History

History
"History Make Me Happy"

Tuesday 16 August 2016

PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.4)

II. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 – 1945) 
Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral Imamura, berakhirlah penjajahan Belanda atas lndonesia. Dengan demikian dioperkan begitu saja nasib bangsa lndonesia kepada penjajah yang baru, Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan tokoh-tokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis, sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu, bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya, terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya. Dalam pada itu, kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di Indonesia bahkan makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.
Salah satu tindakannya yang pertama-tama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan membubarkannya. Bersamaan dengan itu, dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama P.I.D. menangkapi elemen-elemen anti fasis dikalangan bangsa indonesia. Tidak dikecualikan organisasi-organisasi wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak di bawah tanah. Taktik Jepang dalam merangkul bangsa Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut:
 1. Bahasa Belanda dilarang dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum.
 2. Sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan, dan diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun, SMP, SMA dan sekolah Guru dan kejuruan.
            Penguasa baru mendirikan organisasi umum yang bernama “Tiga A” pada bulan April 1942, dengan bagian wanita yang sudah menikah bernama “Gerakan Istri Tiga A”, sedangkan bagian wanita yang belum menikah disebut “Barisan Putri Asia Raya”. Gerakan Tiga A tidak berumur panjang, karena pada bulan Maret 1943 digantikan oleh organisasi “PUTERA” (Pusat Tenaga Rakyat) yang bagian wanitanya Barisan Pekerja Perempuan Putera (Wieringa, 1999:145-148).
Hanya satu organisasi wanita di bawah kekuasaan Jepang yang diizinkan hidup, yaitu Fujinkai yang dibentuk di daerah-daerah dengan ketuanya istri masing-masing kepala daerah. Kegiatan organisasi ini adalah di bidang pemberantasan buta huruf dan berbagai pekerjaan sosial. Mereka yang giat di dalam Fujinkai ini terutama adalah para istri pegawai negeri. Seperti halnya organisasi-organisasi wanita sekarang, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi, Fujinkai melakukan kegiatan dalam hirarki yang sejalan dengan hirarki suami. Di kalangan kaum wanita, para anggota Fujinkai harus mempropagandakan cita-cita Jepang tentang “Asia Raya” di bawah pimpinan Dai Nippon. Fujinkai adalah salah satu di antara organ-organ yang digunakan Jepang untuk mengerahkan rakyat Indonesia bekerja “suka-rela” demi kemenangan “perang suci” mereka.
Ketika Putera akhirnya dilebur dalam organisasi baru “Jawa HOKOKAI” (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya dengan cabang-cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis wanita yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif serta memilih bergerak diam-diam dibawah tanah. Gerakan nasional, termasuk beberapa organisasi wanita, antara lain Gerakan Wanita Sosialis (GWS), sebagian bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis, termasuk yang wanita, ditangkap dan dibunuh.
Tentara pendudukan Jepang juga membentuk pasukan tempur wanita yang disebut “Barisan Srikandi” yang anggotanya terdiri atas anak-anak gadis berumur antara 15-20 tahun dan belum menikah. Mereka dilatih pelatihan kemiliteran untuk dapat maju ke medan perang membela Jepang, sewaktu-waktu bilamana dibutuhkan. Kemudian masih ada latihan-latihan militer bagi para gadis Indonesia bernama “Sementai”. Untuk pemudanya bernama “Seizendang”. Gerak badan atau “Taigo” sangat digalakkan. Latihan kemiliteran di “Seisendo” juga diajarkan untuk menggunakan senjata. Latihan –latihan kemiliteran yang diberikan Jepang ternyata dikemudian hari ada manfaatnya dalam perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan tanah air. Pada pokoknya, seluruh kehidupan masyarakat Indonesia dimiliterisir untuk kepentingan ekonomi perang Jepang dan untuk memperkuat angkatan perangnya dengan melatih tenaga-tenaga cadangan untuk dimobilisasi sewaktu-waktu dibutuhkan. Pada periode ini, sifat gerakan wanita mengalami kemunduran, karena organisasi wanita hanya boleh berdiri bila ada komando dari penguasa. Sesudah Jepang kalah, dan proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda berusaha merebut kembali kepulauan Indonesia. Sesudah proklamasi kemerdekaan, pergerakan wanita Indonesia mengalami dinamika dalam perkembangannya, tetapi dalam makalah ini penulis hanya membatasi tentang pergerakan wanita pada masa penjajahan (Belanda dan Jepang) saja, sehingga perkembangan pergerakan wanita Indonesia masa perang kemerdekaan dan sesudahnya tidak penulis bahas di sini. (M. Mujibur Rohman)



No comments:

Post a Comment