PERKEMBANGAN PERGERAKAN WANITA INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN
(bag.4)
II.
Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 – 1945)
Dengan
menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 9 Maret
1942 kepada Jendral Imamura, berakhirlah penjajahan Belanda atas lndonesia.
Dengan demikian dioperkan begitu saja nasib bangsa lndonesia kepada penjajah
yang baru, Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan tokoh-tokoh
politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis, sebaliknya
Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu, bahwa
Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya, terutama minyak
yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya. Dalam pada itu,
kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di Indonesia bahkan makin
membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap penjajahan
asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.
Salah
satu tindakannya yang pertama-tama ialah Jepang melarang semua organisasi yang
ada dan membubarkannya. Bersamaan dengan itu, dengan bantuan orang-orang bekas
pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama P.I.D. menangkapi elemen-elemen anti
fasis dikalangan bangsa indonesia. Tidak dikecualikan organisasi-organisasi
wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan
dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia
Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk
perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak di bawah tanah. Taktik Jepang dalam merangkul bangsa
Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bahasa Belanda dilarang dan
bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum.
2. Sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS,
HCS dan lainnya dibubarkan, dan diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun, SMP, SMA
dan sekolah Guru dan kejuruan.
Penguasa
baru mendirikan organisasi umum yang bernama “Tiga A” pada bulan April 1942,
dengan bagian wanita yang sudah menikah bernama “Gerakan Istri Tiga A”,
sedangkan bagian wanita yang belum menikah disebut “Barisan Putri Asia Raya”.
Gerakan Tiga A tidak berumur panjang, karena pada bulan Maret 1943 digantikan
oleh organisasi “PUTERA” (Pusat Tenaga Rakyat) yang bagian wanitanya Barisan
Pekerja Perempuan Putera
(Wieringa, 1999:145-148).
Hanya satu organisasi wanita di bawah
kekuasaan Jepang yang diizinkan hidup, yaitu Fujinkai yang dibentuk di
daerah-daerah dengan ketuanya istri masing-masing kepala daerah. Kegiatan
organisasi ini adalah di bidang pemberantasan buta huruf dan berbagai pekerjaan
sosial. Mereka yang giat di dalam Fujinkai ini terutama adalah para istri
pegawai negeri. Seperti halnya organisasi-organisasi wanita sekarang, Dharma
Wanita dan Dharma Pertiwi, Fujinkai melakukan kegiatan dalam hirarki yang
sejalan dengan hirarki suami. Di kalangan kaum wanita, para anggota Fujinkai
harus mempropagandakan cita-cita Jepang tentang “Asia Raya” di bawah pimpinan
Dai Nippon. Fujinkai adalah salah satu di antara organ-organ yang digunakan
Jepang untuk mengerahkan rakyat Indonesia bekerja “suka-rela” demi kemenangan
“perang suci” mereka.
Ketika Putera akhirnya dilebur dalam
organisasi baru “Jawa HOKOKAI” (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), maka Fujinkai
dijadikan bagian wanitanya dengan cabang-cabang didaerah-daerah. Kegiatan
Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan
ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus
buta huruf. Bagi para wanita yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini
merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan
adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis wanita yaitu mereka yang
berkooperasi dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang
non-kooperatif serta memilih bergerak diam-diam dibawah tanah. Gerakan
nasional, termasuk beberapa organisasi wanita, antara lain Gerakan Wanita
Sosialis (GWS), sebagian bergerak di bawah tanah. Banyak kaum nasionalis,
termasuk yang wanita, ditangkap dan dibunuh.
Tentara pendudukan Jepang juga membentuk pasukan
tempur wanita yang disebut “Barisan Srikandi” yang anggotanya terdiri atas
anak-anak gadis berumur antara 15-20 tahun dan belum menikah. Mereka dilatih
pelatihan kemiliteran untuk dapat maju ke medan perang membela Jepang,
sewaktu-waktu bilamana dibutuhkan. Kemudian masih ada latihan-latihan militer
bagi para gadis Indonesia bernama “Sementai”. Untuk pemudanya bernama “Seizendang”.
Gerak badan atau “Taigo” sangat digalakkan. Latihan kemiliteran di “Seisendo”
juga diajarkan untuk menggunakan senjata. Latihan –latihan kemiliteran yang
diberikan Jepang ternyata dikemudian hari ada manfaatnya dalam perjuangan
rakyat Indonesia merebut kemerdekaan tanah air. Pada pokoknya, seluruh
kehidupan masyarakat Indonesia dimiliterisir untuk kepentingan ekonomi perang
Jepang dan untuk memperkuat angkatan perangnya dengan melatih tenaga-tenaga
cadangan untuk dimobilisasi sewaktu-waktu dibutuhkan. Pada periode ini, sifat
gerakan wanita mengalami kemunduran, karena organisasi wanita hanya boleh
berdiri bila ada komando dari penguasa. Sesudah Jepang kalah, dan proklamasi
kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda berusaha merebut kembali kepulauan
Indonesia. Sesudah proklamasi kemerdekaan,
pergerakan wanita Indonesia mengalami dinamika dalam perkembangannya, tetapi
dalam makalah ini penulis hanya membatasi tentang pergerakan wanita pada masa
penjajahan (Belanda dan Jepang) saja, sehingga perkembangan pergerakan wanita
Indonesia masa perang kemerdekaan dan sesudahnya tidak penulis bahas di sini.
(M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment