TEORI KONSTRUKSI SOSIAL BERGER DALAM
TRADISI DANDANGAN DI KUDUS
Kehidupan
memang tidak pernah tetap. Segala sesuatu yang berada dalam himpitan ruang dan
waktu akan selalu mengurai dalam hukum perubahan. Seluruh kenyataan merupakan
arus sungai yang mengalir, begitulah kata Herakleitos sang filosof dari Ephesos
itu. Begitu juga Dandangan, sebagai konstruksi sosial, tradisi dan bentuk
budaya yang tercipta dalam relativitas ruang dan waktu, ia selalu mengalami
perubahan, perkembangan dan metamorfosis sealur dengan perkembangan kondisi dan
struktur masyarakat yang membentuknya. Hal ini sesuai dengan teori Peter L.
Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas.
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial
sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia
bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak
di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui
respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial,
individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas
di dalam dunia sosialnya. Ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas
sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian,
kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial
Menurut Berger, istilah
konstruksi sosial atas realitas (social
construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui
tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger
mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui
tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial
terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam
definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi
melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki
definisi subyektif yang sama.
Fenomena tradisi Dandangan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun,
jika dikaji berdasarkan definisi konstruksi sosial, terbentuk karena ada
tindakan dan interaksi yang terus menerus yang dimulai oleh Sunan Kudus dan
para santrinya, yang kemudian menjadi sebuah realitas yang dimiliki dan dialami
bersama yang berlangsung dari generasi ke generasi. Dandangan ini tercipta
melalui proses tindakan dan interaksi yang dilakukan manusia. Hal ini
bersesuaian dengan paradima konstruktivis tentang realitas.
Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Ketika manusia mencoba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses komunikasi. Komunikasi di sini tidak dilihat dari perspektif paradigma transimisi. Komunikasi dilihat lebih kepada bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya manusia tersebut sebagai realitas sosial tadi. Komunikasi yang terjadi dalam tataran komunikasi simbolik. Aspek komunikasi ini juga membentuk realitas sosial seperti tradisi Dandangan, di mana di dalamnya terdapat simbol-simbol yang memperkuatnya, seperti ritual pemukulan bedug menjelang bulan Ramadhan, dan simbol-simbol lainnya.
Terdapat beberapa asumsi dasar dari teori Konstruksi
Sosial Berger. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:
a. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia
kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
b. Hubungan antara pemikiran manusia dan
konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan
dilembagakan.
c. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi
secara terus menerus.
d. Membedakan antara realitas dengan
pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam
kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri.
Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas
itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik.
Asumsi-asumsi di atas dapat digunakan untuk mengkaji Dandangan sebagai
sebuah konstruksi sosial. Jika Dandangan dianalisis berdasarkan asumsi pertama,
Dandangan juga merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dalam hal ini yang berperan adalah Sunan Kudus sebagai cikal bakal
munculnya Dandangan. Penggunaan Bedug sebagai alat pengumuman merupakan gagasan
kreatif Sunan Kudus untuk memberitahukan awal puasa Ramadhan kepada para santri
dan masyarakat. Sebagai imam masjid, mubaligh, dan pernah sebagai panglima
perang Kerajaan Demak serta pendiri Kota Kudus, Sunan Kudus memiliki kharisma
dan wibawa di mata para santri dan masyarakat. Sehingga santri dan masyarakat
akan mengikuti petuah atau petunjuk darinya, salah satunya mengenai penentuan
awal puasa Ramadhan.
Berdasarkan asumsi kedua, Dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial
memuat hubungan antara
pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul. Dalam hal ini memuat hubungan Sunan Kudus sebagai cikal bakal munculnya
tradisi Dandangan dan masyarakat Kudus sebagai tempat bersemainya tradisi ini.
Tradisi ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan sudah menjadi
semacam ritual yang harus ada menjelang bulan Ramadhan.
Sedangkan berdasarkan asumsi ketiga dan keempat, Berger menambahkan
bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural
secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara
terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia
adalah hasil atau produk dari masyarakat. Sehingga memunculkan proses-proses
yang dialektis. Salah satunya adalah perubahan. Hal ini dapat dilihat dari
perubahan Dandangan dilihat dari pola, bentuk dan fungsinya.
Dandangan sekarang bukan lagi hanya
berbentuk kumpul-kumpul di masjid sambil mendengarkan alunan bunyi Beduk.
Begitu juga fungsinya bukan lagi sekedar untuk menyambut dan mengetahui awal
Ramadhan. Tetapi lebih dari itu sekedar itu. Dandangan sekarang berkembang
menjadi ajang berkumpulnya
orang di jalan-jalan, trotoar, perempatan dan ruang-ruang publik lainnya.
Tempatnya pun sudah bukan bukan lagi terpusat di Masjid dan sekitar Jalan Sunan
Kudus hingga ke Alun-alun Kudus. Namun, pernah beralih beralih ke halaman GOR
Wergu Wetan Kudus walaupun akhirnya kembali ke sekitar Kawasan Menara. Mungkin
ini untuk mencegah kemacetan di pusat kota. Sebab, Jalan Sunan Kudus adalah
jalan utama di Kab Kudus. Tentu saja dengan memindahkan lokasi Dandangan,
berarti pula memindahkan kemacetan. Hal ini disebabkan saking banyaknya orang
yang memadati lokasi itu dengan beragam kepentingan dan aktivitas.
Dalam perkembangannya, Tradisi Dandangan
dipusatkan di sekitar kawasan Masjid dan Menara Kudus agar memiliki kedekatan
secara historis dan kultural dengan tokoh penyebar Islam Sunan Kudus. Hal ini
disebabkan untuk lebih memaknai Dandangan sebagai warisan budaya yang secara
historis berasal dari masa Sunan Kudus, walaupun dalam perkembangannya maknanya
sebagai sebuah ritual keagamaan mengalami pergeseran.
Selain pola dan bentuk yang berubah,
fungsi Dandangan pun juga sudah mulai mengalami pergeseran. Kalau dahulu acara
ini di-setting untuk acara ritual
keagamaan, sekarang sudah berkembang menjadi aktivitas sosial ekonomi. Hal ini
karena satu Minggu sebelum Ramadhan, dalam acara ini digelar pasar malam. Di ruas-ruas
jalan dan tempat-tempat umum banyak dijumpai stand-stand penjualan dan pedagang. Barang yang ditawarkan pun
beraneka ragam mulai dari makanan, souvenir, baju, cindera mata, sepatu, tas
dan sebagainya. Karena fungsinya demikian, maka kepentingan para selebritis
dandangan pun berubah. Mereka tidak lagi berkepentingan mengetahui dan
menyambut datangnya bulan Ramadhan, tetapi bisa hanya sekedar untuk berjualan, mengisi
waktu, pertemuan, makan-makan, jalan-jalan, nonton pertunjukan dan sejenisnya.
Hal ini karena, di samping pola penetapan bulan Ramadhan sudah banyak disiarkan
melalui media teknologi dan komunikasi yang sekarang berkembang dengan
pesatnya, di antara para pengunjung itu tidak semuanya beragama Islam. Oleh
karena itu, sebagian mereka tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan
datangnya bulan Ramadhan. Jadi mereka hanya menikmati keramaiannya saja.
Konstruksi sosial mengandung dimensi objektif dan
subyektif. Ada dua hal yang
menonjol melihat realitas dalam dimensi
objektif yakni pelembagaan dan legitimasi, yang dapat
digunakan untuk mengkaji dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial, yaitu :
a.
Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika
semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya
tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang
kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang
dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik
dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan
kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga. Kondisi ini dapat dijumpai dalam tradisi Dandangan. Bertahannya Dandangan
sebagai sebuah tradisi budaya karena juga mengalami proses pembiasaan atau
habitualisasi. Pemukulan bedug, munculnya pedagang “tiban” dan
kegiatan-kegiatan yang identik sama tiap berlangsungnya Dandangan merupakan
indikasi adanya habitualisasi. Adanya habitualisasi ini menjadikan pelembagaan
Dandangan sebagai sebuah fenomena budaya.
b.
Sementara
legitimasi menghasilkan makna-makna
baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan
kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk
membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif
dan masuk akal secara subyektif. Hal ini
mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa
dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan
yang berbeda. Kedua keseluruhan, yang secara berturut-turut melalui berbagai
tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif.
Fungsi legitimasi ini dapat dilihat dari
makna Dandangan, yaitu untuk menandai awal puasa yang harus terus dimunculkan
menjelang bulan Ramadhan. Fungsi ini terus dipertahankan dari generasi ke
generasi untuk memperkuat esensi Dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial.
Fungsi ini diperkuat oleh lokasi penyelenggaraan Dandangan yang dipusatkan di
sekitar kawasan Menara untuk memperkuat kedekatan historis dan kultural dengan
cikal bakal Dandangan, yaitu Sunan Kudus. Adanya faktor pemaknaan dan lokasi
ini memperkuat legitimasi bahwa Dandangan harus dimunculkan setiap tahun
menjelang Ramadhan, walaupun sudah mengalami pergeseran-pergeseran pola dan
fungsi.
Melihat fenomena perubahan dan pergeseran
pola dan fungsi dandangan tersebut, muncul sebuah kegalauan. Kegalauan yang
pertama kali muncul adalah masih adakah Dandangan itu berjalan di atas makna
religiusitas yang menjadi esensinya ataukah dasar moral yang melandasinya itu
justru hilang tanpa jejak dan tergantikan oleh gegap gempita dan perayaan
naluri sekulerisme, materialisme dan hedonisme. Sebab, kalau budaya Dandangan ini
telah tercerabut dari aspek religiusitasnya, maka ia sama halnya kehilangan ruh
eksistensinya.
Sebagai aktivitas ekonomi, pasar malam
secara substansial adalah bagian dari agama. Sebab agama memang bukan hanya
urusan sholat ataupun puasa. Namun, dalam sejarahnya banyak aspek-aspek
sosial-ekonomi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama. Ia
tidak lagi dijiwai oleh semangat religius, tetapi oleh semangat kapitalime,
hedonisme dan materialisme. Dan nalar-nalar destruktif semacam itu justru mudah
merasuk secara tidak sadar ketika bersentuhan dengan yang namanya agama dan berikut
aspek-aspek ritualnya. Akibatnya agama terancam mengalami distorsi, reduksi
bahkan politisasi dan disorientasi. Ia hanya diorientasikan untuk mengeruk profite,
memanjakan nafsu kebinatangan, merayakan kemenangan kapitalisme dan sejenisnya
sehingga agama menjadi kehilangan dimensi spiritualnya.
Oleh karena itu, terjadinya pergeseran
pola dan bentuk Dandangan hendaknya menjadi perhatian serius dari para
agamawan, budayawan, intelektual, pemerintah dan masyarakat Kudus sendiri.
Perubahan dan perkembangan memang sebuah keniscayaan, namun sebagaimana kata
Socrates sendiri, tidak semuanya itu berubah. Ada unsur -unsur universal yang
tetap dan menjadi prinsip dasar. Dengan demikian, perubahan Dandangan ke arah
ekonomi ini jangan sampai mencerabut ruh spiritualnya. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment