History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

NAHDLATUL ULAMA (NU): Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Pergerakan Nasional Indonesia
 (Bag.1)

A. Latar Belakang Terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU)
Secara historis, kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) tidak terlepas dari keadaan dunia Islam internasional, terutama di wilayah Timur Tengah. Dalam dunia Islam saat itu sedang muncul gerakan pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh, yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang begitu berpihak pada ahli hadis. Gerakan ini kemudian mengembangkan dan menyebarkan paham, yang sejauh ini dikembangkan oleh Wahabi. Gerakan Wahabi secara tegas kurang begitu mengakui keberadaan Imam Mazhab, bahkan menganjurkan umat Islam agar melepaskan diri dari keterikatan pada mazhab. Isu dominan yang diintrodusir oleh mereka adalah anjuran agar umat Islam melakukan pembaharuan pendidikan dan melepaskan keterikatan dengan ulama mazhab, termasuk juga penolakan terhadap tarekat (PP Ma’arif NU, 2004).

  Selain masalah itu, masyarakat Islam Indonesia seperti dunia Islam pada umumnya, tengah mengalami guncangan dengan runtuhnya kekuasaan Sultan Turki yang dianggap khalifah oleh umat Islam. Hal itu mendorong penguasa Mesir, pada tahun 1924, untuk mengadakan kongres tentang khilafat (khilafah), yang ternyata memperoleh sambutan positif dari segala penjuru dunia Islam, termasuk masyarakat Islam nusantara (Indonesia). Untuk menyambut gagasan itu di tanah air, dibentuk Komite Khilafat yang diketuai oleh Wondoamiseno, dengan anggota Soerjopranoto, H. Fachruddin dan KH. A. Wahab Hasbullah. Karena kongres di Mesir diundur, Komite Khilafat mengalihkan perhatiannya pada gagasan kongres tentang masalah yang sama yang diajukan oleh Raja Abd al-Aziz ibn Sa’ud, penguasa Hijaz yang baru.
     Gagasan Raja Ibn Sa’ud itu sempat menjadi topik utama dalam dua muktamar Islam di Yogyakarta pada tahun 1925 dan di Bandung pada tahun 1926. Namun, muktamar di Bandung ternyata hanya mengesahkan pertemuan kaum modernis yang diadakan sebelumnya, yakni untuk menghadiri kongres khilafat di Makkah akan dikirim HOS Cokroaminoto dan KH. Mas Mansur, sementara KH. Wahab Hasbullah disingkirkan. Namun demikian, KH. A. Wahab Hasbullah dan ulama pesantren yang lain menitipkan usul kepada delegasi yang ditunjuk, agar penguasa Arab Saudi tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana dan ajaran mazhab yang dianut masyarakat Islam. Usul itu ditolak kaum modernis.
Mengingat pentingnya masalah itu, KH. A. Wahab Hasbullah mengambil inisiatif untuk mengadakan musyawarah sendiri mengenai masalah itu dengan ulama-ulama yang berpendirian sama. Langkah ini memperoleh sambutan antusias dari kalangan ulama terkemuka. Pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1334, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah KH. A. Wahab Hasbullah (1888-1971) di Kertopaten, Surabaya. Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren (Fealy, 2003). Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu, namun dalam kesempatan ini mereka memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Ulama-ulama terkemuka yang hadir pada saat itu antara lain KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. M. Bisri Sansuri, KH. R. Asnawi, KH. Ma’shum, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Nahrawi, KH. Abdullah Ubaid, KH. Alwi Abdul Aziz, KHA. Halim, KH. Ndoro Munthaha, KH. Dahlan Abdul Qohar dan KH. Abdullah Faqih.
     Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting, diantaranya; pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang diutus menemui raja Ibn Sa’ud kembali ke tanah air. Komite ini akan mengirim delegasi sendiri ke kongres umat Islam di Mekkah (tentang khilafah) yang terdiri dari KH.A. Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghunaim al-Mishry. Tugas delegasi adalah menghadap langsung Raja Ibn Sa’ud untuk menyampaikan tuntutannya agar ajaran-ajaran mazhab empat tetap dihormati dan melakukan observasi sejauh kebangkitan Islam berjalan, terutama setelah runtuhnya kekuasaan Turki. Delegasi ini memang tidak tergabung dalam kongres umat Islam itu, karena wakil umat Islam Indonesia sudah ada. Delegasi Komite Hijaz ini diterima langsung oleh raja Ibn Sa’ud dan memperoleh tanggapan yang positif darinya. Raja Ibn Sa’ud bahkan memberikan jawaban secara tertulis, supaya diketahui oleh anggota Komite Hijaz lainnya. Jawaban itu antara lain berisi janji untuk menjamin dan menghormati ajaran-ajaran mazhab empat dan paham ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh wilayah kerajaan Arab Saudi.
     Kedua, pertemuan di Surabaya itu membentuk jamiyyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya cita-cita Izzul Islam wal Muslimin, yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU). Secara etimologi Nahdlatul Ulama terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah artinya bangkit, bangun, loncatan, dan al-ulama artinya orang yang mempunyai ilmu atau intelektual dalam arti modern. Secara istilah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para ulama pada tahun 1926. Secara singkat, jamiyyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah. Selain itu NU juga mempertahankan prinsip-prinsip keagamaan tradisional, dan mengukuhkan syariah, mazhab-mazhab fiqh dan praktek sufi yang merupakan inti spiritualitas mereka (Lapidus, 2000).
     Setidaknya ada dua faktor yang mendorong para ulama yang berkumpul saat itu bersepakat untuk membentuk jamiyyah NU. Pertama, berkaitan erat dengan langkah politik penjajah Belanda yang melakukan pembatasan ketat terhadap umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah haji. Dalam pandangan pemerintah Belanda, umat Islam Indonesia harus dibatasi secara ketat untuk bertemu dengan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, sebab maraknya perlawanan umat Islam Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda tidak lepas dari pengaruh umat Islam dari negara lain. Kedua, pembentukan NU didorong oleh prinsip “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik), yang selama ini menjadi pegangan para ulama.
     Anggaran dasar NU menyatakan bahwa kepatuhan pada ajaran mazhab merupakan hal yang pokok. Di dalamnya dinyatakan bahwa tujuan organisasi ini adalah: “memegang dengan teguh pada salah satu mazhabnya Imam empat, yaitu Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah Al-Nu’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan umat Islam”. Keharusan mengikuti salah satu dari keempat mazhab secara konsisten merupakan cara efektif untuk menolak kaum modernis dari keanggotaan NU. Hal ini bersesuaian dengan orientasi awal pembentukan NU yang didirikan untuk membela kepentingan kaum muslim tradisional (Ricklefs, 2005).
   Mengenai ulama-ulama yang memiliki peran signifikan dalam kepemimpinan awal NU, dapat dikatakan bahwa yang mewujudkan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah, sedangkan ketua pertama serta pengisi jiwanya adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pasha dan Darban, 2000). Banyak kiai tradisional pedesaan lainnya di Jawa Timur yang bergabung dengan NU. Para pemimpin NU terutama adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan KH. Hasyim Asy’ari, ulama yang paling disegani di Jawa Timur pada waktu itu. NU berkembang di daerah-daerah lain, tetapi Jawa Timur tetap menjadi pusatnya.

     Sebagai jamiyyah, NU bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan terutama penyiaran agama Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan usaha itu Nahdlatul Ulama banyak memiliki pondok-pondok pesantren serta madrasah-madrasah yang mempunyai siswa yang cukup besar dan pendukung yang sangat banyak. Lebih lanjut organisasi ini mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan usaha-usaha ekonomi kecil sehingga memiliki basis pendukung yang kuat dari umat Islam di pedesaan, karena umumnya memiliki tradisi keagamaan yang cukup kuat. (M. Mujibur Rohman)

No comments:

Post a Comment