surat-suratnya dapat diketahui bahwa ia pernah berangan-angan untuk tidak kawin, mandiri, dan ingin meruntuhkan tembok feodalisme. Ia merumuskan gagasan-gagasannya, yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut: ia memandang pendidikan bagi kaum wanita sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya. Dalam pandangannya, ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik, tidak hanya wanita kalangan miskin, wanita kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri, dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka, misalnya menjadi perawat, bidan, dan guru. Poligami harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum wanita.
Buah pikiran Kartini sangat terkenal juga di luar negeri. “Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap terbitlah Terang) memuat surat-surat Kartini yang berisi cita-citanya untuk kemajuan dan memajukan kaumnya. Kartini berpendapat bahwa untuk mengatasi keterbelakangan kaum wanita terutama ialah melalui jalur pendidikan, karena hal itu memungkinkan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan adanya ketimpangan-ketimpangan, keterbelakangan, ketidakadilan dan penghisapan. Pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita pada waktu itu cukup pengetahuan dasar berhitung, baca-tulis, ketrampilan kerumahtanggaan dan pendidikan guru. Pendidikan bagi pribumi mengakibatkan terbukanya fikiran dan wawasan yang menumbuhkan kesadaran untuk makin maju, dan dengan demikian mendorong untuk bergerak berjuang demi kemajuan kaum dan bangsanya (Rochwulaningsih, 1996: 48-84).
Kartini bukanlah satu-satunya wanita yang berjuang untuk pendidikan kaum wanita pada zamannya. Beberapa butir dari cita-cita wanita yang dinamis, dan dalam banyak hal juga berjiwa pemberontak ini, diikuti oleh tokoh-tokoh wanita lainnya, terutama cita-citanya tentang pendidikan bagi kaum wanita. Di Jawa Barat, Dewi Sartika menyebarkan pandangan yang sama, dan di daerah Minangkabau, Sumatra Barat, Rohana Kudus berbuat serupa pula. Meskipun demikian Kartini yang menjadi simbol gerakan wanita Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Kartini merupakan tokoh perintis pergerakan nasional. Dapat dilihat dalam banyak suratnya kepada para sahabatnya, ia berkali-kali mengajak seluruh bangsa bumiputera untuk bangun dan memasuki “jaman baru”. Oleh karena itu tidak mengherankan jika hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan oleh organisasi-organisasi wanita dewasa ini. Adanya kaum wanita di sekolah-sekolah, universitas-universitas, atau angkatan bersenjata, biasanya disebut-sebut sebagai bukti tentang taraf emansipasi yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Pada tahun 1964 Kartini dinyatakan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dalam kenyataannya kepahlawanan Kartini tersebut juga diakui oleh bangsa-bangsa lain (Soeroto, 1979: 477).
Para tokoh Perintis gerakan wanita belum mempunyai perkumpulan atau organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan; tetapi dalam kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum laki-laki melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Juga para tokoh Perintis dalam masa sesudah diterapkannya Politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan dorongan kepada kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka. Mereka berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian kaumnya, kemajuan bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.

Unsur lain gerakan wanita Indonesia yang sedang tumbuh ialah hasrat untuk “emansipasi nasional.” Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment