Review Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia
A. Melihat kembali Buku Denyut Nadi
Revolusi Indonesia
Buku yang berjudul ”Denyut Nadi Revolusi Indonesia” ini merupakan
kumpulan artikel dari beberapa orang yang menulis seputar Revolusi Indonesia.
Secara garis besar buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia terbagi atas empat
bagian. Bagian pertama berisi tentang masa revolusi dalam konteks sejarah
pembentukan bangsa dan negara Indonesia, makna dari pengalaman revolusi serta
perdebatan antara “pendiri bangsa” tentang sifat revolusi. Revolusi merupakan
proses perubahan cepat yang mencakup bidang yang luas dan dalam waktu yang
relatif pendek. Sebagai proses perubahan, revolusi yang terjadi pada kurun
waktu 1945-1949 telah melepaskan demikian banyak energi rakyat Indonesia yang
terpendam demikian lama akibat represi kolonial. Indonesia pasca revolusi tidak
pernah lagi akan serupa Indonesia pra revolusi.
Dari awal revolusi sudah
terlihat adanya dua persepsi mengenai bagaimana suatu revolusi akan digerakkan
serta dikendalikan. Persepsi pertama berpendirian bahwa walaupun revolusi akan
berwujud perubahan cepat dan mendasar dalam berbagai bidang, namun agar tetap
bersifat konstruktif revolusi harus tetap dikendalikan oleh akal sehat dan
kepala dingin. Para penganut persepsi ini berpandangan bahwa di dalam revolusi
juga masih ada tempat bagi hukum, tata tertib, dan diplomasi. Persepsi kedua
berpendirian bahwa bila revolusi sungguh-sungguh akan bersifat revolusioner, ia
harus merupakan suatu penjungkirbalikan dan pendobrakan segala nilai lama
sampai ke akar-akarnya. Di atas tatanan yang lama ini akan dibangun suatu
tatanan yang sama sekali baru. Sikap ini dapat dinamakan sebagi suatu ultra
radikal terhadap revolusi. Pengejawantahan persepsi ini dapat terlihat pada
sikap yang berbeda dari Sukarno dan Mohammad Hatta mengenai revolusi. Yang satu
merupakan representasi dari pandangan ultra radikal, sedang yang lain merupakan
tokoh reformis dan realistis yang paling terkemuka. Di sini muncul perbedaaan
wawasan ideologis di antara keduanya mengenai apakah revolusi harus dihentikan
atau revolusi harus diteruskan sampai selesai.
Pada bagian pertama dari
buku ini juga memuat tentang kenangan dan renungan tentang revolusi Indonesia.
Di dalamnya juga berisi tentang situasi di berbagai daerah pada masa revolusi,
yang rakyatnya tumbuh dengan sikap nasionalisme yang semakin kuat-contohnya
ucapan pekik “merdeka” yang menggema di berbagai daerah- serta muncul semangat
anti orang asing. Dalam hal ini juga terdapat kebebasan berkumpul dan berbicara
serta suasana keterbukaan. Pers sangat bebas berbicara, dengan sejumlah surat
kabar yang mewakili berbagai partai dan ideologi.
Pandangan-pandangan dari
berbagai tokoh terkemuka Indonesia mengenai cara mengisi revolusi Indonesia serta
jalan yang akan digunakan untuk mengadakan perubahan sosial juga terdapat pada
bagian pertama buku ini. Sebagian besar para pemimpin Republik mempunyai
komitmen yang kuat untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih besar dengan
kemerdekaan dianggap sebagai prasyaratanya. Bagi hampir semua mereka, jalan untuk
mencapai tujuan itu ialah suatu bentuk “sosialisme”. Hal ini muncul tentu saja
sebagian merupakan akibat pengalaman dengan penjajahan Belanda yang dapat
dimengerti bahwa banyak orang menyamakannya dengan kapitalisme. Akan tetapi,
sikap ini juga suatu perhitungan pragmatis yang telah dipertimbangkan dengan
hati-hati yang menggambarkan penilaian
mereka terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang ada.
Para pemimpin Partai
Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir
menganggap diri mereka sebagai penganut sosialisme. Walaupun tertarik sekali
kepada Marxisme, mereka menolak komunisme, dan dalam berbagai tingkat, secara
ideologis mereka itu memilah-milah dan meramu serta tidak bersifat doktriner
dalam menganut sosialisme. Sukarno juga menolak komunisme, dengan menekankan
bahwa konsep perjuangan kelas dan kediktatoran proletar tidak sesuai dengan
nilai-nilai Indonesia. Mohammad Hatta menekankan pentingnya ditegakkan ekonomi
campuran-suatu sistem yang memberi tempat pada sektor sosialis yang cukup
besar, tetap mencakup pula komponen koperasi yang besar, dengan memberikan
tempat bagi campuran kapitalisme berskala kecil. Keduanya-Sukarno dan Hatta
menekankan juga kesesuaian Islam dan sosialisme.
Berdasarkan
pandangan-pandangan di atas, asumsi awal yang didapat adalah revolusi dan
tujuan Republik seakan-akan bergerak ke arah sosialistis, tetapi hanya bersifat
“semu”. Hal ini disebakan kondisi obyektif pada masa itu yang telah
diperhitungkan oleh para pemimpin republik, yang diperkuat oleh dua faktor
relevan. Pertama, adalah keyakinan bahwa pertimbangan politik dalam perjuangan
menetang Belanda, Republik harus menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa
Indonesia terletak di dalam kawasan pengaruh kekuasaan Inggris-Amerika. Hal ini
untuk menjaga agar kedua negara
kapitalis itu tidak memberi bantuan kepada Belanda, karena mengetahui Republik
tidak mempunyai tujuan yang bersifat sosialistis.. Kedua, keyakinan bahwa,
karena terjadinya kehancuran fisik yang amat meluas pada masa Perang Dunia
Kedua dan pada masa revolusi, maka apabila kemerdekaan penuh telah dapat
dicapai, diperlukan sejumlah besar modal asing untuk membangun kembali ekonomi
negara. Pada umumnya negara-negara asing, khususnya negara-negara Barat tidak
mau memberikan modal untuk tujuan yang bersifat sosialistis.
Dengan demikian, terlepas
dari keterikatan ideologis para pemimpin Republik terhadap sosialisme ketika
revolusi, pertimbangan politik internasional sangat tidak memungkinkan
tercapainya tujuan itu.
Bagian kedua berisi
antara lain tentang perempuan dan pemuda dalam revolusi, peranan perempuan dan
perspektifnya mengenai revolusi, pers masa revolusi, dan kehidupan di sekitar revolusi. Revolusi
1945-1949 memiliki arti tersendiri bagi para wanita, bagaimana mereka
menempatkan diri dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 1945-1949, bagaimana
mereka merasa dapat, atau merasa tidak dapat, ikut serta dalam aktivitas
revolusi, karena berbagai alasan. Beberapa orang ikut serta dalam perjuangan,
karena mereka masih sendirian dan tidak memiliki tanggung jawab keluarga.
Beberapa orang tidak mempunyai pilihan lain, karena mereka kawin dan sibuk
dengan pekerjaan rumah tangga, untuk ikut memiliki perasaan bersama dengan para
aktivis pria itu, bahwa tatanan dunia Indonesia sedang terjungkirbalik.
Bagi kebanyakan wanita
desa, perjuangan revolusi sedikit sekali kaitanya dengan kehidupan mereka.
Mereka menganggap diri tidak merupakan bagian dari perjuangan politik. Bagi
yang lainnya, peranan mereka ada pokoknya ialah sebagai anak wanita yang lebih
tua atau lebih muda dari aktivis pria, atau sebagai tunangan, atau sebagai
istri yang masih muda. Dalam kurun waktu lima tahun perjuangan revolusi antara
tahun 1945 dan 1949, peranan yang diharapkan dari wanita bertambah luas.
Kekacauan politik dan sosial pada tahun 1945-1949 telah memberikan kesempatan
kepada wanita untuk bertindak dalam bentuk yang berbeda terhadap lawan
jenisnya, dibandingkan dengan sebelum perang. Peranan mereka dalam masyarakat
telah bertambah luas, dan mereka seringkali harus memikul tanggung jawab baru
yang dilemparkan ke pundak mereka.
Beberapa orang wanita
telah menjadi aktivis sebagai “pemuda”. Istilah ini, yang secara harfiah
berarti seorang yang masih muda, telah mengambil suatu makna khusus di masa
revolusi. Pemuda adalah seorang yang merasa muda dalam hatinya yang ingin
menyerahkan seluruh eksistensinya bagi perjuangan. Mereka ikut serta dalam
organisasi. Beberapa organisasi bersifat campuran-mempunyai anggota pria dan
wanita. Beberapa yang lain mengkhususkan hanya kepada wanita. Organisasi ini
pada umumnya berbasis di kota dan menghimpun para wanita yang berpendidikan
yang tinggal di kota besar. Kebanyakan wanita yang telah kawin tidak mendapat
kesempatan untuk ikut serta dalam organisasi-organisasi seperti itu karena
pertanggungjawaban keluarga dan rumah tangga, meski mereka ingin melakukannya.
Meski wanita ikut serta dalam kelompok pejuang revolusi, amat sedikit di antara
mereka yang mengambil bagian dalam pertempuran. Biasanya hanya berkisar tentang
tugas wanita di garis belakang, seperti memasak, mencuci pakaian dan merawat
para pejuang revolusi.
Ketika revolusi, beberapa
orang, dan barangkali hanya sedikit saja, wanita yang memiliki kebebasan untuk
memilih, jika bukan peranan baru, maka munghkin pengalaman baru. Beberapa orang
memang telah mengalami “hak istimewa untuk menentukan nasib sendiri” untuk
pertama kalinya dalam kehidupan mereka. Mereka ada yang memilih, atau dipaksa
memilih untuk meninggalkan rumah tangga sendiri di daerah yang baru saja
diduduki pasukan Belanda, harus pula menghadapi segala macam situasi hidup yang
baru dan sukar. Wanita lain (mungkin sebagian besar dari mereka) tidak
menganggap diri mereka sebagai bagian dari perjuangan revolusi, karena alasan
jenis atau karena wanita merasa tidak praktis dalam situasi revolusi untuk
berada di dekat suami mereka, walaupun mereka belum memiliki anak.
Suasana revolusi pada
tahun-tahun 1945-1949 memberikan kesempatan bagi segolongan kecil wanita kota
yang berpendidikan untuk memainkan peranan baru dalam organisasi perjuangan,
seperti para anggota Barisan Srikandi yang semuanya wanita dan berpusat di
Jakarta. Namun, tampaknya masih ada sedikit wanita yang ikut berjuang dalam
badan perjuangan, dan tidak hanya (walaupun terutama) memasak, mencuci dan
membersih-bersihkan bagi para pemuda. Jauh lebih sukar bagi wanita untuk ikut
serta dalam tentara republik yang umumnya pria sebagai prajurit. Wanita
diharapkan duduk mengetik di belakang garis pertempuran atau bertindak sebagai
kurir, dengan melanjutkan peranan peranan yang telah dimainkan wanita dalam
gerakan bawah tanah anti Jepang ketika perang.
Mengenai pers pada masa
revolusi, pasang surut kehidupan pers di Indonesia mewarnai dinamika revolusi.
Sebelum revolusi, telah ada kehidupan pers dengan munculnya surat kabar pada masa
Belanda dan masa Jepang. Sedangkan pada masa revolusi, surat kabar yang muncul
pertama kali adalah “merdeka”dengan B.M. Diah selalu pemimpin redaksi dan
Rosihan Anwar selaku managing editor. Kehidupan pers mengalami pasang naik
ketika keluar Maklumat November 1945 yang ditandatangani oleh wakil presiden
Hatta dan menganjurkan agar rakyat membentuk partai-partai politik dan dengan
demikian menghilangkan kesan bahwa Republik Indonesia tidak demokratis dan
hanya mengenal satu partai negara. Hal ini menyebabkan munculnya surat kabar
dimana-mana di Indonesia. walaupun kertasnya hanya kertas merang, terbuat dari
kulit padi, walaupun percetakannya sangat sederhana, namun semua itu bukan
halangan untuk menerbitkan surat kabar.
Pada masa perundingan
dengan Belanda di Linggarjati tahun 1946 dan di Renville tahun 1947, pers di
pedalaman makin santer menyuarakan pendapat berbagai partai politik yang
bresikap pro atau kontra terhadap politik berunding dengan Belanda. Pada
tahun-tahun selanjutnya koran-koran partisan makin menjadi-jadi saling
menghantam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang ideologis dari
koran-koran tersebut maupun para pemihaknya, seperti clash antara koran
sayap kiri dengan koran yang memihak Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Bukan saja
koran-koran itu saling menghantam dalam berita dan tulisan, melainkan dengan
menggunakan pasukan bersenjata dalam melakukan perebutan percetakan.
Pada masa ini keadaan di
kalangan pers pedalaman sangat ramai, yang melaksanakan kemerdekaan pers dengan
semangat yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah Indonesia. pada
masa revolusi itu pers mengenal dan melaksanakan kemerdekan pers.
Mengenai kehidupan di
sekitar revolusi, ketika terjadi revolusi terjadi peningkatan dinamika sosial,
sistem dan struktur yang telah mapan dihancurkan, rakyat bergerak, terutama
generasi muda. Bahkan nilai telah kehilangan keabsahannya, sedangkan pranata
sosial mengalami kehancuran. Dalam situasi yang serba berubah itu, generasi
yang telah mapan cenderung untuk berpegang teguh pada posisinya. Karena terikat
pada struktur tertentu, mereka mengalami kendala dalam mobilitas. Karena
seringkali menghadapi krisis, orang memiliki kesadaran yang lebih tajam bahwa
segala sesuatu sedang berubah; orang mendapat suatu perasaan yang kuat mengenai
kesementaraan. Rakyat berpartisipasi dalam perjuangan bukan karena ingin
mendapatkan imbalan, akan tetapi dengan harapan untuk menyelesaikan revolusi
itu dengan sebaik-baiknya. Ketika revolusi, terdapatlah situasi yang
menimbulkan alternatif dan kesempatan untuk membuka “jalan hidup” yang akan
dipilih.
Bagian ketiga memuat penjelasan
tentang situasi dan kejadian di beberapa daerah pada masa revolusi, sastra pada masa revolusi, dan aspek ekonomi dalam
revolusi. Revolusi yang menjalar di berbagai daerah menimbulkan semangat baru kepada
para pemuda. Segera setelah gema revolusi mulai didengungkan, para pemuda mulai
bergerak-secara simbolik, mereka mengibarkan bendera Merah Putih, dan secara
riil mereka mendirikan barisan perjuangan, menduduki gedung pemerintahan,
merampas senjata dan akhirnya menyerahkan roda pemerintahan kepada para
pemimpin lokal. Hal ini dapat dijumpai di daerah seperti Semarang, Sulawesi
Selatan dan Sumatra Timur (Sumatra Utara). Di Semarang, salah satu peristiwa
penting pada masa revolusi adalah pertempuran lima hari antara organisasi
pemuda dengan tentara Jepang. Sebab langsung dari peristiwa Semarang adalah
masalah senjata. Sedangkan di Sulawesi Selatan, situasi revolusioner telah
menyelimuti daerah tersebut. Ada dua jenis aliran gerakan atau aktivitas yang
diikuti rakyat setempat :
1.
Arus politik dan diplomasi yang
dipimpin oleh Gubernur Sulawesi, Dr. Ratulangi, yang didukung oleh
partai-partai politik, seperti PNI. Mereka berusaha agar rakyat dapat
mempertahankan kemerdekaan dengan cara damai, dan tidak menggunakan cara
revolusioner, karena mereka tahu bahwa barisan perjuangan republik terlalu
lemah apabila diperbandingkan dengan NICA/Belanda yang memiliki senapan dan
persenjataan modern.
2.
Arus revolusioner, yang didukung oleh
Persatuan Pemuda serta para pemuda yang terlatih baik dalam perang gerilya.
Mereka tidak dapat mempercayai kehendak politik Belanda untuk membenarkan
kemerdekaan Indonesia. karena itu mereka akan bertarung untuk kemerdekaan
negara.
Di Sumatra Timur, muncul laskar
rakyat yang digalang oleh kelompok kiri (komunis), PKI. Di daerah ini juga
timbul apa yang disebut “revolusi sosial” yang digerakkan oleh kaum kiri,
dengan tujuan menghancurkan apa saja yang berbau ”kerajaan”, “kapitalis asing”
dan “kaki tangan NICA”, dan mengendalikan pemerintahan di tangan mereka.
Pada bagian ini juga
menyoroti tentang aspek ekonomi pada masa revolusi. Ada beberapa karakteristik
masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia dalam tiga fase perkembangannya.
Pertama, periode awal revolusi (1945-1946), yaitu perjuangan mencarai dana
perjuangan ditambah dengan perjuangan melawan kolonial Belanda, dan kemudian
dengan Jepang dan sekutu. Salah satu ciri yang
paling menonjol pada masa ini ialah bahwa negara dalam keadaan lemah,
tetapi masyarakat kuat. Karena itu, ketika cita-cita ekonomi nasional yang
berorientasi kerakyatan dirumuskan oleh konseptornya, Bung Hatta, prioritas
utama perekonomian nasional ialah pengambilalihan sumber-sumber strategis yang
dikuasai oleh bekas penjajah. Usaha ini belum sepenuhnya berhasil mengingat
lemahnya mekanisme kontrol pemerintah, di samping masih dominannya faktor
non-ekonomi dalam suasan revolusi, di samping kurangnya modal, termasuk tenaga
terampil dan keuangan yang morat-marit.
Kedua, periode 1947-1948,
yakni periode antara dua agresi militer Belanda. Periode ini ditandai oleh
suasana terombang-ambing antara politik diplomasi dan fleksibilitas kekuatan
ekonomi yang telah dibina sebelumnya. Kesulitan ekonomi akibat tindakan militer
Belanda lebih banyak ditolong oleh subsidi dari rakyat. Inilah periode ketika
banyak orang bukan lagi sekedar “ikut membantu perjuangan”, melainkan merekalah
sesungguhnya aktor utama dalam menyokong dana perjuangan, selain ikut memanggul
senjata di garis depan. Ketiga, periode terakhir (1948-1949), ketika konflik
Indonesia-Belanda diselesaikan lewat jalan perundingan memunculkan pola
transaksi dagang pro dan kontra Belanda dalam dunia bisnis swasta Indonesia.
Mengenai sastra pada masa
revolusi, sastra yang bermunculan pada masa tersebut pada dasarnya adalah sastra
koran dan majalah, yang berkembang terutama di koran dan majalah dan tidak
dalam bentuk buku. Pada masa revolusi cukup banyak cerita pendek dan sajak
mengenai perang dan revolusi yang dimuat di majalah. Kebanyakan cerita pendek
yang ditulis dan diterbitkan pada masa itu merupakan tanggapan dan penilaian
yang spontan dari sastrawan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Impian, keyakinan, dan semangat kemerdekaan yang digambarkan dengan
keterlibatan emosional yang tinggi serta sisi yang negatif pada masa itu,
seperti penderitan, kepincangan sosial, korban perang, diekspresikan melalui
sastra, yang melibatkan perasaan emosional dari para pengarangnya. Salah satu
satrawan yang cukup terkenal, yang turut mengisi revolusi melalui
karya-karyanya adalah Chairil Anwar.
Bagian keempat berisi
paparan yang melihat revolusi Indonesia dari perspektif perbandingan. Dalam hal
ini revolusi Indonesia dikomparasikan dengan revolusi Vietnam melalui berbagai
perspektif seperti perspektif pra-revolusi, perspektif internasional, dan
perspektif nasional.
Dalam perspektif pra
revolusi, dapat ditinjau titik perbandingan utama seperti geografi, baik yang
bersifat manusia maupun yang fisik, budaya pra-kolonial dan pengalaman kolonial
Barat. Aspek geografi maksudnya Vietnam berada di benua, sedangkan Indonesia
merupakan kepulauan; Vietnam lebih homogen dipandang dari segi etnis dan
bahasa, sedangkan Indonesia lebih beragam. Mengenai budaya pra-kolonial,
Vietnam memiliki budaya Konfusius dan Budhis, sedangkan Indonesia berbudaya
Islam dan Hindu-Buddha; tradisi kerajaan dan konsep kekuasaan berbeda di
Vietnam berbeda antara Vietnam dan Indonesia; elit tradisional Vietnam
berdasarkan suatu sistem meritokrasi yang telah berkembang baik, sedangkan elit
Indonesia berfungsi dengan cara dan prinsip yang berbeda pula. Pengalaman
penjajahan kolonial juga mewarnai perspektif ini. Vietnam yang dijajah Perancis
berbeda dengan Indonesia yang dijajah Belanda. Faktor-faktor tersebut sedikit
banyak memiliki pengaruh bagi revolusi, baik di Indonesia maupun di Vietnam.
Dalam perspektif
internasional, suasana revolusi dapat dilihat dari praktek diplomasi yang
dilakukan kedua negara dengan bekas negara yang menjajahnya. Ada kesan awal
yang kuat bahwa orang Indonesia jauh lebih mahir dalam urusan diplomasi
internasional daripada orang Vietnam. Mengenai perspektif nasional, ada
beberapa faktor yang turut mempengaruhi dinamika revolusi di Vietnam maupun di
Indonesia, antara lain kepemimpinan dan peranan militer. Di dalam faktor
kepemimpinan, Sukarno dari Indonesia dan Ho Chi Minh dari Vietnam merupakan
pemimpin dari masing masing negara, yang pada masa revolusi di negaranya
masing-masing memiliki peranan yang cukup besar. Menenai peranan militer, di
Vietnam kaum militer berada di bawah pemerintahan sipil, dikendalikan secara
terpusat, dan merupakan aktivis secara politik, sedangkan di Indonesia militer
berada di luar pengendalian sipil, pada umumnya tanpa memiliki pusat yang
efektif, serta a-politis kalau tidak dikatakan anti politik.
Mengenai perbandingan
antar revolusi, revolusi Amerika Serikat adalah contoh yang baik berkenaan
dengan basis ekonomi. Revolusi Perancis merupakan sebuah contoh yang baik bagi
suatu revolusi sosial dan juga contoh klasik tentang bagaimana struktur sosial
yang lama digeser secara fundamental, yang pada akhirnya mengakibatkan
hancurnya rezim yang lama. Sifat khas revolusi Perancis adalah bahwa ia
direalisasikan dengan kekerasan. Di Inggris, meski terdapat berbagai revolusi
politik, namun perkembangan sosial berjalan lebih banyak melalui jalur
revolusi. Dalam pengertian itu, revolusi Indonesia lebih dekat kepada revolusi
politik yang terjadi di Inggris atau Amerika Serikat, daripada kepada revolusi sosial
yang terjadi di Inggris, Rusia atau Cina. Ia merupakan sebuah revolusi politik
dalam arti bahwa ia mengakibatkan pemindahan kekuasaan dan wewenang, dan
membiarkan reformasi sosial yang dibutuhkan untuk dilaksanakan setelah tercapai
kemerdekaan. Ini berarti, dalam hal revolusi Indonesia, pembangunan sosial
tidak teremasuk dalam revolusi itu, dan diharapkan akan merupakan suatu
perkembangan yang evolusioner. Dengan kata lain, untuk memahami revolusi baik
politik maupun sosial harus memperhitungkan tatanan sosial yang
melatarbelakangi kemunculannya, dan yang mendorong ke arah perkembangannya.
B.Tinjauan Kritis terhadap Buku Denyut
Nadi Revolusi Indonesia
Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia merupakan buku yang cukup
relevan untuk membahas tentang revolusi di Indonesia pada tahun 1945-1949. Buku
ini merupakan kumpulan artikel dan hasil penelitian dari beberapa orang, yang
diantaranya merupakan saksi langsung revolusi Indonesia. Kelebihan buku ini
terletak pada pembahasannya yang meluas, tidak hanya berkutat di seputar
revolusi fisik tetapi juga sisi-sisi lain di sekitarnya yang turut mewarnai
dinamika revolusi itu sendiri, seperti kehidupan pers masa revolusi, aspek
ekonomi dalam revolusi dan sastra pada masa revolusi. Hal ini dapat melengkapi
fragmen-fragmen revolusi sehingga wawasan tentang revolusi Indonesia dapat
dilihat dari berbagai aspek. Jika dikomparasikan dengan buku-buku lain yang
mengupas juga tentang revolusi, maka buku ini menawarkan pengetahuan lain
seputar revolusi sehingga kajian tentang revolusi dapat dimengerti dari
berbagai sudut pandang.
Buku ini dapat
dikomparasikan dengan “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karya M.C. Ricklefs.
Di dalam karyanya, Ricklefs juga membahas tentang Revolusi Indonesia. Ada
persamaan antara buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia dengan buku Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004 ketika membahas Revolusi Indonesia. Keduanya
membahas revolusi dari berbagai segi, sepeti politik, ekonomi, sosial maupun
militer. Sedangkan perbedaannya adalah dalam pembahasan tentang revolusi,
Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, mengupas revolusi secara
kronologis jadi paparannya disusun menurut babakan waktu terjadinya suatu
peristiwa. Dalam buku Denyut Nadi
Revolusi Indonesia pembahasannya dibedakan berdasarkan topik-topik tertentu
atau khusus sehingga lebih tematis. Selain itu, di dalam buku ini terdapat
kenangan, pengalaman dan renungan dari salah satu pelaku sejarah yang
dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga menambah wacana tentang revolusi. Hal
ini tidak terdapat di dalam karya Ricklefs.
Dilihat dari penggunaan
sumber, kumpulan artikel dalam buku ini menggunakan sumber primer dan sumber
sekunder. Hal ini dapat dilihat dari diikutsertakannya catatan kaki maupun
sumber pustaka di bagian belakang buku ini. Akan tetapi di sisi lain terdapat
tulisan yang tidak menyertakan sumber pustaka sebab tulisan tersebut merupakan
pengalaman yang ditulis oleh salah seorang aktor sejarah.
Komparasi yang lain dapat
dilihat antara buku “Denyut Nadi Revolusi Indonesia” dengan buku “Pemahaman
Sejarah Indonesia sebelum dan sesudah revolusi yang disunting oleh William H.
Frederick dan Soeri Soeroto”. Kedua buku tersebut juga membahas tentang
revolusi Indonesia, tetapi pembahasan yang ada di dalam buku “Pemahaman Sejarah
Indonesia sebelum dan sesudah Revolusi” lebih sedikit dan berkisar pada
aspek-aspek dan tema-tema umum revolusi, seperti politik dan militer. Sedangkan buku “Denyut Nadi Revolusi
Indonesia” menawarkan lebih banyak sisi-sisi lain di seputar revolusi yang
belum banyak dibahas, seperti sastra masa revolusi dan perempuan masa revolusi.
Perbedaan lainnya adalah mengenai penggunaan indeks. Buku pemahaman “Sejarah
Indonesia sebelum dan sesudah Revolusi” menggunakan indeks sehingga lebih
mudah mencari point-point
tertentu lebih cepat. Hal ini tidak dijumpai dalam buku “Denyut Nadi Revolusi
Indonesia” yang tidak menyertakan indeks di bagian belakang buku tersebut.
C. Manfaat buku terhadap perkembangan
Sejarah Kontemporer
Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia tidak hanya berisi renungan dan
pengalaman aktor sejarah yang memiliki kenangan pribadi tetapi juga menyuguhkan
berbagai studi yang belum banyak mendapat perhatian, seperti kepeloporan wanita
dalam perang kemerdekaan, pembentukan barisan perjuangan di dalam negeri,
sastra masa revolusi maupun revolusi dilihat dari kacamata perbandingan. Selain
itu, buku ini menampilkan bagaimana perwujudan politik yang demokratis dalam
suasana revolusi dan bagaimana revolusi dibiayai Hal ini dapat menambah wawasan
tentang sejarah kontemporer Indonesia, khususnya mengenai Revolusi Indonesia
serta dapat mengenal sejarah lebih akrab.
Buku ini dapat digunakan
untuk memahami revolusi dari berbagai segi dan sudut pandang. Bagi perkembangan
sejarah kontemporer Indonesia buku ini menawarkan cita rasa lain dalam
memandang suatu periode yang penting dalam sejarah Indonesia. hal ini tidak
lepas dari beragamnya topik yang ditulis dalam buku ini. Periode yang dahsyat
yang paling menentukan dalam sejarah bangsa Indonesia ini tak lepas dari
kemungkinan melahirkan kesalahpahaman dan perbedaan sudut pandang, dan
tulisan-tulisan dalam buku ini dapat menumbuhkan sikap “berdamai dengan
sejarah”. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment