History

History
"History Make Me Happy"

Wednesday 17 August 2016

KIAI DAN PENDIDIKAN
Perspektif historis menempatkan pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khasanah perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Abdurrahman Wahid (dalam Sulthon dan Khusnuridlo, 2006:22) menempatkan pesantren sebagai sebuah subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Bertolak dari pandangan ini, tidak terlalu berlebihan apabila pesantren diposisikan sebagai salah satu elemen determinan dalam struktur piramida sosial masyarakat Indonesia. Adanya posisi penting yang disandang pesantren menuntutnya untuk memainkan peran penting dalam proses pembangunan sosial.
    Salah satu sektor penting dalam pembangunan sosial yang mendapatkan perhatian serius hampir dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan adalah aspek pendidikan. Terkait dengan pembangunan di bidang pendidikan, pesantren dalam praktisnya, sudah memainkan peran penting dalam setiap proses pelaksanaan kegiatan tersebut. Para kiai dan/atau ulama yang selama ini menjadi figur dalam masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar sosok yang dikenal sebagai guru, senantiasa peduli dengan lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya. Mereka biasanya memiliki komitmen tersendiri untuk turut melakukan gerakan transformasi sosial melalui pendekatan keagamaan. Pada esensinya, dakwah yang dilakukan kiai sebagai medium transformasi sosial keagamaan itu diorientasikan kepada pemberdayaan-salah satunya-aspek kognitif masyarakat. Pendirian lembaga pendidikan pesantren yang menjadi ciri khas dari gerakan transformasi sosial keagamaan para kiai menandakan peran penting mereka dalam pembangunan sosial secara umum melalui media pendidikan.
     Nurcholis Madjid (dalam Sulthon dan Khusnuridlo, 2006: 113)  menjelaskan setidaknya ada dua belas prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren, yaitu:
1.      Teosentrik
2.      Ikhlas dalam pengabdian
3.      Kearifan
4.      Kesederhanaan (sederhana bukan berarti miskin)
5.      Kolektifitas (barakatul jama’ah)
6.      Mengatur kegiatan bersama
7.      Kebebasan terpimpin
8.      Kemandirian
9.      Tempat menuntut ilmu dan mengabdi (thalabul ‘ilmi lil ‘ibadah)
10.  Mengamalkan ajaran agama
11.  Belajar di pesantren bukan untuk mencari sertifikat/ijazah saja, dan
12.  Kepatuhan terhadap kiai
     Melihat prinsip-prinsip yang khas di atas, tidak tepat kiranya jika menilai pesantren dengan tolok ukur atau kaca mata non pesantren. misalnya, dalam prestasi akademik, pesantren selalu identik dengan nilai-nilai moral dan etik. Kualitas prestasi santri sering diukur dengan tolok ukur akademis dan kesalihan (kualitatif), bukan indikator-indikator kuantitatif.
     Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama (educational institution-based religion/al-diniyyah al tarbawiyah), pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan santri untuk mendalami ajaran dan penyiaran agama Islam, sebagaimana yang digamabarkan Nurcholish Madjid dalam ciri-ciri di atas. Namun dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi disiplin keagamaan), tetapi juga monilitas horizontal (kesadaran sosial) (Haedari dan El-Saha, 2004:5).
     Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi sudah mulai menerapkan kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Pergeseran orientasi semacam ini tidak berarti memudarkan identitas pesantren dengan segala keunikannya, melainkan justru mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya adalah lembaga milik masyarakat yang berorientasi kepada masyarakat dan dikembangkan atas swadaya masyarakat.
     Implikasi dari kenyataan di atas, kiai memiliki peranan sebagai penjaga tradisi sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change) pesantren serta menjembatani pesantren dengan dunia luar. Peranan kiai digambarkan secara menarik oleh Edy Supriyono sebagai berikut :
            “Dalam proses perkembangan pesantren, peran kiai tidak hanya sebagai pengambil keputusan akhir, tetapi juga sebagai broker budaya (cultural brokers). Broker budaya ini menggambarkan peran kiai sebagai peneliti, penyaring, dan assimilator aspek-aspek kebudayaan yang datang dari luar pesantren, dari awal perkembangannya sampai saat ini sehingga mampu memasukkan nilai-nilai budaya yang baru terhadap nilai-nilai yang telah ada di pesantren. Walaupun peran ini secara kultural tidak bersifat kreatif dan hanya bersifat reaktif, tetapi peran kiai sangat menentukan kehidupan pesantren (Supriyono dalam Affan Hasyim, 2003:29).
    Gambaran di atas menunjukkan bagaimana sentralnya kedudukan kiai di pesantren dalam pengembangan suatu pesantren. Dapat dikatakan kiai merupakan pusat seluruh kebijakan maupun perubahan, termasuk dalam aspek pendidikan. Pengaruh kiai merasuk hampir ke seluruh sendi kehidupan pesantren. Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan fenomena semacam ini (Dhofier, 1994; Romas, 2004). (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment