NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya
dalam Pergerakan Nasional Indonesia
(Bag.3)
C. Peranan Nahdlatul Ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia
Di luar upaya-upaya transformasi sosial dalam berbagai bidang yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat, NU juga berperan penting dalam
pembentukan sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Dan hal itu sudah dilakukan
sejal awal tahun 1930-an, ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial
Belanda. Terkait dengan peran ini, salah satu sumbangan penting NU adalah
keputusan Muktamar XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menegaskan bahwa nama
negara adalah “Indonesia”. Keputusan yang berawal dari satu materi yang dikaji
dalam Bahtsul Masa’il ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)
dan dikaji dalam perspektif syariat Islam ini, mempunyai dampak yang luar biasa
terhadap proses pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal itu karena
keputusan ini paralel dengan gerakan kaum nasionalis sekuler bangsa Indonesia
pada saat itu, yang sedang sangat membutuhkan dukungan dengan legitimasi kuat dari berbagai kalangan. Pengaruhnya jadi
semakin signifikan karena keputusan muktamar NU ini dilakukan di satu wilayah
yang jauh dari pusat gerakan nasionalisme bangsa Indonesia.
Sumbangan lain terhadap
pembentukan nasionalisme Indonesia yang tidak kalah penting adalah prakarsa NU
di bawah inisiatif KH. A.Wahab Hasbullah tahun 1937 untuk membentuk Majlis
Islam A’la Indonesia (MIAI), sebagai wadah perjuangan bersama bagi
organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu. Melalui forum
berbentuk konfederasi inilah, NU turut mendorong terbentuknya parlemen bagi
bangsa Indonesia di masa kolonial Belanda. Sampai pada akhirnya Belanda
memenuhi tuntutan MIAI dan organisasi-organisasi lain yang tergabung dalam GAPI
(Gabungan Politik Indonesia), dengan membentuk Volksraad (Dewan Rakyat),
meskipun karena pertimbangan agama, NU menolak duduk di dalamnya.
Sangat sedikit hal yang
luar biasa dalam kegiatan-kegiatan NU selama dasawarsa-dasawarsa akhir
pemerintahan kolonial Belanda. Ia menahan diri dari terlibat kegiatan-kegiatan
politik; dan ketika membuat pernyatan politik, ia bersikap mendukung pemerintah
Belanda. Muktamar tahunannya didominasi pembicaraan tentang masalah-masalah
yang murni agama. Pada muktamar ke-15 di Menes (Banten) tahun 1938, sebagian
anggotanya mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad
(Dewan Rakyat), parlemen semu tak bergigi yang dibentuk oleh penguasa Hindia
Belanda (Bruinessen, 1994). Usulan ini ditolak oleh mayoritas sangat besar
pesertanya, tampaknya karena mereka menginginkan NU tidak terlibat dalam dunia
politik dalam bentuk apapun. Sikap apolitik ini mungkin telah berperan bagi
pesatnya perkembangan pendukung NU dalam rentang waktu dimana Sarekat Islam,
yang pada lahirnya lebih nasionalis, terus dilanda penurunan pengaruhnya.
Keterlibatan NU dalam
pergulatan politik praktis, sebelum NU menjadi partai, bermula dari kehadiran
tentara Jepang pada tahun 1942, yang kemudian menerapkan sistem pemerintahan
militerisme otoriter di Indonesia. Segenap aktivitas tradisi kerakyatan bangsa Indonesia, termasuk organisasi
keagamaan dibekukan. Tidak ada lagi kegiatan yang melibatkan kumpulan orang
kecuali diawasi ketat oleh serdadu Jepang. Dan sebagai gantinya, Jepang
memperkenalkan tradisi negeri Shinto, yaitu menghormat ke arah matahari terbit
setiap pagi. Praktek tradisi baru itu ditentang oleh ulama-ulama, seperti KH.
Hasyim Asy’ari dan KH. Machfoedz Siddiq, yang akibat dari penentangannya
tersebut, disiksa dan dipenjara karena tidak mau melaksanakan saikere,
memberi hormat kepada Tenno Haika dengan cara membungkuk menghadap matahari,
yang proposinya diyakini melanggar aqidah Islam.
Kekejaman-kekejaman itu
menjadi pelajaran bagi para pemimpin NU untuk merumuskan langkah-langkah
strategis lebih lanjut dalam merebut kemerdekaan yang diprediksi telah berada
di ambang pintu. Ketika Jepang menerapkan pendekatan persuasif, NU menyambutnya
dengan tangan terbuka. Berpegang pada petuah Nabi, al-harb kaidah (perang
adalah muslihat), tokoh-tokoh NU mencerdiki Jepang melalui sikap lunak. NU
menerima kerja sama dengan Jepang sebagai rule of the game, atau yang di
kalangan pesantren dikenal dengan istilah yahannu (akal cerdik
menghadapi lawan). Tidak mengherankan jika pada masa kolonial Belanda NU
menolak duduk dalam Volksraad, tetapi pada masa pemerintahan Jepang tokoh-tokoh
NU bersedia diangkat menjadi anggota Chau Sangi-in, badan legislatif
buatan Jepang. Dengan strategi ini NU melakukan pendekatan pada pemerintah
Jepang. Hasilnya, September 1943 Jepang mengizinkan aktifnya kembali NU dan
beberapa organisasi Islam lainnya.
Selang satu bulan setelah
dibebaskannya kembali aktivitas berorganisasi, pada Oktober 1943 NU mengajak
ormas Islam lainnya untuk membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari yang juga anggota Chau Sangi-in,
Masyumi berhasil melakukan lobi-lobi politik terhadap penguasa Jepang dan
sukses membangun jaringan pergerakan perjuangan dengan kelompok nasionalis.
Melalui lobi politik ini, Masyumi berhasil membentuk pasukan Hizbullah untuk
angkatan muda yang keanggotannya terdiri dari para santri sebagai perwakilan
dari NU, dan perutusan ormas Islam lain yang tergabung dalam Masyumi. Menyusul
kemudian dibentuk pasukan Sabilillah untuk barisan para ulamanya.
Di tengah keasyikan
memainkan strategi yahannu-nya melalui Masyumi, NU tetap sadar bahwa
Jepang adalah penjajah. Dan kemerdekaan, kendati telah dijanjikan Jepang, tidak
akan diberikan cuma-cuma. Kemerdekaan tetap harus direbut melalui perjuangan.
Dari kesadaran ini, tokoh-tokoh NU semisal KH. Wahid Hasyim, terus melakukan
kontak dengan, membangun jaringan dengan kalangan nasionalis untuk berjuang
bersama merebut kemerdekaan. Hingga terdengar berita Jepang mulai terdesak oleh
tentara sekutu, di awal tahun 1945, tekanan-tekanan para tokoh pergerakan
nasional terhadap Jepang juga semakin gencar. Hasilnya pada tanggal 29 April 1945
dibentuk Dokuritsu Zyubi Tyoosakai (Badan Usaha Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan) yang beranggotakan 62 orang dan salah satunya KH. Wahid Hasyim.
Setelah proklamasi,
ternyata perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia masih terus berlanjut, justru
memasuki masa yang dikenal dengan zaman revolusi. Sumbangan penting NU pada
masa ini adalah seruan jihad untuk melawan kembalinya Belanda yang datang
membonceng pasukan sekutu. Seruan yang lebih dikenal dengan “resolusi jihad”
ini ditandatangani oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945
(Bruinessen, 1994). resolusi ini menyerukan kepada setiap muslim dengan status
wajib ‘ayn (keharusan tanpa kecuali) bagi yang berada dalam radius 94 km
dari lokasi musuh (tentara Belanda) dan dengan status wajib kifayah
(keharusan dengan perwakilan sesuai kebutuhan) bagi yang berada di luar radius
94 km, untuk berperang melawan Belanda.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa resolusi jihad ini berdampak besar bagi perjuangan revolusi kemerdekaan
bangsa Indonesia, salah satunya adalah pertempuran di Surabaya pada tanggal 10
Nopember 1945. Karena perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia terus
berlanjut, isi seruan dalam resolusi jihad dikukuhkan melalui keputusan
muktamar NU ke-16 di Purwokerto pada tanggal 26-29 Maret 1946 di bawah judul “Hukum
Memerangi Tentara Musuh yang Sudah Ada di Tengah-tengah Kita”. (M.
Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment