History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Pergerakan Nasional Indonesia
 (Bag.3)

C. Peranan Nahdlatul Ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia
Di luar upaya-upaya transformasi sosial dalam berbagai bidang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, NU juga berperan penting dalam pembentukan sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Dan hal itu sudah dilakukan sejal awal tahun 1930-an, ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Terkait dengan peran ini, salah satu sumbangan penting NU adalah keputusan Muktamar XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menegaskan bahwa nama negara adalah “Indonesia”. Keputusan yang berawal dari satu materi yang dikaji dalam Bahtsul Masa’il ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) dan dikaji dalam perspektif syariat Islam ini, mempunyai dampak yang luar biasa terhadap proses pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal itu karena keputusan ini paralel dengan gerakan kaum nasionalis sekuler bangsa Indonesia pada saat itu, yang sedang sangat membutuhkan dukungan dengan legitimasi  kuat dari berbagai kalangan. Pengaruhnya jadi semakin signifikan karena keputusan muktamar NU ini dilakukan di satu wilayah yang jauh dari pusat gerakan nasionalisme bangsa Indonesia.

    Sumbangan lain terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia yang tidak kalah penting adalah prakarsa NU di bawah inisiatif KH. A.Wahab Hasbullah tahun 1937 untuk membentuk Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebagai wadah perjuangan bersama bagi organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia ketika itu. Melalui forum berbentuk konfederasi inilah, NU turut mendorong terbentuknya parlemen bagi bangsa Indonesia di masa kolonial Belanda. Sampai pada akhirnya Belanda memenuhi tuntutan MIAI dan organisasi-organisasi lain yang tergabung dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dengan membentuk Volksraad (Dewan Rakyat), meskipun karena pertimbangan agama, NU menolak duduk di dalamnya.
    Sangat sedikit hal yang luar biasa dalam kegiatan-kegiatan NU selama dasawarsa-dasawarsa akhir pemerintahan kolonial Belanda. Ia menahan diri dari terlibat kegiatan-kegiatan politik; dan ketika membuat pernyatan politik, ia bersikap mendukung pemerintah Belanda. Muktamar tahunannya didominasi pembicaraan tentang masalah-masalah yang murni agama. Pada muktamar ke-15 di Menes (Banten) tahun 1938, sebagian anggotanya mengusulkan agar NU berusaha mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat), parlemen semu tak bergigi yang dibentuk oleh penguasa Hindia Belanda (Bruinessen, 1994). Usulan ini ditolak oleh mayoritas sangat besar pesertanya, tampaknya karena mereka menginginkan NU tidak terlibat dalam dunia politik dalam bentuk apapun. Sikap apolitik ini mungkin telah berperan bagi pesatnya perkembangan pendukung NU dalam rentang waktu dimana Sarekat Islam, yang pada lahirnya lebih nasionalis, terus dilanda penurunan pengaruhnya.
     Keterlibatan NU dalam pergulatan politik praktis, sebelum NU menjadi partai, bermula dari kehadiran tentara Jepang pada tahun 1942, yang kemudian menerapkan sistem pemerintahan militerisme otoriter di Indonesia. Segenap aktivitas tradisi kerakyatan  bangsa Indonesia, termasuk organisasi keagamaan dibekukan. Tidak ada lagi kegiatan yang melibatkan kumpulan orang kecuali diawasi ketat oleh serdadu Jepang. Dan sebagai gantinya, Jepang memperkenalkan tradisi negeri Shinto, yaitu menghormat ke arah matahari terbit setiap pagi. Praktek tradisi baru itu ditentang oleh ulama-ulama, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Machfoedz Siddiq, yang akibat dari penentangannya tersebut, disiksa dan dipenjara karena tidak mau melaksanakan saikere, memberi hormat kepada Tenno Haika dengan cara membungkuk menghadap matahari, yang proposinya diyakini melanggar aqidah Islam.
     Kekejaman-kekejaman itu menjadi pelajaran bagi para pemimpin NU untuk merumuskan langkah-langkah strategis lebih lanjut dalam merebut kemerdekaan yang diprediksi telah berada di ambang pintu. Ketika Jepang menerapkan pendekatan persuasif, NU menyambutnya dengan tangan terbuka. Berpegang pada petuah Nabi, al-harb kaidah (perang adalah muslihat), tokoh-tokoh NU mencerdiki Jepang melalui sikap lunak. NU menerima kerja sama dengan Jepang sebagai rule of the game, atau yang di kalangan pesantren dikenal dengan istilah yahannu (akal cerdik menghadapi lawan). Tidak mengherankan jika pada masa kolonial Belanda NU menolak duduk dalam Volksraad, tetapi pada masa pemerintahan Jepang tokoh-tokoh NU bersedia diangkat menjadi anggota Chau Sangi-in, badan legislatif buatan Jepang. Dengan strategi ini NU melakukan pendekatan pada pemerintah Jepang. Hasilnya, September 1943 Jepang mengizinkan aktifnya kembali NU dan beberapa organisasi Islam lainnya.
     Selang satu bulan setelah dibebaskannya kembali aktivitas berorganisasi, pada Oktober 1943 NU mengajak ormas Islam lainnya untuk membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bawah kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari yang juga anggota Chau Sangi-in, Masyumi berhasil melakukan lobi-lobi politik terhadap penguasa Jepang dan sukses membangun jaringan pergerakan perjuangan dengan kelompok nasionalis. Melalui lobi politik ini, Masyumi berhasil membentuk pasukan Hizbullah untuk angkatan muda yang keanggotannya terdiri dari para santri sebagai perwakilan dari NU, dan perutusan ormas Islam lain yang tergabung dalam Masyumi. Menyusul kemudian dibentuk pasukan Sabilillah untuk barisan para ulamanya.
     Di tengah keasyikan memainkan strategi yahannu-nya melalui Masyumi, NU tetap sadar bahwa Jepang adalah penjajah. Dan kemerdekaan, kendati telah dijanjikan Jepang, tidak akan diberikan cuma-cuma. Kemerdekaan tetap harus direbut melalui perjuangan. Dari kesadaran ini, tokoh-tokoh NU semisal KH. Wahid Hasyim, terus melakukan kontak dengan, membangun jaringan dengan kalangan nasionalis untuk berjuang bersama merebut kemerdekaan. Hingga terdengar berita Jepang mulai terdesak oleh tentara sekutu, di awal tahun 1945, tekanan-tekanan para tokoh pergerakan nasional terhadap Jepang juga semakin gencar. Hasilnya pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Dokuritsu Zyubi Tyoosakai (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) yang beranggotakan 62 orang dan salah satunya KH. Wahid Hasyim.
     Setelah proklamasi, ternyata perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia masih terus berlanjut, justru memasuki masa yang dikenal dengan zaman revolusi. Sumbangan penting NU pada masa ini adalah seruan jihad untuk melawan kembalinya Belanda yang datang membonceng pasukan sekutu. Seruan yang lebih dikenal dengan “resolusi jihad” ini ditandatangani oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 (Bruinessen, 1994). resolusi ini menyerukan kepada setiap muslim dengan status wajib ‘ayn (keharusan tanpa kecuali) bagi yang berada dalam radius 94 km dari lokasi musuh (tentara Belanda) dan dengan status wajib kifayah (keharusan dengan perwakilan sesuai kebutuhan) bagi yang berada di luar radius 94 km, untuk berperang melawan Belanda.

     Tidak dapat dipungkiri bahwa resolusi jihad ini berdampak besar bagi perjuangan revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satunya adalah pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945. Karena perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia terus berlanjut, isi seruan dalam resolusi jihad dikukuhkan melalui keputusan muktamar NU ke-16 di Purwokerto pada tanggal 26-29 Maret 1946 di bawah judul “Hukum Memerangi Tentara Musuh yang Sudah Ada di Tengah-tengah Kita”. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment