History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.2)

B. Sejarah Penelitian folklor Jepang dan Indonesia
Seperti halnya di Indonesia, folklor sudah lama dikumpulkan orang di Jepang, terutama oleh ahli-ahli dari kalangan ilmu humaniora. Perbedaannya, di Jepang sejak dahulu para pengumpulnya adalah orang Jepang sendiri. Sedangkan di Indonesia, para pengumpulnya pada masa lalu pada umumnya orang Eropa, terutama orang Belanda. Selain itu di Indonesia bahan-bahan folklor dikumpulkan bukan oleh ahli-ahli folklor, melainkan oleh ahli-ahli dari disiplin lain seperti filologi, antropologi budaya, musikologi, teologi, para pegawai pangreh praja kolonial Belanda dan sebagainya. Sedangkan di Jepang folklor sudah dikumpulkan oleh ahli yang menyebutkan dirinya ahli atau pencinta folklor.

     Penelitian folklor yang pertama kali dilakukan pada tahun1910, dan pada tahun 1930 folklor Jepang telah menjadi suatu disiplin tersendiri, dan telah mendapatkan pengakuan secara formal oleh masyarakatnya. Sekarang ilmu ini di Jepang telah berkembang secara mantap serta menjadi dewasa. Folklor telah dikumpukan sejak tahun 1910, karena pada tahun tersebut, seseoran yang bernama Yanagita Kunio (ahli folklor Jepang) telah mengumpulkan dan menerbitkan bukunya yang berjudul Tono Monogatari (Legenda-legenda Berasal dari Tono), suatu buku yang di kemudian hari menjadi karya kesusastraan dan folklor klasik. Sedangkan tahun 1930 dapat dianggap sebagai titik pangkal berdirinya ilmu folklor secara formal, karena pada tahun itu telah timbul kegiatan-kegiatan untuk mengadakan penelitian folklor.
     Di Indonesia kondisinya berbeda, walaupun sudah lama dikumpulkan orang serta dipublikasikan, para pengumpulnya ialah ahli-ahli lain dari disiplin lain pula, dan bukan dari ahli yang menyebut dirinya ahli folklor. Hal ini dapat dipahami, mengingat Indonesia pernah dijajah sekian lama oleh Belanda, Inggris, dan Portugis. Di negeri Belanda sendiri, folklor berarti ilmu mengenai kebudayaan tradisi dari para petani pedesaan di Eropa, sedangkan kebudayaan lisan maupun bukan lisan dari orang Ero-Amerika (Amerika Putih) bukan merupakan folklor.
     Bagi sarjana Belanda pada masa penjajahan dahulu, kebudayaan suku-suku bangsa di Hindia Belanda meerupakan kebudayaan “primitif”. Ahli-ahli yang menelitinya adalah para Indolog (sekarang Antropolog), sedangkan ilmunya disebut Antropologi, atau oleh orang Belanda disebut Volkenkunde. Sedangkan istilah folklor dalam bahasa Belanda yaitu Volkskunde. Jadi walaupun bahan-bahan folklor Indonesia sudah lama dikumpulkan serta diteliti orang, namun para peneliti tersebut bukan terdiri dari ahli folklor, malainkan para ahli dari disiplin ilmu lain. Perbedaaan lainnya yaitu bahwa folklor sebagai suatu disiplin yang berdiri sendiri di Indonesia baru dibentuk pada tahun 1972, ketika untuk pertama kalinya folklor dijadikan mata kuliah resmi pada jurusan Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment