TEORI
PSIKOLOGI SELF IN RELATION DAN
TERBENTUKNYA IDENTITAS SOSIAL
Teori psikologi self in relation memiliki makna bahwa identitas individu yang tampil dalam setiap
interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri
individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu
kelompok sosial, di mana di dalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi
penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya. Seorang
individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak satu dalam
kehidupannya. Individu merupakan bagian dari kelompok tertentu baik disadari
maupun tidak disadari. Teori ini memberi
perhatian pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih
besar lagi (masyarakat).
Manusia sebagai
pribadi tidak dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu saja tanpa sekaligus
menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Kita tidak dapat membugkusnya ke
dalam satu kesatuan individu saja, yang tidak pernah bersinggungan dengan
lingkungan. Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan
kelompok. Adanya identitas dapat lebih memudahkan manusia menggambar keberadaan
sesuatu sehingga dapat memberikan kemudahan manusia untuk bertindak.
Individu dan
masyarakat dapat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang
dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Bagi setiap
peran yang seseorang tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, ia
mempunyai definisi tentang diri mereka sendiri yang berbeda dengan diri orang
lain, yang dinamakan “identitas”. Pembentukannya dipengaruhi oleh orang lain
dalam proses interaksi sosial.
Manusia bukanlah makhluk yang pasif, menerima begitu saja keberadaan dirinya dan tidak butuh pengenalan diri. Manusia itu adalah makhluk yang dapat mengenal dan memikirkan situasi yang ada, melakukan sesuatu, berefleksi, menegaskan, bereaksi, dan berkreasi. Namun demikian, manusia tidak serta merta memilih akan identitasnya berasalkan dari pemikirannya pribadi tanpa tekanan dari luar. Masyarakat pun memberikan andil akan identitasnya. Ini karena identitas berasal dari interaksi individu dengan masyarakat. Dengan interaksi itu dia dapat mengetahui identitas mana yang cocok untuk dirinya.
Jika seseorang
memiliki banyak peran, maka ia juga memiliki banyak identitas. Perilaku
seseorang dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan
identitas dirinya, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan orang
tersebut. Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental
dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan seperti “siapakah anda?” sebenarnya
selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya
menentukan bentuk interaksi sosialnya.
Setiap
individu memerlukan identitas untuk memberinya penghargaan (recognition) dari pihak lain dan
persamaan sosial (social equality). Bahkan
dalam keadaan di mana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai
anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi
pada identitas /kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya
ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah
kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit
putih.
Di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis
terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut
negara, ras, kelas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain
sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu
kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur
sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan
kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki
identitas sosial yang positif. Hal tersebut dalam rangka mendapatkan pengakuan.
Dalam pandangan teori identitas, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang
positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan
individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui
proses. Proses perbandingan sosial (social
comparison) merupakan serangkaian pembandingan dengan orang/ kelompok lain
yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang
identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain. Hal ini menunjukkan
sebuah dialektika antara individu dengan masyarakat.
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan
identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas
sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok.
Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas
sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial.
Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah
ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika
peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk
mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan
status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser
statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih
atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra
mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment