History

History
"History Make Me Happy"

Thursday 18 August 2016

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL BERGER DALAM
TRADISI DANDANGAN DI KUDUS

Kehidupan memang tidak pernah tetap. Segala sesuatu yang berada dalam himpitan ruang dan waktu akan selalu mengurai dalam hukum perubahan. Seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir, begitulah kata Herakleitos sang filosof dari Ephesos itu. Begitu juga Dandangan, sebagai konstruksi sosial, tradisi dan bentuk budaya yang tercipta dalam relativitas ruang dan waktu, ia selalu mengalami perubahan, perkembangan dan metamorfosis sealur dengan perkembangan kondisi dan struktur masyarakat yang membentuknya. Hal ini sesuai dengan teori Peter L. Berger mengenai konstruksi sosial atas realitas.
     Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial
     Menurut Berger, istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.
     Fenomena tradisi Dandangan yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, jika dikaji berdasarkan definisi konstruksi sosial, terbentuk karena ada tindakan dan interaksi yang terus menerus yang dimulai oleh Sunan Kudus dan para santrinya, yang kemudian menjadi sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama yang berlangsung dari generasi ke generasi. Dandangan ini tercipta melalui proses tindakan dan interaksi yang dilakukan manusia. Hal ini bersesuaian dengan paradima konstruktivis tentang realitas.
    
Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Ketika manusia mencoba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses komunikasi. Komunikasi di sini tidak dilihat dari perspektif paradigma transimisi. Komunikasi dilihat lebih kepada bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya manusia tersebut sebagai realitas sosial tadi. Komunikasi yang terjadi dalam tataran komunikasi simbolik. Aspek komunikasi ini juga membentuk realitas sosial seperti tradisi Dandangan, di mana di dalamnya terdapat simbol-simbol yang memperkuatnya, seperti ritual pemukulan bedug menjelang bulan Ramadhan, dan simbol-simbol lainnya.
     Terdapat beberapa asumsi dasar dari teori Konstruksi Sosial Berger. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:
a.       Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
b.      Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan.
c.       Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus.
d.      Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
     Asumsi-asumsi di atas dapat digunakan untuk mengkaji Dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial. Jika Dandangan dianalisis berdasarkan asumsi pertama, Dandangan juga merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dalam hal ini yang berperan adalah Sunan Kudus sebagai cikal bakal munculnya Dandangan. Penggunaan Bedug sebagai alat pengumuman merupakan gagasan kreatif Sunan Kudus untuk memberitahukan awal puasa Ramadhan kepada para santri dan masyarakat. Sebagai imam masjid, mubaligh, dan pernah sebagai panglima perang Kerajaan Demak serta pendiri Kota Kudus, Sunan Kudus memiliki kharisma dan wibawa di mata para santri dan masyarakat. Sehingga santri dan masyarakat akan mengikuti petuah atau petunjuk darinya, salah satunya mengenai penentuan awal puasa Ramadhan.
     Berdasarkan asumsi kedua, Dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial memuat hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul. Dalam hal ini memuat hubungan Sunan Kudus sebagai cikal bakal munculnya tradisi Dandangan dan masyarakat Kudus sebagai tempat bersemainya tradisi ini. Tradisi ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan sudah menjadi semacam ritual yang harus ada menjelang bulan Ramadhan.
     Sedangkan berdasarkan asumsi ketiga dan keempat, Berger menambahkan bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Sehingga memunculkan proses-proses yang dialektis. Salah satunya adalah perubahan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan Dandangan dilihat dari pola, bentuk dan fungsinya.
     Dandangan sekarang bukan lagi hanya berbentuk kumpul-kumpul di masjid sambil mendengarkan alunan bunyi Beduk. Begitu juga fungsinya bukan lagi sekedar untuk menyambut dan mengetahui awal Ramadhan. Tetapi lebih dari itu sekedar itu. Dandangan sekarang berkembang menjadi ajang berkumpulnya orang di jalan-jalan, trotoar, perempatan dan ruang-ruang publik lainnya. Tempatnya pun sudah bukan bukan lagi terpusat di Masjid dan sekitar Jalan Sunan Kudus hingga ke Alun-alun Kudus. Namun, pernah beralih beralih ke halaman GOR Wergu Wetan Kudus walaupun akhirnya kembali ke sekitar Kawasan Menara. Mungkin ini untuk mencegah kemacetan di pusat kota. Sebab, Jalan Sunan Kudus adalah jalan utama di Kab Kudus. Tentu saja dengan memindahkan lokasi Dandangan, berarti pula memindahkan kemacetan. Hal ini disebabkan saking banyaknya orang yang memadati lokasi itu dengan beragam kepentingan dan aktivitas.
     Dalam perkembangannya, Tradisi Dandangan dipusatkan di sekitar kawasan Masjid dan Menara Kudus agar memiliki kedekatan secara historis dan kultural dengan tokoh penyebar Islam Sunan Kudus. Hal ini disebabkan untuk lebih memaknai Dandangan sebagai warisan budaya yang secara historis berasal dari masa Sunan Kudus, walaupun dalam perkembangannya maknanya sebagai sebuah ritual keagamaan mengalami pergeseran.
     Selain pola dan bentuk yang berubah, fungsi Dandangan pun juga sudah mulai mengalami pergeseran. Kalau dahulu acara ini di-setting untuk acara ritual keagamaan, sekarang sudah berkembang menjadi aktivitas sosial ekonomi. Hal ini karena satu Minggu sebelum Ramadhan, dalam acara ini digelar pasar malam. Di ruas-ruas jalan dan tempat-tempat umum banyak dijumpai stand-stand penjualan dan pedagang. Barang yang ditawarkan pun beraneka ragam mulai dari makanan, souvenir, baju, cindera mata, sepatu, tas dan sebagainya. Karena fungsinya demikian, maka kepentingan para selebritis dandangan pun berubah. Mereka tidak lagi berkepentingan mengetahui dan menyambut datangnya bulan Ramadhan, tetapi bisa hanya sekedar untuk berjualan, mengisi waktu, pertemuan, makan-makan, jalan-jalan, nonton pertunjukan dan sejenisnya. Hal ini karena, di samping pola penetapan bulan Ramadhan sudah banyak disiarkan melalui media teknologi dan komunikasi yang sekarang berkembang dengan pesatnya, di antara para pengunjung itu tidak semuanya beragama Islam. Oleh karena itu, sebagian mereka tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan datangnya bulan Ramadhan. Jadi mereka hanya menikmati keramaiannya saja. 
     Konstruksi sosial mengandung dimensi objektif dan subyektif.  Ada dua hal yang menonjol  melihat realitas dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi, yang dapat digunakan untuk mengkaji dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial, yaitu :
a.    Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga. Kondisi ini dapat dijumpai dalam tradisi Dandangan. Bertahannya Dandangan sebagai sebuah tradisi budaya karena juga mengalami proses pembiasaan atau habitualisasi. Pemukulan bedug, munculnya pedagang “tiban” dan kegiatan-kegiatan yang identik sama tiap berlangsungnya Dandangan merupakan indikasi adanya habitualisasi. Adanya habitualisasi ini menjadikan pelembagaan Dandangan sebagai sebuah fenomena budaya.
b.   Sementara legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif.  Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan, yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. 
     Fungsi legitimasi ini dapat dilihat dari makna Dandangan, yaitu untuk menandai awal puasa yang harus terus dimunculkan menjelang bulan Ramadhan. Fungsi ini terus dipertahankan dari generasi ke generasi untuk memperkuat esensi Dandangan sebagai sebuah konstruksi sosial. Fungsi ini diperkuat oleh lokasi penyelenggaraan Dandangan yang dipusatkan di sekitar kawasan Menara untuk memperkuat kedekatan historis dan kultural dengan cikal bakal Dandangan, yaitu Sunan Kudus. Adanya faktor pemaknaan dan lokasi ini memperkuat legitimasi bahwa Dandangan harus dimunculkan setiap tahun menjelang Ramadhan, walaupun sudah mengalami pergeseran-pergeseran pola dan fungsi.
     Melihat fenomena perubahan dan pergeseran pola dan fungsi dandangan tersebut, muncul sebuah kegalauan. Kegalauan yang pertama kali muncul adalah masih adakah Dandangan itu berjalan di atas makna religiusitas yang menjadi esensinya ataukah dasar moral yang melandasinya itu justru hilang tanpa jejak dan tergantikan oleh gegap gempita dan perayaan naluri sekulerisme, materialisme dan hedonisme. Sebab, kalau budaya Dandangan ini telah tercerabut dari aspek religiusitasnya, maka ia sama halnya kehilangan ruh eksistensinya.
     Sebagai aktivitas ekonomi, pasar malam secara substansial adalah bagian dari agama. Sebab agama memang bukan hanya urusan sholat ataupun puasa. Namun, dalam sejarahnya banyak aspek-aspek sosial-ekonomi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama. Ia tidak lagi dijiwai oleh semangat religius, tetapi oleh semangat kapitalime, hedonisme dan materialisme. Dan nalar-nalar destruktif semacam itu justru mudah merasuk secara tidak sadar ketika bersentuhan dengan yang namanya agama dan berikut aspek-aspek ritualnya. Akibatnya agama terancam mengalami distorsi, reduksi bahkan politisasi dan disorientasi. Ia hanya diorientasikan untuk mengeruk profite, memanjakan nafsu kebinatangan, merayakan kemenangan kapitalisme dan sejenisnya sehingga agama menjadi kehilangan dimensi spiritualnya.
     Oleh karena itu, terjadinya pergeseran pola dan bentuk Dandangan hendaknya menjadi perhatian serius dari para agamawan, budayawan, intelektual, pemerintah dan masyarakat Kudus sendiri. Perubahan dan perkembangan memang sebuah keniscayaan, namun sebagaimana kata Socrates sendiri, tidak semuanya itu berubah. Ada unsur -unsur universal yang tetap dan menjadi prinsip dasar. Dengan demikian, perubahan Dandangan ke arah ekonomi ini jangan sampai mencerabut ruh spiritualnya. (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment