History

History
"History Make Me Happy"

Tuesday 16 August 2016

PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.2)

2. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 – 1928)
Masa kebangkitan dan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama di antara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia pada periode Budi Utomo, gerakan wanita baru berjuang untuk kedudukan sosial saja. Soal-soal politik belum dalam jangkauannya. Mengenai kemerdekaan tanah-air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada Periode Perintis di bidang pendidikan, pengajaran, dan kerumahtanggaan masih berlanjut.
Dalam pada itu pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya, dan perhatian kaumnya pada periode kebangkitan dan kesadaran nasional ini mulai juga untuk meningkatkan perjuangan wanita. Pada tahun 1912 muncul organisasi wanita yang pertama di Jakarta "Putri Mardika" atas bantuan Budi Utomo. Kemudian di Jawa Tengah seperti “Pawiyatan Wanito” di Magelang yang berdiri tahun 1915, “Wanito Hadi” di Jepara tahun 1915, “Purborini” di Tegal tahun 1917, “Wanito Susilo” di Pemalang tahun 1918, “Darmo Laksmi” di Salatiga, “Karti Woro” dan “Budi Wanito” di Solo, “Wanito Kencono” di Banjarnegara, “Panti Krido Wanito” di Pekalongan, dan “Kesumo Rini” di Kudus. Selain itu juga berdiri organisasi “Wanito Rukun Santoso” di Malang, “Putri Budi Sejati” di Surabaya tahun 1919, “Wanito Mulyo” di Yogyakarta tahun 1920, “Wanito Utomo” di Yogyakarta tahun 1921, “Wanita Taman Siswa” tahun 1922, “Aisyiyah” di Yogyakarta tahun 1917, “Wanita Katholik” di Yogyakarta tahun 1924, “Jong Islamiten Bond Dames Afdeeling” di Jakarta tahun 1925.
Di pulau Sumatera berdiri organisasi pergerakan wanita antara lain “KAS” (Kerajinan Amai Setia) yang didirikan tahun 1914, “keutamaan Istri” di Medan, “Istri Sumatera”, “PARMI” (Partai Muslimin Indonesia) Bagian Istri, “Persatuan Istri Andalas”, dan sebagainya. Di Sulawesi berdiri organisasi-organisasi wanita antara lain “PIKAT” (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) di Menado tahun 1917, “Sarekat Rukun Istri” di Makasar, dan sebagainya. Di Kalimantan berdiri organisasi “Wanito Kencono”. Di Bali berdiri organisasi “Perukunan Istri Den Pasar” (KOWANI, 1978: 16-24).
Kesemuanya, baik organisasi-organisasi bagian wanita dari organisasi partai umum, maupun organisasi-organisasi lokal kesukuan/kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi wanita, dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumahtangga. Gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Penyebabnya ialah sangat kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, lagi pula kadang-kadang juga tiadanya izin dari orang tua (di kalangan atas) atau diperlukan tenaga mereka untuk membantu orang tua (di kalangan bawah). Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.
Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi wanita bertambah banyak. Kesediaan mereka untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun bertambah maju. Hal ini disebabkan karena kesempatan belajar makin meluas dan berkembang ke lapisan bawah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu bergerak di bidang sosial politik juga bertambah luas dan tidak lagi terbatas kepada lapisan atas saja. Oleh sebab semuanya itu, maka sesudah tahun 1920 dapat dilihat jumlah perkumpulan wanita bertambah banyak sekali, bahkan organisasi-organisasi sosial politik seperti PKI, SI, Muhammadiyah dan Sarekat Ambon mempunyai bagian wanita. Bagian wanita tersebut dalam penyebaran cita-cita tentu saja mempertinggi hal- hal yang khusus mengenai kewanitaan.
Kemajuan gerakan wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan wanita kecil-kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat terutama kota-kota terdapat perkumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus dan berperan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak, terutama yang menjadi bagian dari SI. (Sarekat- Islam), PKI (Partai Komunis Indonesia), PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia).
Walaupun masing-masing organisasi yang bersifat kedaerahan dan keagamaan ini mempunyai masalah dan kegiatan sendiri-sendiri, juga ada beberapa kesamaan kepentingan yang didukung kebanyakan organisasi. Peranan seorang istri dan ibu “yang baik” sangat diutamakan, dan agar bisa mengemban tugasnya dengan baik kaum wanita dianjurkan untuk memperoleh pendidikan yang baik, dan mempelajari keterampilan yang sangat diperlukan seperti menjahit pakaian dan mengasuh anak. Akan tetapi organisasi-organisasi wanita Kristen dan “non-agama” di satu pihak, dan organisasi-organisasi wanita Islam di pihak lain, dipisahkan sangat dalam dan menentukan oleh masalah sentral: poligami. Organisasi wanita Kristen dan non-agama memandang poligami sebagai penghinaan terhadap kaum wanita yang tidak bisa dimaafkan, dan justru karena itulah mereka aktif berjuang melawannya, sementara organisasi-organisasi wanita Islam hanya menginginkan perbaikan kondisi di dalam poligami, bukan menghapuskan lembaga poligami itu sendiri. Upaya-upaya untuk menyatukan gerakan wanita pun dilakukan dan hal itu antara lain tercermin dari adanya penyelenggaraan musyawarah, kongres, dan lain-lain.
Masa yang amat penting dan menjadi titik balik dari perjuangan gerakan wanita tersebut adalah pada tahun 1928. Saat di mana diadakan Kongres Perempuan yang pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang kemudian menjadi presiden Republik Indonesia, memberikan kata sambutan. Kongres Perempuan Indonesia pertama diselenggarakan di Dalem Joyodipuran Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928, puncak kegiatan yang terjadi pada periode ini, dua bulan setelah Kongres Pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda (Suratmin, 1991: 1). Setidaknya 600 perempuan berkumpul dari 22 organisasi perempuan di Jawa dan perwakilan dari Sumatra. Sebut saja Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo, dan Wanita Taman Siswa. Dalam kongres tersebut ada 15 pembicara dan ternyata hampir semuanya berasal dari organisasi yang berbeda.
Adalah Soejatin, Nyi Hadjar Dewantoro, dan R.A Soekonto yang menggagas perlu adanya kongres perempuan. Soejatin, satu-satunya yang masih lajang dan baru berusia 21 tahun saat itu. Kongres tersebut terealisasikan berkat gagasan dari kelompok guru perempuan yang masih muda dan sebelumnya tergabung dalam anggota Jong Java. Perkara mengenai pemilihan tempat di Yogyakarta tak lepas dari anggota Jong Java tersebut yang mendirian cabang organisasi Poetri Indonesia di Yogyakarta.
Terselenggarakannya Kongres Perempuan I itu tak lepas wacana yang dibahas dalam  Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Setelah penyelenggaraan Kongres Pemuda II  pada tahun 1928, dirasa perlu untuk membuat suatu forum di mana perempuan dari berbagai macam organisasi berkumpul. Hal itu merupakan desakan dari masa itu.
Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, dimana organisasi wanita menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan wanita Indonesia pada masa ini ialah berazaskan kebangsaan dan menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan diantaranya ialah kedudukan wanita dalam perkawinan, poligami dan koedukasi (Wieringa, 1999: 129-130).
Kongres menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Nederlands Indie, yaitu:
1.      Menambah sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
  1. Pada waktu nikah supaya pemberian keterangan mengenai taklik (janji dan syarat-syarat perceraian).
  2. Supaya diadakan peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah.
Hampir tiga puluh organisasi wanita hadir pada kongres ini. Mosi mengenai reformasi perkawinan dan pendidikan diterima. Tetapi, lagi-lagi ketegangan timbul antara organisasi-organisasi wanita Islam yang menentang koedukasi (lelaki dan wanita bersekolah bersama-sama, dalam satu kelas) dan penghapusan poligami dengan organisasi-organisasi wanita nasional dan Kristen. Sebagai jalan keluar kemudian dibentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang merupakan federasi organisasi-organisasi wanita Indonesia. Pada tahun berikutnya di Jakarta, nama federasi ini diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia (PPII). PPII menerbitkan majalah sendiri, sangat giat di bidang pendidikan, dan membentuk panitia penghapusan perdagangan wanita dan anak-anak. Satu-satunya organisasi wanita yang tidak hadir pada sidang-sidang nasional organisasi-organisasi wanita yang tergabung dalam PPII ialah Isteri Sedar. Isteri Sedar adalah organisasi wanita yang paling radikal pada zaman itu. Organisasi ini tidak mau berkompromi mengenai masalah-masalah poligami dan perceraian, yang menimbulkan perbedaan mendalam di antara organisasi-organisasi wanita Islam dan lain-lainnya (Wieringa, 1999: 131).
Kongres Perempuan Indonesia berikutnya diadakan di Jakarta (1935), Bandung (1938), dan Semarang (1941), dalam mana perjuangan nasional berangsung-angsur semakin menonjol. Dalam kongres 1935 terbentuklah Kongres Perempuan Indonesia (KPI), dan dengan demikian PPII dibubarkan. Perhatian tertentu ditujukan kepada kaum wanita dan golongan miskin, tetapi keanggotaan masih berasal dari lapisan atas, dan tuntutan yang disuarakan pun sebagian besar masih diarahkan pada kepentingan kaum wanita golongan atas. Pada saat pelaksanaan KPI III  di Bandung pada tanggal 23-27 Juli 1938, diantaranya berhasil diputuskan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu bagi bangsa Indonesia (KOWANI, 1978: 45-55). Untuk mengenangnya, kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Nasional (Primariantari, 1998: 34).
Mengenai Hari Kebangkitan Perempuan pada 22 Desember ini, Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty (1989: 54) berpendapat sebagai berikut:
“Tanggal pembukaan Kongres ini, 22 Desember 1928, pada kongres ketiga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan dan pada tahun 1959 oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959). Namun, dalam perkembangannya tanggal ini akhirnya lebih lazim dikenal sebagai Hari Ibu yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara- negara Barat yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut, yang memang merupakan pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib kaum dan bangsanya. Di sini yang terjadi adalah distorsi sejarah yang kemungkinan besar mencerminkan berubahnya pandangan dan aspirasi tentang gerakan perempuan, tapi sangat bisa jadi juga karena dengan sengaja dilakukan untuk kepentingan-kepentingan, yang sifatnya politis terutama setelah peristiwa 30 September 1965 yang selain membabat pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) juga Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), gerakan perempuan yang merakyat dan banyak menyuarakan serta berorientasi kepada kepentingan perempuan kelas bawah pada masa itu. Selain itu, berkaitan dengan usaha penjinakan kaum perempuan, besar kemungkinan nama hari ini dengan sengaja diganti dan dikacaukan pengertiannya menjadi hari untuk pengabdian ibu. Dengan demikian nilai-nilai mengabdi dan berkorban bagi ibu akan lebih mudah ditanamkan.”
Gerakan Wanita Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media-massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa Belanda, bahasa Sunda atau bahasa Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan.
Majalah pertama "Putri Hindia" terbit pada tahun 1909 di Bandung, terbit dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun 1925 sudah diterbitkan sebelas macam media-massa (koran, majalah) yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Misalnya “Sunting Melayu” diterbitkan di Padang pada 10 Juli 1912. Surat kabar yang terbit tiga kali seminggu itu merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami, berisi masalah-masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya ialah Rohana Kudus. Di Pacitan, kota kecil di pantai Samudera Indonesia di daerah Madiun, terbit pada tahun 1913 surat kabar bernama “Wanito Sworo” dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu.
Pada tahun 1914 di Jakarta terbit “Putri Mardika” sebagai majalah bulanan. Artikel-artikel ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa. "Putri Mardika" berhaluan maju. Masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran dan lain-lain merupakan bahan perdebatan. Pada tahun 1918 di Bandung diterbitkan edisi Sunda dengan nama “Penuntun Istri”. Di Semarang terbit "Istri Utomo”. Dan di Padang "Suara Perempuan” dengan redaksi seorang guru wanita bernama Saáda. “Perempuan Bergerak” diterbitkan di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap yang pada tahun 1920 diperkuat oleh Rahana. Di Menado terbit majalah bulanan "Pikat”. Sementara itu Aisyiah mengeluarkan "Suara Aisyiah" pada tahun 1925. Di Bandung "Istri Mardika" diterbitkan dalam bahasa Sunda. (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment