History

History
"History Make Me Happy"

Tuesday 16 August 2016

PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.3)

3. Periode Persatuan Nasional (1929-1941)
Periode ini ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan wanita dan makin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi wanita hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai wanita.
 Walaupun sejak 1930 gerakan nasional berkembang pesat, dan terlihat pula tanda-tanda tumbuhnya nasionalisme di dalam gerakan wanita, namun sampai awal pendudukan Jepang tahun 1942, selain kaum wanita Serikat Rakyat, Isteri Sedar adalah satu-satunya organisasi yang secara terbuka dan sistematis mengecam politik pemerintah kolonial Belanda, dan memberi perhatian pada perjuangan anti-kapitalisme. Misalnya, pada kongresnya tahun 1932, dalam mana Sukarno yang di kemudian hari menjadi presiden mengucapkan pidatonya yang berjudul “Gerakan Politik dan Emansipasi Wanita,” Isteri Sedar menyatakan bahwa wanita Indonesia harus memainkan peranan aktif di bidang politik. Hal itu didasarkan pemikiran, bahwa “hanya Indonesia yang merdeka oleh usaha besar-besaran kaum laki-laki dan wanita yang bersatu padu yang akan sanggup memberikan persamaan hak dan tindakan kepada rakyat Indonesia”. Selain itu Isteri Sedar juga menyatakan bahwa nasib kaum wanita proletar harus diperbaiki (Pringgodigdo, 1967: 167). Istri Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia di mana penghargaan dan kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum wanita. Istri Sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.
Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang tidak berazaskan agama bergabung menjadi satu dengan nama Istri Indonesia (II) yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan dasar demokrasi. Organisasi baru ini giat berusaha agar wanita bisa duduk dalam dewan-dewan kota, selain juga memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu pengaturannya banyak merugikan kaum wanita (Rochwulaningsih, 1996: 43). Sementara itu, pada kongresnya yang kedua, tiga dan empat (1935, 1938 dan 1941), PPPI membicarakan sekitar kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.
Selain organisasi-organisasi tersebut diatas, mulai muncul juga organisasi yang anggotanya terdiri atas para wanita yang bekerja di luar rumah. Demikianlah untuk pertama kali dibentuk di Jakarta pada tahun 1940 “Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia" yang beranggotakan para wanita yang bekerja di kantor baik pemerintah ataupun swasta sebagai guru, perawat, pegawai kantor, dan sebagainya. Namun, dilihat dari kegiatannya, organisasi organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka ditekankan pada pendidikan ketrampilan kewanitaan dan pemupukan kesadaran kebangsaan, tidak beda dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi wanita lainnya.

Dalam rangka menyelesaikan masalah reformasi perkawinan yang pelik itu pada tahun 1939 dibentuk sebuah badan yang bertugas meneliti hak-hak wanita dalam perkawinan, baik menurut adat, hukum Islam (fiqh), maupun hukum Eropa. Namun sebelum badan ini berhasil membuahkan sesuatu dalam rangka pembuatan kompromi antara golongan Islam dan bukan Islam, pada 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment