PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.2)
2. Periode Kebangkitan Kesadaran
Nasional (1911 – 1928)
Masa
kebangkitan dan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi
Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama di antara bangsa
Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa
organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana pekerjaan dan
seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga organisasi. Dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia
pada periode Budi Utomo, gerakan wanita baru berjuang untuk kedudukan sosial
saja. Soal-soal politik belum dalam jangkauannya. Mengenai kemerdekaan
tanah-air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya.
Kesibukan-kesibukan pada Periode Perintis di bidang pendidikan, pengajaran, dan
kerumahtanggaan masih berlanjut.
Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk
emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan
perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai
juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang
pertama di Jakarta "Putri Mardika" atas bantuan Budi Utomo. Kemudian
di Jawa Tengah seperti “Pawiyatan Wanito” di Magelang yang berdiri tahun 1915,
“Wanito Hadi” di Jepara tahun 1915, “Purborini” di Tegal tahun 1917, “Wanito
Susilo” di Pemalang tahun 1918, “Darmo Laksmi” di Salatiga, “Karti Woro” dan
“Budi Wanito” di Solo, “Wanito Kencono” di Banjarnegara, “Panti Krido Wanito”
di Pekalongan, dan “Kesumo Rini” di Kudus. Selain itu juga berdiri organisasi
“Wanito Rukun Santoso” di Malang, “Putri Budi Sejati” di Surabaya tahun 1919, “Wanito
Mulyo” di Yogyakarta tahun 1920, “Wanito Utomo” di Yogyakarta tahun 1921,
“Wanita Taman Siswa” tahun 1922, “Aisyiyah” di Yogyakarta tahun 1917, “Wanita
Katholik” di Yogyakarta tahun 1924, “Jong Islamiten Bond Dames Afdeeling” di
Jakarta tahun 1925.
Di pulau Sumatera berdiri
organisasi pergerakan wanita antara lain “KAS” (Kerajinan Amai Setia) yang
didirikan tahun 1914, “keutamaan Istri” di Medan, “Istri Sumatera”, “PARMI”
(Partai Muslimin Indonesia) Bagian Istri, “Persatuan Istri Andalas”, dan sebagainya.
Di Sulawesi berdiri organisasi-organisasi wanita antara lain “PIKAT”
(Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) di Menado tahun 1917, “Sarekat Rukun
Istri” di Makasar, dan sebagainya. Di Kalimantan berdiri organisasi “Wanito
Kencono”. Di Bali berdiri organisasi “Perukunan Istri Den Pasar” (KOWANI, 1978: 16-24).
Kesemuanya, baik
organisasi-organisasi bagian wanita dari organisasi partai umum, maupun
organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan menggalakkan
pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam
perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang
rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan
lamban. Penyebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, lagi pula
kadang-kadang juga tiadanya izin dari orang tua (di kalangan atas) atau diperlukan tenaga mereka untuk membantu orang tua (di kalangan bawah). Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat
kemajuan wanita.
Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi
wanita bertambah banyak. Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan
organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal
ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan
bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial
politik juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja.
Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah
perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial
politik seperti PKI, SI, Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian
wanita. Bagian wanita tersebut dalam penyebaran cita-cita tentu saja
mempertinggi hal- hal yang khusus mengenai kewanitaan.
Kemajuan gerakan wanita sesudah tahun
1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan wanita
kecil-kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat terutama kota-kota
terdapat perkumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920,
perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar
masalah kepandaian putri yang khusus dan berperan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Menjelang tahun 1928, organisasi wanita
berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita
pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah
politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari SI. (Sarekat- Islam),
PKI (Partai Komunis Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI
(Persatuan Muslimin Indonesia).
Walaupun masing-masing
organisasi yang bersifat kedaerahan dan keagamaan ini mempunyai masalah dan
kegiatan sendiri-sendiri, juga ada beberapa kesamaan kepentingan yang didukung
kebanyakan organisasi. Peranan seorang istri dan ibu “yang baik” sangat
diutamakan, dan agar bisa mengemban tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan
untuk memperoleh pendidikan yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat
diperlukan seperti menjahit pakaian dan mengasuh anak. Akan tetapi organisasi-organisasi wanita Kristen
dan “non-agama” di satu pihak, dan organisasi-organisasi wanita Islam di pihak
lain, dipisahkan sangat dalam dan menentukan oleh masalah sentral: poligami.
Organisasi wanita Kristen dan non-agama memandang poligami sebagai penghinaan
terhadap kaum wanita yang tidak bisa dimaafkan, dan justru karena itulah mereka
aktif berjuang melawannya, sementara organisasi-organisasi wanita Islam hanya
menginginkan perbaikan kondisi di dalam poligami, bukan menghapuskan lembaga
poligami itu sendiri.
Upaya-upaya untuk menyatukan gerakan wanita pun dilakukan dan hal itu antara
lain tercermin dari adanya penyelenggaraan musyawarah, kongres, dan lain-lain.
Masa yang amat penting dan menjadi titik balik
dari perjuangan gerakan wanita tersebut adalah pada tahun 1928. Saat di mana
diadakan Kongres Perempuan yang pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang
kemudian menjadi presiden Republik Indonesia, memberikan kata sambutan. Kongres
Perempuan Indonesia pertama diselenggarakan di Dalem Joyodipuran Yogyakarta
pada tanggal 22-25 Desember 1928, puncak kegiatan yang terjadi pada periode
ini, dua bulan setelah Kongres Pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda (Suratmin, 1991: 1). Setidaknya 600 perempuan berkumpul dari
22 organisasi perempuan di Jawa dan perwakilan dari Sumatra. Sebut saja Wanita
Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen
Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo, dan Wanita Taman Siswa. Dalam kongres
tersebut ada 15 pembicara dan ternyata hampir semuanya berasal dari organisasi
yang berbeda.
Adalah
Soejatin, Nyi Hadjar Dewantoro, dan R.A Soekonto yang menggagas perlu adanya
kongres perempuan. Soejatin, satu-satunya yang masih lajang dan baru berusia 21
tahun saat itu. Kongres tersebut terealisasikan berkat gagasan dari kelompok
guru perempuan yang masih muda dan sebelumnya tergabung dalam anggota Jong
Java. Perkara mengenai pemilihan tempat di Yogyakarta tak lepas dari anggota
Jong Java tersebut yang mendirian cabang organisasi Poetri Indonesia di
Yogyakarta.
Terselenggarakannya
Kongres Perempuan I itu tak lepas wacana yang dibahas dalam Kongres
Pemuda I pada tahun 1926. Setelah penyelenggaraan Kongres Pemuda II pada
tahun 1928, dirasa perlu untuk membuat suatu forum di mana perempuan dari berbagai
macam organisasi berkumpul. Hal itu merupakan desakan dari masa itu.
Kongres ini merupakan lembaran
sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, dimana organisasi wanita menggalang
kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri
utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia pada masa ini ialah berazaskan
kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok
permasalahan yang dibicarakan diantaranya ialah kedudukan wanita dalam
perkawinan, poligami dan koedukasi (Wieringa, 1999: 129-130).
Kongres menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan
kepada pemerintah Nederlands Indie, yaitu:
1.
Menambah
sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
- Pada waktu nikah supaya pemberian keterangan
mengenai taklik (janji dan syarat-syarat perceraian).
- Supaya diadakan peraturan untuk memberi
sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.
Hampir tiga puluh organisasi wanita hadir
pada kongres ini. Mosi mengenai reformasi perkawinan dan pendidikan diterima.
Tetapi, lagi-lagi ketegangan timbul antara organisasi-organisasi wanita Islam
yang menentang koedukasi (lelaki dan wanita bersekolah bersama-sama, dalam satu
kelas) dan penghapusan poligami dengan organisasi-organisasi wanita nasional
dan Kristen. Sebagai jalan keluar kemudian dibentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI),
yang merupakan federasi organisasi-organisasi wanita Indonesia. Pada tahun
berikutnya di Jakarta, nama federasi ini diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan
Istri Indonesia (PPII). PPII menerbitkan majalah sendiri, sangat giat di bidang
pendidikan, dan membentuk panitia penghapusan perdagangan wanita dan anak-anak.
Satu-satunya organisasi wanita yang tidak hadir pada sidang-sidang nasional
organisasi-organisasi wanita yang tergabung dalam PPII ialah Isteri Sedar.
Isteri Sedar adalah organisasi wanita yang paling radikal pada zaman itu.
Organisasi ini tidak mau berkompromi mengenai masalah-masalah poligami dan
perceraian, yang menimbulkan perbedaan mendalam di antara organisasi-organisasi
wanita Islam dan lain-lainnya (Wieringa, 1999: 131).
Kongres Perempuan Indonesia berikutnya
diadakan di Jakarta (1935), Bandung (1938), dan Semarang (1941), dalam mana
perjuangan nasional berangsung-angsur semakin menonjol. Dalam kongres 1935
terbentuklah Kongres Perempuan Indonesia (KPI), dan dengan demikian PPII
dibubarkan. Perhatian tertentu ditujukan kepada kaum wanita dan golongan
miskin, tetapi keanggotaan masih berasal dari lapisan atas, dan tuntutan yang
disuarakan pun sebagian besar masih diarahkan pada kepentingan kaum wanita
golongan atas. Pada saat pelaksanaan KPI III
di Bandung pada tanggal 23-27 Juli 1938, diantaranya berhasil diputuskan
bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu bagi bangsa Indonesia
(KOWANI, 1978: 45-55). Untuk mengenangnya, kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Nasional (Primariantari, 1998: 34).
Mengenai Hari Kebangkitan Perempuan pada 22 Desember ini, Wardah Hafid dan
Tati Krisnawaty (1989: 54) berpendapat sebagai berikut:
“Tanggal pembukaan Kongres ini, 22 Desember 1928, pada
kongres ketiga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan dan pada tahun
1959 oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No.
316/1959). Namun, dalam perkembangannya tanggal ini akhirnya lebih lazim
dikenal sebagai Hari Ibu yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara-
negara Barat yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut,
yang memang merupakan pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk
bersatu dan memperjuangkan nasib kaum dan bangsanya. Di sini yang terjadi
adalah distorsi sejarah yang kemungkinan besar mencerminkan berubahnya
pandangan dan aspirasi tentang gerakan perempuan, tapi sangat bisa jadi juga
karena dengan sengaja dilakukan untuk kepentingan-kepentingan, yang sifatnya
politis terutama setelah peristiwa 30 September 1965 yang selain membabat
pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) juga Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia), gerakan perempuan yang merakyat dan banyak menyuarakan serta
berorientasi kepada kepentingan perempuan kelas bawah pada masa itu. Selain
itu, berkaitan dengan usaha penjinakan kaum perempuan, besar kemungkinan nama
hari ini dengan sengaja diganti dan dikacaukan pengertiannya menjadi hari untuk
pengabdian ibu. Dengan demikian nilai-nilai mengabdi dan berkorban bagi ibu
akan lebih mudah ditanamkan.”
Gerakan Wanita Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media-massa bagi
perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah berfungsi untuk
menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan sebagai sarana praktis pendidikan dan
pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa Belanda,
bahasa Sunda atau bahasa Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan
majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang
berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang
kebudayaan.
Majalah pertama "Putri Hindia" terbit pada tahun 1909 di Bandung,
terbit dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo.
Hingga tahun 1925 sudah diterbitkan sebelas macam media-massa (koran, majalah)
yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Misalnya “Sunting Melayu” diterbitkan
di Padang pada 10 Juli 1912. Surat kabar yang terbit tiga kali seminggu itu
merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami,
berisi masalah-masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara
menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920
pemimpin redaksinya ialah Rohana Kudus. Di Pacitan, kota kecil di pantai Samudera Indonesia di
daerah Madiun, terbit pada tahun 1913 surat kabar bernama “Wanito Sworo”
dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian
sebagian berbahasa Melayu.
Pada tahun 1914 di Jakarta terbit “Putri Mardika” sebagai majalah bulanan.
Artikel-artikel ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa. "Putri
Mardika" berhaluan maju. Masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki
dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan
pengajaran dan lain-lain merupakan bahan perdebatan. Pada tahun 1918 di Bandung
diterbitkan edisi Sunda dengan nama “Penuntun Istri”. Di Semarang terbit "Istri Utomo”.
Dan di Padang "Suara Perempuan” dengan redaksi seorang guru wanita bernama
Saáda. “Perempuan Bergerak” diterbitkan di Medan dengan pimpinan redaksi
Satiaman Parada Harahap yang pada tahun 1920 diperkuat oleh Rahana. Di Menado terbit majalah bulanan
"Pikat”. Sementara itu Aisyiah mengeluarkan "Suara Aisyiah" pada
tahun 1925. Di Bandung "Istri Mardika" diterbitkan dalam bahasa
Sunda. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment