History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

Review Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia


A. Melihat kembali Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia

Buku yang berjudul ”Denyut Nadi Revolusi Indonesia” ini merupakan kumpulan artikel dari beberapa orang yang menulis seputar Revolusi Indonesia. Secara garis besar buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia terbagi atas empat bagian. Bagian pertama berisi tentang masa revolusi dalam konteks sejarah pembentukan bangsa dan negara Indonesia, makna dari pengalaman revolusi serta perdebatan antara “pendiri bangsa” tentang sifat revolusi. Revolusi merupakan proses perubahan cepat yang mencakup bidang yang luas dan dalam waktu yang relatif pendek. Sebagai proses perubahan, revolusi yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 telah melepaskan demikian banyak energi rakyat Indonesia yang terpendam demikian lama akibat represi kolonial. Indonesia pasca revolusi tidak pernah lagi akan serupa Indonesia pra revolusi.

     Dari awal revolusi sudah terlihat adanya dua persepsi mengenai bagaimana suatu revolusi akan digerakkan serta dikendalikan. Persepsi pertama berpendirian bahwa walaupun revolusi akan berwujud perubahan cepat dan mendasar dalam berbagai bidang, namun agar tetap bersifat konstruktif revolusi harus tetap dikendalikan oleh akal sehat dan kepala dingin. Para penganut persepsi ini berpandangan bahwa di dalam revolusi juga masih ada tempat bagi hukum, tata tertib, dan diplomasi. Persepsi kedua berpendirian bahwa bila revolusi sungguh-sungguh akan bersifat revolusioner, ia harus merupakan suatu penjungkirbalikan dan pendobrakan segala nilai lama sampai ke akar-akarnya. Di atas tatanan yang lama ini akan dibangun suatu tatanan yang sama sekali baru. Sikap ini dapat dinamakan sebagi suatu ultra radikal terhadap revolusi. Pengejawantahan persepsi ini dapat terlihat pada sikap yang berbeda dari Sukarno dan Mohammad Hatta mengenai revolusi. Yang satu merupakan representasi dari pandangan ultra radikal, sedang yang lain merupakan tokoh reformis dan realistis yang paling terkemuka. Di sini muncul perbedaaan wawasan ideologis di antara keduanya mengenai apakah revolusi harus dihentikan atau revolusi harus diteruskan sampai selesai.
     Pada bagian pertama dari buku ini juga memuat tentang kenangan dan renungan tentang revolusi Indonesia. Di dalamnya juga berisi tentang situasi di berbagai daerah pada masa revolusi, yang rakyatnya tumbuh dengan sikap nasionalisme yang semakin kuat-contohnya ucapan pekik “merdeka” yang menggema di berbagai daerah- serta muncul semangat anti orang asing. Dalam hal ini juga terdapat kebebasan berkumpul dan berbicara serta suasana keterbukaan. Pers sangat bebas berbicara, dengan sejumlah surat kabar yang mewakili berbagai partai dan ideologi.
     Pandangan-pandangan dari berbagai tokoh terkemuka Indonesia mengenai cara mengisi revolusi Indonesia serta jalan yang akan digunakan untuk mengadakan perubahan sosial juga terdapat pada bagian pertama buku ini. Sebagian besar para pemimpin Republik mempunyai komitmen yang kuat untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih besar dengan kemerdekaan dianggap sebagai prasyaratanya. Bagi hampir semua mereka, jalan untuk mencapai tujuan itu ialah suatu bentuk “sosialisme”. Hal ini muncul tentu saja sebagian merupakan akibat pengalaman dengan penjajahan Belanda yang dapat dimengerti bahwa banyak orang menyamakannya dengan kapitalisme. Akan tetapi, sikap ini juga suatu perhitungan pragmatis yang telah dipertimbangkan dengan hati-hati yang menggambarkan penilaian  mereka terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang ada.
     Para pemimpin Partai Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir menganggap diri mereka sebagai penganut sosialisme. Walaupun tertarik sekali kepada Marxisme, mereka menolak komunisme, dan dalam berbagai tingkat, secara ideologis mereka itu memilah-milah dan meramu serta tidak bersifat doktriner dalam menganut sosialisme. Sukarno juga menolak komunisme, dengan menekankan bahwa konsep perjuangan kelas dan kediktatoran proletar tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia. Mohammad Hatta menekankan pentingnya ditegakkan ekonomi campuran-suatu sistem yang memberi tempat pada sektor sosialis yang cukup besar, tetap mencakup pula komponen koperasi yang besar, dengan memberikan tempat bagi campuran kapitalisme berskala kecil. Keduanya-Sukarno dan Hatta menekankan juga kesesuaian Islam dan sosialisme.
     Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, asumsi awal yang didapat adalah revolusi dan tujuan Republik seakan-akan bergerak ke arah sosialistis, tetapi hanya bersifat “semu”. Hal ini disebakan kondisi obyektif pada masa itu yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin republik, yang diperkuat oleh dua faktor relevan. Pertama, adalah keyakinan bahwa pertimbangan politik dalam perjuangan menetang Belanda, Republik harus menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa Indonesia terletak di dalam kawasan pengaruh kekuasaan Inggris-Amerika. Hal ini untuk menjaga agar  kedua negara kapitalis itu tidak memberi bantuan kepada Belanda, karena mengetahui Republik tidak mempunyai tujuan yang bersifat sosialistis.. Kedua, keyakinan bahwa, karena terjadinya kehancuran fisik yang amat meluas pada masa Perang Dunia Kedua dan pada masa revolusi, maka apabila kemerdekaan penuh telah dapat dicapai, diperlukan sejumlah besar modal asing untuk membangun kembali ekonomi negara. Pada umumnya negara-negara asing, khususnya negara-negara Barat tidak mau memberikan modal untuk tujuan yang bersifat sosialistis.
     Dengan demikian, terlepas dari keterikatan ideologis para pemimpin Republik terhadap sosialisme ketika revolusi, pertimbangan politik internasional sangat tidak memungkinkan tercapainya tujuan itu.
     Bagian kedua berisi antara lain tentang perempuan dan pemuda dalam revolusi, peranan perempuan dan perspektifnya mengenai revolusi, pers masa revolusi, dan  kehidupan di sekitar revolusi. Revolusi 1945-1949 memiliki arti tersendiri bagi para wanita, bagaimana mereka menempatkan diri dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 1945-1949, bagaimana mereka merasa dapat, atau merasa tidak dapat, ikut serta dalam aktivitas revolusi, karena berbagai alasan. Beberapa orang ikut serta dalam perjuangan, karena mereka masih sendirian dan tidak memiliki tanggung jawab keluarga. Beberapa orang tidak mempunyai pilihan lain, karena mereka kawin dan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, untuk ikut memiliki perasaan bersama dengan para aktivis pria itu, bahwa tatanan dunia Indonesia sedang terjungkirbalik.
     Bagi kebanyakan wanita desa, perjuangan revolusi sedikit sekali kaitanya dengan kehidupan mereka. Mereka menganggap diri tidak merupakan bagian dari perjuangan politik. Bagi yang lainnya, peranan mereka ada pokoknya ialah sebagai anak wanita yang lebih tua atau lebih muda dari aktivis pria, atau sebagai tunangan, atau sebagai istri yang masih muda. Dalam kurun waktu lima tahun perjuangan revolusi antara tahun 1945 dan 1949, peranan yang diharapkan dari wanita bertambah luas. Kekacauan politik dan sosial pada tahun 1945-1949 telah memberikan kesempatan kepada wanita untuk bertindak dalam bentuk yang berbeda terhadap lawan jenisnya, dibandingkan dengan sebelum perang. Peranan mereka dalam masyarakat telah bertambah luas, dan mereka seringkali harus memikul tanggung jawab baru yang dilemparkan ke pundak mereka.
     Beberapa orang wanita telah menjadi aktivis sebagai “pemuda”. Istilah ini, yang secara harfiah berarti seorang yang masih muda, telah mengambil suatu makna khusus di masa revolusi. Pemuda adalah seorang yang merasa muda dalam hatinya yang ingin menyerahkan seluruh eksistensinya bagi perjuangan. Mereka ikut serta dalam organisasi. Beberapa organisasi bersifat campuran-mempunyai anggota pria dan wanita. Beberapa yang lain mengkhususkan hanya kepada wanita. Organisasi ini pada umumnya berbasis di kota dan menghimpun para wanita yang berpendidikan yang tinggal di kota besar. Kebanyakan wanita yang telah kawin tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam organisasi-organisasi seperti itu karena pertanggungjawaban keluarga dan rumah tangga, meski mereka ingin melakukannya. Meski wanita ikut serta dalam kelompok pejuang revolusi, amat sedikit di antara mereka yang mengambil bagian dalam pertempuran. Biasanya hanya berkisar tentang tugas wanita di garis belakang, seperti memasak, mencuci pakaian dan merawat para pejuang revolusi.
     Ketika revolusi, beberapa orang, dan barangkali hanya sedikit saja, wanita yang memiliki kebebasan untuk memilih, jika bukan peranan baru, maka munghkin pengalaman baru. Beberapa orang memang telah mengalami “hak istimewa untuk menentukan nasib sendiri” untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka. Mereka ada yang memilih, atau dipaksa memilih untuk meninggalkan rumah tangga sendiri di daerah yang baru saja diduduki pasukan Belanda, harus pula menghadapi segala macam situasi hidup yang baru dan sukar. Wanita lain (mungkin sebagian besar dari mereka) tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari perjuangan revolusi, karena alasan jenis atau karena wanita merasa tidak praktis dalam situasi revolusi untuk berada di dekat suami mereka, walaupun mereka belum memiliki anak.
     Suasana revolusi pada tahun-tahun 1945-1949 memberikan kesempatan bagi segolongan kecil wanita kota yang berpendidikan untuk memainkan peranan baru dalam organisasi perjuangan, seperti para anggota Barisan Srikandi yang semuanya wanita dan berpusat di Jakarta. Namun, tampaknya masih ada sedikit wanita yang ikut berjuang dalam badan perjuangan, dan tidak hanya (walaupun terutama) memasak, mencuci dan membersih-bersihkan bagi para pemuda. Jauh lebih sukar bagi wanita untuk ikut serta dalam tentara republik yang umumnya pria sebagai prajurit. Wanita diharapkan duduk mengetik di belakang garis pertempuran atau bertindak sebagai kurir, dengan melanjutkan peranan peranan yang telah dimainkan wanita dalam gerakan bawah tanah anti Jepang ketika perang.
     Mengenai pers pada masa revolusi, pasang surut kehidupan pers di Indonesia mewarnai dinamika revolusi. Sebelum revolusi, telah ada kehidupan pers dengan munculnya surat kabar pada masa Belanda dan masa Jepang. Sedangkan pada masa revolusi, surat kabar yang muncul pertama kali adalah “merdeka”dengan B.M. Diah selalu pemimpin redaksi dan Rosihan Anwar selaku managing editor. Kehidupan pers mengalami pasang naik ketika keluar Maklumat November 1945 yang ditandatangani oleh wakil presiden Hatta dan menganjurkan agar rakyat membentuk partai-partai politik dan dengan demikian menghilangkan kesan bahwa Republik Indonesia tidak demokratis dan hanya mengenal satu partai negara. Hal ini menyebabkan munculnya surat kabar dimana-mana di Indonesia. walaupun kertasnya hanya kertas merang, terbuat dari kulit padi, walaupun percetakannya sangat sederhana, namun semua itu bukan halangan untuk menerbitkan surat kabar.
     Pada masa perundingan dengan Belanda di Linggarjati tahun 1946 dan di Renville tahun 1947, pers di pedalaman makin santer menyuarakan pendapat berbagai partai politik yang bresikap pro atau kontra terhadap politik berunding dengan Belanda. Pada tahun-tahun selanjutnya koran-koran partisan makin menjadi-jadi saling menghantam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang ideologis dari koran-koran tersebut maupun para pemihaknya, seperti clash antara koran sayap kiri dengan koran yang memihak Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Bukan saja koran-koran itu saling menghantam dalam berita dan tulisan, melainkan dengan menggunakan pasukan bersenjata dalam melakukan perebutan percetakan.
     Pada masa ini keadaan di kalangan pers pedalaman sangat ramai, yang melaksanakan kemerdekaan pers dengan semangat yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam sejarah Indonesia. pada masa revolusi itu pers mengenal dan melaksanakan kemerdekan pers.
     Mengenai kehidupan di sekitar revolusi, ketika terjadi revolusi terjadi peningkatan dinamika sosial, sistem dan struktur yang telah mapan dihancurkan, rakyat bergerak, terutama generasi muda. Bahkan nilai telah kehilangan keabsahannya, sedangkan pranata sosial mengalami kehancuran. Dalam situasi yang serba berubah itu, generasi yang telah mapan cenderung untuk berpegang teguh pada posisinya. Karena terikat pada struktur tertentu, mereka mengalami kendala dalam mobilitas. Karena seringkali menghadapi krisis, orang memiliki kesadaran yang lebih tajam bahwa segala sesuatu sedang berubah; orang mendapat suatu perasaan yang kuat mengenai kesementaraan. Rakyat berpartisipasi dalam perjuangan bukan karena ingin mendapatkan imbalan, akan tetapi dengan harapan untuk menyelesaikan revolusi itu dengan sebaik-baiknya. Ketika revolusi, terdapatlah situasi yang menimbulkan alternatif dan kesempatan untuk membuka “jalan hidup” yang akan dipilih.
     Bagian ketiga memuat penjelasan tentang situasi dan kejadian di beberapa daerah pada masa revolusi, sastra  pada masa revolusi, dan aspek ekonomi dalam revolusi. Revolusi yang menjalar di berbagai daerah menimbulkan semangat baru kepada para pemuda. Segera setelah gema revolusi mulai didengungkan, para pemuda mulai bergerak-secara simbolik, mereka mengibarkan bendera Merah Putih, dan secara riil mereka mendirikan barisan perjuangan, menduduki gedung pemerintahan, merampas senjata dan akhirnya menyerahkan roda pemerintahan kepada para pemimpin lokal. Hal ini dapat dijumpai di daerah seperti Semarang, Sulawesi Selatan dan Sumatra Timur (Sumatra Utara). Di Semarang, salah satu peristiwa penting pada masa revolusi adalah pertempuran lima hari antara organisasi pemuda dengan tentara Jepang. Sebab langsung dari peristiwa Semarang adalah masalah senjata. Sedangkan di Sulawesi Selatan, situasi revolusioner telah menyelimuti daerah tersebut. Ada dua jenis aliran gerakan atau aktivitas yang diikuti rakyat setempat :
1.      Arus politik dan diplomasi yang dipimpin oleh Gubernur Sulawesi, Dr. Ratulangi, yang didukung oleh partai-partai politik, seperti PNI. Mereka berusaha agar rakyat dapat mempertahankan kemerdekaan dengan cara damai, dan tidak menggunakan cara revolusioner, karena mereka tahu bahwa barisan perjuangan republik terlalu lemah apabila diperbandingkan dengan NICA/Belanda yang memiliki senapan dan persenjataan modern.
2.       Arus revolusioner, yang didukung oleh Persatuan Pemuda serta para pemuda yang terlatih baik dalam perang gerilya. Mereka tidak dapat mempercayai kehendak politik Belanda untuk membenarkan kemerdekaan Indonesia. karena itu mereka akan bertarung untuk kemerdekaan negara.
Di Sumatra Timur, muncul  laskar rakyat yang digalang oleh kelompok kiri (komunis), PKI. Di daerah ini juga timbul apa yang disebut “revolusi sosial” yang digerakkan oleh kaum kiri, dengan tujuan menghancurkan apa saja yang berbau ”kerajaan”, “kapitalis asing” dan “kaki tangan NICA”, dan mengendalikan pemerintahan di tangan mereka.
     Pada bagian ini juga menyoroti tentang aspek ekonomi pada masa revolusi. Ada beberapa karakteristik masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia dalam tiga fase perkembangannya. Pertama, periode awal revolusi (1945-1946), yaitu perjuangan mencarai dana perjuangan ditambah dengan perjuangan melawan kolonial Belanda, dan kemudian dengan Jepang dan sekutu. Salah satu ciri yang  paling menonjol pada masa ini ialah bahwa negara dalam keadaan lemah, tetapi masyarakat kuat. Karena itu, ketika cita-cita ekonomi nasional yang berorientasi kerakyatan dirumuskan oleh konseptornya, Bung Hatta, prioritas utama perekonomian nasional ialah pengambilalihan sumber-sumber strategis yang dikuasai oleh bekas penjajah. Usaha ini belum sepenuhnya berhasil mengingat lemahnya mekanisme kontrol pemerintah, di samping masih dominannya faktor non-ekonomi dalam suasan revolusi, di samping kurangnya modal, termasuk tenaga terampil dan keuangan yang morat-marit.
     Kedua, periode 1947-1948, yakni periode antara dua agresi militer Belanda. Periode ini ditandai oleh suasana terombang-ambing antara politik diplomasi dan fleksibilitas kekuatan ekonomi yang telah dibina sebelumnya. Kesulitan ekonomi akibat tindakan militer Belanda lebih banyak ditolong oleh subsidi dari rakyat. Inilah periode ketika banyak orang bukan lagi sekedar “ikut membantu perjuangan”, melainkan merekalah sesungguhnya aktor utama dalam menyokong dana perjuangan, selain ikut memanggul senjata di garis depan. Ketiga, periode terakhir (1948-1949), ketika konflik Indonesia-Belanda diselesaikan lewat jalan perundingan memunculkan pola transaksi dagang pro dan kontra Belanda dalam dunia bisnis swasta Indonesia.
     Mengenai sastra pada masa revolusi, sastra yang bermunculan pada masa tersebut pada dasarnya adalah sastra koran dan majalah, yang berkembang terutama di koran dan majalah dan tidak dalam bentuk buku. Pada masa revolusi cukup banyak cerita pendek dan sajak mengenai perang dan revolusi yang dimuat di majalah. Kebanyakan cerita pendek yang ditulis dan diterbitkan pada masa itu merupakan tanggapan dan penilaian yang spontan dari sastrawan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Impian, keyakinan, dan semangat kemerdekaan yang digambarkan dengan keterlibatan emosional yang tinggi serta sisi yang negatif pada masa itu, seperti penderitan, kepincangan sosial, korban perang, diekspresikan melalui sastra, yang melibatkan perasaan emosional dari para pengarangnya. Salah satu satrawan yang cukup terkenal, yang turut mengisi revolusi melalui karya-karyanya adalah Chairil Anwar.
     Bagian keempat berisi paparan yang melihat revolusi Indonesia dari perspektif perbandingan. Dalam hal ini revolusi Indonesia dikomparasikan dengan revolusi Vietnam melalui berbagai perspektif seperti perspektif pra-revolusi, perspektif internasional, dan perspektif nasional.
     Dalam perspektif pra revolusi, dapat ditinjau titik perbandingan utama seperti geografi, baik yang bersifat manusia maupun yang fisik, budaya pra-kolonial dan pengalaman kolonial Barat. Aspek geografi maksudnya Vietnam berada di benua, sedangkan Indonesia merupakan kepulauan; Vietnam lebih homogen dipandang dari segi etnis dan bahasa, sedangkan Indonesia lebih beragam. Mengenai budaya pra-kolonial, Vietnam memiliki budaya Konfusius dan Budhis, sedangkan Indonesia berbudaya Islam dan Hindu-Buddha; tradisi kerajaan dan konsep kekuasaan berbeda di Vietnam berbeda antara Vietnam dan Indonesia; elit tradisional Vietnam berdasarkan suatu sistem meritokrasi yang telah berkembang baik, sedangkan elit Indonesia berfungsi dengan cara dan prinsip yang berbeda pula. Pengalaman penjajahan kolonial juga mewarnai perspektif ini. Vietnam yang dijajah Perancis berbeda dengan Indonesia yang dijajah Belanda. Faktor-faktor tersebut sedikit banyak memiliki pengaruh bagi revolusi, baik di Indonesia maupun di Vietnam.
     Dalam perspektif internasional, suasana revolusi dapat dilihat dari praktek diplomasi yang dilakukan kedua negara dengan bekas negara yang menjajahnya. Ada kesan awal yang kuat bahwa orang Indonesia jauh lebih mahir dalam urusan diplomasi internasional daripada orang Vietnam. Mengenai perspektif nasional, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi dinamika revolusi di Vietnam maupun di Indonesia, antara lain kepemimpinan dan peranan militer. Di dalam faktor kepemimpinan, Sukarno dari Indonesia dan Ho Chi Minh dari Vietnam merupakan pemimpin dari masing masing negara, yang pada masa revolusi di negaranya masing-masing memiliki peranan yang cukup besar. Menenai peranan militer, di Vietnam kaum militer berada di bawah pemerintahan sipil, dikendalikan secara terpusat, dan merupakan aktivis secara politik, sedangkan di Indonesia militer berada di luar pengendalian sipil, pada umumnya tanpa memiliki pusat yang efektif, serta a-politis kalau tidak dikatakan anti politik.
     Mengenai perbandingan antar revolusi, revolusi Amerika Serikat adalah contoh yang baik berkenaan dengan basis ekonomi. Revolusi Perancis merupakan sebuah contoh yang baik bagi suatu revolusi sosial dan juga contoh klasik tentang bagaimana struktur sosial yang lama digeser secara fundamental, yang pada akhirnya mengakibatkan hancurnya rezim yang lama. Sifat khas revolusi Perancis adalah bahwa ia direalisasikan dengan kekerasan. Di Inggris, meski terdapat berbagai revolusi politik, namun perkembangan sosial berjalan lebih banyak melalui jalur revolusi. Dalam pengertian itu, revolusi Indonesia lebih dekat kepada revolusi politik yang terjadi di Inggris atau Amerika Serikat, daripada kepada revolusi sosial yang terjadi di Inggris, Rusia atau Cina. Ia merupakan sebuah revolusi politik dalam arti bahwa ia mengakibatkan pemindahan kekuasaan dan wewenang, dan membiarkan reformasi sosial yang dibutuhkan untuk dilaksanakan setelah tercapai kemerdekaan. Ini berarti, dalam hal revolusi Indonesia, pembangunan sosial tidak teremasuk dalam revolusi itu, dan diharapkan akan merupakan suatu perkembangan yang evolusioner. Dengan kata lain, untuk memahami revolusi baik politik maupun sosial harus memperhitungkan tatanan sosial yang melatarbelakangi kemunculannya, dan yang mendorong ke arah perkembangannya.

B.Tinjauan Kritis terhadap Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia

Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia merupakan buku yang cukup relevan untuk membahas tentang revolusi di Indonesia pada tahun 1945-1949. Buku ini merupakan kumpulan artikel dan hasil penelitian dari beberapa orang, yang diantaranya merupakan saksi langsung revolusi Indonesia. Kelebihan buku ini terletak pada pembahasannya yang meluas, tidak hanya berkutat di seputar revolusi fisik tetapi juga sisi-sisi lain di sekitarnya yang turut mewarnai dinamika revolusi itu sendiri, seperti kehidupan pers masa revolusi, aspek ekonomi dalam revolusi dan sastra pada masa revolusi. Hal ini dapat melengkapi fragmen-fragmen revolusi sehingga wawasan tentang revolusi Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek. Jika dikomparasikan dengan buku-buku lain yang mengupas juga tentang revolusi, maka buku ini menawarkan pengetahuan lain seputar revolusi sehingga kajian tentang revolusi dapat dimengerti dari berbagai sudut pandang.
     Buku ini dapat dikomparasikan dengan “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karya M.C. Ricklefs. Di dalam karyanya, Ricklefs juga membahas tentang Revolusi Indonesia. Ada persamaan antara buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia dengan buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 ketika membahas Revolusi Indonesia. Keduanya membahas revolusi dari berbagai segi, sepeti politik, ekonomi, sosial maupun militer. Sedangkan perbedaannya adalah dalam pembahasan tentang revolusi, Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, mengupas revolusi secara kronologis jadi paparannya disusun menurut babakan waktu terjadinya suatu peristiwa. Dalam buku  Denyut Nadi Revolusi Indonesia pembahasannya dibedakan berdasarkan topik-topik tertentu atau khusus sehingga lebih tematis. Selain itu, di dalam buku ini terdapat kenangan, pengalaman dan renungan dari salah satu pelaku sejarah yang dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga menambah wacana tentang revolusi. Hal ini tidak terdapat di dalam karya Ricklefs.
     Dilihat dari penggunaan sumber, kumpulan artikel dalam buku ini menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Hal ini dapat dilihat dari diikutsertakannya catatan kaki maupun sumber pustaka di bagian belakang buku ini. Akan tetapi di sisi lain terdapat tulisan yang tidak menyertakan sumber pustaka sebab tulisan tersebut merupakan pengalaman yang ditulis oleh salah seorang aktor sejarah.
     Komparasi yang lain dapat dilihat antara buku “Denyut Nadi Revolusi Indonesia” dengan buku “Pemahaman Sejarah Indonesia sebelum dan sesudah revolusi yang disunting oleh William H. Frederick dan Soeri Soeroto”. Kedua buku tersebut juga membahas tentang revolusi Indonesia, tetapi pembahasan yang ada di dalam buku “Pemahaman Sejarah Indonesia sebelum dan sesudah Revolusi” lebih sedikit dan berkisar pada aspek-aspek dan tema-tema umum revolusi, seperti politik dan  militer. Sedangkan buku “Denyut Nadi Revolusi Indonesia” menawarkan lebih banyak sisi-sisi lain di seputar revolusi yang belum banyak dibahas, seperti sastra masa revolusi dan perempuan masa revolusi. Perbedaan lainnya adalah mengenai penggunaan indeks. Buku pemahaman “Sejarah Indonesia sebelum dan sesudah Revolusi” menggunakan indeks sehingga lebih mudah  mencari point-point tertentu lebih cepat. Hal ini tidak dijumpai dalam buku “Denyut Nadi Revolusi Indonesia” yang tidak menyertakan indeks di bagian belakang buku tersebut.

C. Manfaat buku terhadap perkembangan Sejarah Kontemporer

Buku Denyut Nadi Revolusi Indonesia tidak hanya berisi renungan dan pengalaman aktor sejarah yang memiliki kenangan pribadi tetapi juga menyuguhkan berbagai studi yang belum banyak mendapat perhatian, seperti kepeloporan wanita dalam perang kemerdekaan, pembentukan barisan perjuangan di dalam negeri, sastra masa revolusi maupun revolusi dilihat dari kacamata perbandingan. Selain itu, buku ini menampilkan bagaimana perwujudan politik yang demokratis dalam suasana revolusi dan bagaimana revolusi dibiayai Hal ini dapat menambah wawasan tentang sejarah kontemporer Indonesia, khususnya mengenai Revolusi Indonesia serta dapat mengenal sejarah lebih akrab.

     Buku ini dapat digunakan untuk memahami revolusi dari berbagai segi dan sudut pandang. Bagi perkembangan sejarah kontemporer Indonesia buku ini menawarkan cita rasa lain dalam memandang suatu periode yang penting dalam sejarah Indonesia. hal ini tidak lepas dari beragamnya topik yang ditulis dalam buku ini. Periode yang dahsyat yang paling menentukan dalam sejarah bangsa Indonesia ini tak lepas dari kemungkinan melahirkan kesalahpahaman dan perbedaan sudut pandang, dan tulisan-tulisan dalam buku ini dapat menumbuhkan sikap “berdamai dengan sejarah”. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment