FOLKLOR INDONESIA DAN JEPANG: SEBUAH PERBANDINGAN
(Bag.2)
B. Sejarah Penelitian folklor Jepang dan Indonesia
Seperti halnya di Indonesia, folklor sudah
lama dikumpulkan orang di Jepang, terutama oleh ahli-ahli dari kalangan ilmu
humaniora. Perbedaannya, di Jepang sejak dahulu para pengumpulnya adalah orang
Jepang sendiri. Sedangkan di Indonesia, para pengumpulnya pada masa lalu pada
umumnya orang Eropa, terutama orang Belanda. Selain itu di Indonesia
bahan-bahan folklor dikumpulkan bukan oleh ahli-ahli folklor, melainkan oleh
ahli-ahli dari disiplin lain seperti filologi, antropologi budaya, musikologi,
teologi, para pegawai pangreh praja kolonial Belanda dan sebagainya. Sedangkan
di Jepang folklor sudah dikumpulkan oleh ahli yang menyebutkan dirinya ahli
atau pencinta folklor.
Penelitian
folklor yang pertama kali dilakukan pada tahun1910, dan pada tahun 1930 folklor
Jepang telah menjadi suatu disiplin tersendiri, dan telah mendapatkan pengakuan
secara formal oleh masyarakatnya. Sekarang ilmu ini di Jepang telah berkembang
secara mantap serta menjadi dewasa. Folklor telah dikumpukan sejak tahun 1910,
karena pada tahun tersebut, seseoran yang bernama Yanagita Kunio (ahli
folklor Jepang) telah mengumpulkan dan menerbitkan bukunya yang berjudul Tono
Monogatari (Legenda-legenda Berasal dari Tono), suatu buku yang di kemudian
hari menjadi karya kesusastraan dan folklor klasik. Sedangkan tahun 1930 dapat
dianggap sebagai titik pangkal berdirinya ilmu folklor secara formal, karena
pada tahun itu telah timbul kegiatan-kegiatan untuk mengadakan penelitian
folklor.
Di
Indonesia kondisinya berbeda, walaupun sudah lama dikumpulkan orang serta dipublikasikan,
para pengumpulnya ialah ahli-ahli lain dari disiplin lain pula, dan bukan dari
ahli yang menyebut dirinya ahli folklor. Hal ini dapat dipahami, mengingat
Indonesia pernah dijajah sekian lama oleh Belanda, Inggris, dan Portugis. Di
negeri Belanda sendiri, folklor berarti ilmu mengenai kebudayaan tradisi dari
para petani pedesaan di Eropa, sedangkan kebudayaan lisan maupun bukan lisan
dari orang Ero-Amerika (Amerika Putih) bukan merupakan folklor.
Bagi
sarjana Belanda pada masa penjajahan dahulu, kebudayaan suku-suku bangsa di
Hindia Belanda meerupakan kebudayaan “primitif”. Ahli-ahli yang menelitinya
adalah para Indolog (sekarang Antropolog), sedangkan ilmunya disebut
Antropologi, atau oleh orang Belanda disebut Volkenkunde. Sedangkan
istilah folklor dalam bahasa Belanda yaitu Volkskunde. Jadi walaupun
bahan-bahan folklor Indonesia sudah lama dikumpulkan serta diteliti orang,
namun para peneliti tersebut bukan terdiri dari ahli folklor, malainkan para
ahli dari disiplin ilmu lain. Perbedaaan lainnya yaitu bahwa folklor sebagai
suatu disiplin yang berdiri sendiri di Indonesia baru dibentuk pada tahun 1972,
ketika untuk pertama kalinya folklor dijadikan mata kuliah resmi pada jurusan
Antropologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment