NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya
dalam Pergerakan Nasional Indonesia
(Bag.1)
A. Latar Belakang Terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU)
Secara historis, kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) tidak terlepas dari
keadaan dunia Islam internasional, terutama di wilayah Timur Tengah. Dalam
dunia Islam saat itu sedang muncul gerakan pembaharuan yang dibawa Muhammad
Abduh, yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang begitu berpihak pada ahli
hadis. Gerakan ini kemudian mengembangkan dan menyebarkan paham, yang sejauh
ini dikembangkan oleh Wahabi. Gerakan Wahabi secara tegas kurang begitu mengakui
keberadaan Imam Mazhab, bahkan menganjurkan umat Islam agar melepaskan diri
dari keterikatan pada mazhab. Isu dominan yang diintrodusir oleh mereka adalah
anjuran agar umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan dan melepaskan
keterikatan dengan ulama mazhab, termasuk juga penolakan terhadap tarekat (PP
Ma’arif NU, 2004).
Selain masalah itu,
masyarakat Islam Indonesia seperti dunia Islam pada umumnya, tengah mengalami
guncangan dengan runtuhnya kekuasaan Sultan Turki yang dianggap khalifah oleh
umat Islam. Hal itu mendorong penguasa Mesir, pada tahun 1924, untuk mengadakan
kongres tentang khilafat (khilafah), yang ternyata memperoleh sambutan
positif dari segala penjuru dunia Islam, termasuk masyarakat Islam nusantara
(Indonesia). Untuk menyambut gagasan itu di tanah air, dibentuk Komite Khilafat
yang diketuai oleh Wondoamiseno, dengan anggota Soerjopranoto, H. Fachruddin
dan KH. A. Wahab Hasbullah. Karena kongres di Mesir diundur, Komite Khilafat
mengalihkan perhatiannya pada gagasan kongres tentang masalah yang sama yang
diajukan oleh Raja Abd al-Aziz ibn Sa’ud, penguasa Hijaz yang baru.
Gagasan Raja Ibn Sa’ud
itu sempat menjadi topik utama dalam dua muktamar Islam di Yogyakarta pada
tahun 1925 dan di Bandung pada tahun 1926. Namun, muktamar di Bandung ternyata
hanya mengesahkan pertemuan kaum modernis yang diadakan sebelumnya, yakni untuk
menghadiri kongres khilafat di Makkah akan dikirim HOS Cokroaminoto dan KH. Mas
Mansur, sementara KH. Wahab Hasbullah disingkirkan. Namun demikian, KH. A.
Wahab Hasbullah dan ulama pesantren yang lain menitipkan usul kepada delegasi
yang ditunjuk, agar penguasa Arab Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan
yang berlaku di sana dan ajaran mazhab yang dianut masyarakat Islam. Usul itu
ditolak kaum modernis.
Mengingat pentingnya masalah itu, KH. A. Wahab Hasbullah mengambil
inisiatif untuk mengadakan musyawarah sendiri mengenai masalah itu dengan
ulama-ulama yang berpendirian sama. Langkah ini memperoleh sambutan antusias
dari kalangan ulama terkemuka. Pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan
16 Rajab 1334, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka
berkumpul di rumah KH. A. Wahab Hasbullah (1888-1971) di Kertopaten, Surabaya.
Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh
pesantren (Fealy, 2003). Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah
sebanyak itu, namun dalam kesempatan ini mereka memikirkan langkah bersama
untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang
mereka praktikkan. Ulama-ulama terkemuka yang hadir pada saat itu antara lain
KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. M. Bisri Sansuri, KH. R. Asnawi, KH. Ma’shum, KH.
Ridwan, KH. Nawawi, KH. Nahrawi, KH. Abdullah Ubaid, KH. Alwi Abdul Aziz, KHA.
Halim, KH. Ndoro Munthaha, KH. Dahlan Abdul Qohar dan KH. Abdullah Faqih.
Pertemuan tersebut
menghasilkan beberapa keputusan penting, diantaranya; pertama,
meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai
delegasi yang diutus menemui raja Ibn Sa’ud kembali ke tanah air. Komite ini
akan mengirim delegasi sendiri ke kongres umat Islam di Mekkah (tentang
khilafah) yang terdiri dari KH.A. Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghunaim
al-Mishry. Tugas delegasi adalah menghadap langsung Raja Ibn Sa’ud untuk menyampaikan
tuntutannya agar ajaran-ajaran mazhab empat tetap dihormati dan melakukan
observasi sejauh kebangkitan Islam berjalan, terutama setelah runtuhnya
kekuasaan Turki. Delegasi ini memang tidak tergabung dalam kongres umat Islam
itu, karena wakil umat Islam Indonesia sudah ada. Delegasi Komite Hijaz ini
diterima langsung oleh raja Ibn Sa’ud dan memperoleh tanggapan yang positif darinya.
Raja Ibn Sa’ud bahkan memberikan jawaban secara tertulis, supaya diketahui oleh
anggota Komite Hijaz lainnya. Jawaban itu antara lain berisi janji untuk
menjamin dan menghormati ajaran-ajaran mazhab empat dan paham ahlussunnah wal
Jama’ah di seluruh wilayah kerajaan Arab Saudi.
Kedua, pertemuan
di Surabaya itu membentuk jamiyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam
tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita Izzul Islam wal Muslimin,
yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Secara etimologi Nahdlatul Ulama
terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah artinya bangkit, bangun,
loncatan, dan al-ulama artinya orang yang mempunyai ilmu atau
intelektual dalam arti modern. Secara istilah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para ulama pada tahun
1926. Secara singkat, jamiyyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya
masyarakat Islam berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah. Selain itu NU juga
mempertahankan prinsip-prinsip keagamaan tradisional, dan mengukuhkan syariah,
mazhab-mazhab fiqh dan praktek sufi yang merupakan inti spiritualitas mereka
(Lapidus, 2000).
Setidaknya ada dua faktor
yang mendorong para ulama yang berkumpul saat itu bersepakat untuk membentuk
jamiyyah NU. Pertama, berkaitan erat dengan langkah politik penjajah Belanda
yang melakukan pembatasan ketat terhadap umat Islam Indonesia yang berniat melakukan
ibadah haji. Dalam pandangan pemerintah Belanda, umat Islam Indonesia harus
dibatasi secara ketat untuk bertemu dengan umat Islam dari berbagai penjuru
dunia, sebab maraknya perlawanan umat Islam Indonesia terhadap pemerintah kolonial
Belanda tidak lepas dari pengaruh umat Islam dari negara lain. Kedua,
pembentukan NU didorong oleh prinsip “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih
wa al akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik), yang selama ini menjadi pegangan para
ulama.
Anggaran dasar NU
menyatakan bahwa kepatuhan pada ajaran mazhab merupakan hal yang pokok. Di
dalamnya dinyatakan bahwa tujuan organisasi ini adalah: “memegang dengan teguh
pada salah satu mazhabnya Imam empat, yaitu Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I,
Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah Al-Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambal,
dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan umat Islam”. Keharusan
mengikuti salah satu dari keempat mazhab secara konsisten merupakan cara
efektif untuk menolak kaum modernis dari keanggotaan NU. Hal ini bersesuaian
dengan orientasi awal pembentukan NU yang didirikan untuk membela kepentingan
kaum muslim tradisional (Ricklefs, 2005).
Mengenai ulama-ulama yang memiliki peran
signifikan dalam kepemimpinan awal NU, dapat dikatakan bahwa yang mewujudkan
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, sedangkan
ketua pertama serta pengisi jiwanya adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pasha dan
Darban, 2000). Banyak kiai tradisional pedesaan lainnya di Jawa Timur yang
bergabung dengan NU. Para pemimpin NU terutama adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan KH. Hasyim Asy’ari, ulama yang paling
disegani di Jawa Timur pada waktu itu. NU berkembang di daerah-daerah lain,
tetapi Jawa Timur tetap menjadi pusatnya.
Sebagai jamiyyah, NU
bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan terutama penyiaran agama Islam
menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha itu Nahdlatul Ulama banyak
memiliki pondok-pondok pesantren serta madrasah-madrasah yang mempunyai siswa
yang cukup besar dan pendukung yang sangat banyak. Lebih lanjut organisasi ini
mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam tradisional, pemeliharaan kaum fakir
miskin, dan usaha-usaha ekonomi kecil sehingga memiliki basis pendukung yang
kuat dari umat Islam di pedesaan, karena umumnya memiliki tradisi keagamaan
yang cukup kuat. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment