PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.3)
3. Periode Persatuan Nasional
(1929-1941)
Periode
ini ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan wanita dan makin terbuka
wawasannya. Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi
wanita hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita lebih
sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai wanita.
Walaupun
sejak 1930 gerakan nasional berkembang pesat, dan terlihat pula tanda-tanda
tumbuhnya nasionalisme di dalam gerakan wanita, namun sampai awal pendudukan
Jepang tahun 1942, selain kaum wanita Serikat Rakyat, Isteri Sedar adalah
satu-satunya organisasi yang secara terbuka dan sistematis mengecam politik
pemerintah kolonial Belanda, dan memberi perhatian pada perjuangan
anti-kapitalisme. Misalnya, pada kongresnya tahun 1932, dalam mana Sukarno yang
di kemudian hari menjadi presiden mengucapkan pidatonya yang berjudul “Gerakan
Politik dan Emansipasi Wanita,” Isteri Sedar menyatakan bahwa wanita Indonesia
harus memainkan peranan aktif di bidang politik. Hal itu didasarkan pemikiran,
bahwa “hanya Indonesia yang merdeka oleh usaha besar-besaran kaum laki-laki dan
wanita yang bersatu padu yang akan sanggup memberikan persamaan hak dan
tindakan kepada rakyat Indonesia”. Selain itu Isteri Sedar juga menyatakan bahwa nasib kaum
wanita proletar harus diperbaiki (Pringgodigdo, 1967: 167). Istri Sedar berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia di mana penghargaan dan kedudukan wanita dan laki-laki sama dan
sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi
dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum wanita. Istri Sedar bersikap anti
dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.
Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang
tidak berazaskan agama bergabung menjadi satu dengan nama Istri Indonesia (II)
yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan dasar demokrasi. Organisasi baru
ini giat berusaha agar wanita bisa duduk dalam dewan-dewan kota, selain juga
memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu
pengaturannya banyak merugikan kaum wanita (Rochwulaningsih, 1996: 43). Sementara itu, pada kongresnya yang
kedua, tiga dan empat (1935, 1938 dan 1941), PPPI membicarakan sekitar
kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu
Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta
beberapa masalah politik lainnya.
Selain organisasi-organisasi
tersebut diatas, mulai muncul juga organisasi yang anggotanya terdiri atas para
wanita yang bekerja di luar rumah. Demikianlah untuk pertama kali dibentuk di
Jakarta pada tahun 1940 “Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia" yang
beranggotakan para wanita yang bekerja di kantor baik pemerintah ataupun swasta
sebagai guru, perawat, pegawai kantor, dan sebagainya. Namun, dilihat dari
kegiatannya, organisasi organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai
organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka ditekankan pada
pendidikan ketrampilan kewanitaan dan pemupukan kesadaran kebangsaan, tidak
beda dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi wanita lainnya.
Dalam rangka menyelesaikan masalah reformasi
perkawinan yang pelik itu pada tahun 1939 dibentuk sebuah badan yang bertugas
meneliti hak-hak wanita dalam perkawinan, baik menurut adat, hukum Islam (fiqh),
maupun hukum Eropa. Namun sebelum badan ini berhasil membuahkan sesuatu dalam
rangka pembuatan kompromi antara golongan Islam dan bukan Islam, pada 1942
Indonesia diduduki oleh Jepang. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment