KIAI DAN PENDIDIKAN
Perspektif historis menempatkan
pesantren pada posisi yang cukup istimewa dalam khasanah perkembangan sosial
budaya masyarakat Indonesia. Abdurrahman Wahid (dalam Sulthon dan Khusnuridlo,
2006:22) menempatkan pesantren sebagai sebuah subkultur tersendiri dalam
masyarakat Indonesia. Bertolak dari pandangan ini, tidak terlalu berlebihan
apabila pesantren diposisikan sebagai salah satu elemen determinan dalam
struktur piramida sosial masyarakat Indonesia. Adanya posisi penting yang
disandang pesantren menuntutnya untuk memainkan peran penting dalam proses
pembangunan sosial.
Salah
satu sektor penting dalam pembangunan sosial yang mendapatkan perhatian serius
hampir dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan adalah aspek pendidikan.
Terkait dengan pembangunan di bidang pendidikan, pesantren dalam praktisnya,
sudah memainkan peran penting dalam setiap proses pelaksanaan kegiatan
tersebut. Para kiai dan/atau ulama yang selama ini menjadi figur dalam
masyarakat Indonesia, dan bukan sekedar sosok yang dikenal sebagai guru,
senantiasa peduli dengan lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya. Mereka
biasanya memiliki komitmen tersendiri untuk turut melakukan gerakan
transformasi sosial melalui pendekatan keagamaan. Pada esensinya, dakwah yang
dilakukan kiai sebagai medium transformasi sosial keagamaan itu diorientasikan
kepada pemberdayaan-salah satunya-aspek kognitif masyarakat. Pendirian lembaga
pendidikan pesantren yang menjadi ciri khas dari gerakan transformasi sosial
keagamaan para kiai menandakan peran penting mereka dalam pembangunan sosial
secara umum melalui media pendidikan.
Nurcholis Madjid (dalam Sulthon dan Khusnuridlo,
2006: 113) menjelaskan setidaknya ada
dua belas prinsip yang melekat pada pendidikan pesantren, yaitu:
1. Teosentrik
2. Ikhlas
dalam pengabdian
3. Kearifan
4. Kesederhanaan
(sederhana bukan berarti miskin)
5. Kolektifitas
(barakatul jama’ah)
6. Mengatur
kegiatan bersama
7. Kebebasan
terpimpin
8. Kemandirian
9. Tempat
menuntut ilmu dan mengabdi (thalabul
‘ilmi lil ‘ibadah)
10. Mengamalkan
ajaran agama
11. Belajar
di pesantren bukan untuk mencari sertifikat/ijazah saja, dan
12. Kepatuhan
terhadap kiai
Melihat
prinsip-prinsip yang khas di atas, tidak tepat kiranya jika menilai pesantren
dengan tolok ukur atau kaca mata non pesantren. misalnya, dalam prestasi
akademik, pesantren selalu identik dengan nilai-nilai moral dan etik. Kualitas
prestasi santri sering diukur dengan tolok ukur akademis dan kesalihan
(kualitatif), bukan indikator-indikator kuantitatif.
Sebagai
lembaga pendidikan berbasis agama (educational
institution-based religion/al-diniyyah al tarbawiyah), pesantren pada
mulanya merupakan pusat penggemblengan santri untuk mendalami ajaran dan
penyiaran agama Islam, sebagaimana yang digamabarkan Nurcholish Madjid dalam
ciri-ciri di atas. Namun dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar
wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal
(dengan penjejalan materi disiplin keagamaan), tetapi juga monilitas horizontal
(kesadaran sosial) (Haedari dan El-Saha, 2004:5).
Pesantren kini tidak lagi berkutat pada
kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based
curriculum) dan cenderung melangit, tetapi sudah mulai menerapkan kurikulum
yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based curriculum). Pergeseran orientasi semacam ini tidak
berarti memudarkan identitas pesantren dengan segala keunikannya, melainkan
justru mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya adalah lembaga milik
masyarakat yang berorientasi kepada masyarakat dan dikembangkan atas swadaya
masyarakat.
Implikasi dari kenyataan di atas, kiai
memiliki peranan sebagai penjaga tradisi sekaligus sebagai agen perubahan (agent of change) pesantren serta
menjembatani pesantren dengan dunia luar. Peranan kiai digambarkan secara
menarik oleh Edy Supriyono sebagai berikut :
“Dalam proses perkembangan pesantren, peran kiai tidak hanya sebagai pengambil keputusan akhir, tetapi juga sebagai broker budaya (cultural brokers). Broker budaya ini menggambarkan peran kiai sebagai peneliti, penyaring, dan assimilator aspek-aspek
kebudayaan yang datang dari luar pesantren, dari awal perkembangannya sampai
saat ini sehingga mampu memasukkan nilai-nilai budaya yang baru terhadap
nilai-nilai yang telah ada di pesantren. Walaupun peran ini secara kultural
tidak bersifat kreatif dan hanya bersifat reaktif, tetapi peran kiai sangat
menentukan kehidupan pesantren (Supriyono dalam Affan Hasyim, 2003:29).
Gambaran di atas menunjukkan bagaimana
sentralnya kedudukan kiai di pesantren dalam pengembangan suatu pesantren.
Dapat dikatakan kiai merupakan pusat seluruh kebijakan maupun perubahan, termasuk
dalam aspek pendidikan. Pengaruh kiai merasuk hampir ke seluruh sendi kehidupan
pesantren. Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan fenomena semacam
ini (Dhofier, 1994; Romas, 2004). (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment