SEJARAH WAYANG WONG NGESTI PANDAWA SEMARANG
Indonesia merupakan negara yang kaya akan
keanekaragaman budaya dan kesenian rakyat. Tiap-tiap pulau di Indonesia
mempunyai budaya dan kesenian rakyat atau kesenian tradisional yang berbeda-beda. Kesenian tradisional,
menurut A. Kasim Ahmad dalam majalah Analisis kebudayaan adalah suatu bentuk
seni yang bersumber dari gerakan serta dirasakan sebagai hak milik sendiri oleh
masyarakat lingkungannya. Salah satunya di Pulau Jawa, dimana terdapat kesenian
Wayang yang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia. Brandes berpendapat
bahwa wayang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sosial, kultural, dan
religius suku bangsa Jawa. Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi
dalam perjalanan waktu pengertian wayang berubah, dan dapat berarti
pertunjukkan. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukkan panggung di mana
sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam pertunjukkan wayang dikenal
sebagai Dalang.
Jenis-jenis wayang yang
terdapat di Jawa banyak sekali ragamnya. Jenis-jenis itu yakni wayang beber,
wayang gedog, wayang jemblung, wayang klithik, wayang krucil, wayang
langendriya, wayang lilingong, wayang lumping, wayang madya, wayang pegon, wayang
purwa, wayang sasak, wayang topeng, dan wayang wong atau wayang orang. Menurut
jenis aktor dan aktrisnya, aneka ragam jenis wayang dapat digolongkan atas lima
golongan, yaitu : (1) wayang kulit, pelaku yang muncul dari atas panggung
adalah boneka dua dimensi yang terbuat dari kulit atau tulang belulang; (2)
wayang golek, pelaku yang muncul dari panggung adalah boneka-boneka tiga
dimensi yang terbuat dari kayu; (3) wayang beber, pelakunya hanya digambar di
atas kertas yang digulung dan direntang (dibeber) dalam pertunjukkan; (4)
wayang klithik, pelaku yang muncul dari panggung adalah boneka-boneka yang
terbuat dari kayu pipih; (5) wayang wong atau wayang orang, pelaku yang muncul
di panggung adalah orang.
Mengenai wayang wong itu
sendiri, wayang wong adalah sebuah genre yang digolongkan ke dalam bentuk drama
tradisional. Menurut Edi Setyawati yang dimaksud dengan genre ialah jenis
penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audio visual
dapat dibedakan dengan penyajian yang lain, misalnya genre Tari Serimpi dengan
genre wayang wong (Hersapandi, 1999). Dalam kedudukannya sebagai seni
peertunjukkan wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa
sehingga secara artistik konsep-konsep estetis senantiasa dikembalikan pada
norma-norma atau kaidah wayang kulit purwa, dimana di dalamnya termasuk
ikonografi bentuk wayangnya.
Dalam perkembangan
sejarahnya terdapat hubungan yang sangat erat antara berbagai bentuk seni. Hal
ini dapat dijumpai di Jawa pada wayang (wayang kulit) dan wayang wong
(dramatari). Bahkan boleh dikatakan wayang kulit dan wayang wong di Jawa
berkembang berdampingan, yang satu mempengaruhi yang lain. Selain itu di Jawa
terdapat pula data-data yang jelas,bahwa dalam perkembangannya rupa-rupanya
terjadi hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara wayang kulit , wayang
wong, dan seni rupa pada masa lampau (Soedarsono, 1990).
Wayang wong mengalami
perjalanan sejarah yang cukup panjang. Berita tertulis mengenai pertunjukkan
wayang di Jawa Tengah telah ada pada tahun 907 M, tergores pada sebuah prasasti
yang diterbitkan oleh raja Balitung dari Kerajaan Mataram Kuna. Istilah yang
dipergunakan untuk menyebut wayang wong adalah wayang wwang. Kata wayang dalam
bahasa Jawa Kuna (Kawi) berarti bayangan atau pertunjukkan bayangan, dan kata
wwang berarti manusia. Jadi wayang wwang adalah pertunjukkan wayang yang
aktor-aktrisnya berupa manusia sebagai pengganti boneka-boneka yang terbuat
dari kulit. Pada awalnya pertunjukkan wayang digunakan untuk menyembah roh-roh
leluhur, kemudian berkembang dan dijadikan sebagai alat penyebaran agama Hindu.
Pada masa Kerajaan Islam
Jawa Tengah (Demak, Pajang, dan Mataram) wayang wong (wayang wwang) tidak
mendapat perhatian dari istana dan para guru agama (wali). Ketika Mataram Islam pecah menjadi dua, yakni
Kasunanan Surakarta serta Kasultanan Yogyakarta pada perjanjian Giyanti tahun
1755, dan kemudian pada tahun 1757 Kasunanan Surakarta pecah lagi menjadi
Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, satu bentuk dramatari baru
bernama wayang wong dicipta di dua istana, yaitu di Keraton Yogyakarta dan Pura
Mangkunegaran. Lahirnya wayang wong di
kedua istana itu kemungkinan besar disebabkan oleh perkembangan kesusasteraan
yang sangat pesat pada tengah kedua abad ke-18. Namun demikian, sebenarnya
penciptaan wayang wong, terutama di keraton Yogyakarta memiliki latar belakang
politis pula. Sultan Hamengkubuwana I (memerintah tahun 1755-1792) dari Keraton
Yogyakarta menciptakan wayang wong, selain memperhatikan aspek ritualnya, juga
dimaksudkan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali tradisi wayang wwang dari
zaman Majapahit, sebagai upaya untuk memperkokoh legitimasi kerajaannya yang
baru, yaitu sebagai pewaris tahta kerajaan Majapahit.
Pangeran Adipati
Mangkunegara I, saingan tergigih dari Sultan Hamengkubuwana I selama perang
saudara (1749-1755), juga menggubah wayangwong di Pura Mangkunegaran Surakarta.
Tidak dapat diketahui dengan pasti dorongan penciptaannya, tetapi sangat
mungkin bahwa ia ingin menandingi wayang wong Sultan. Wayang wong Mangkunegaran
juga tersebar di lingkungan rakyat banyak sejak akhir abad ke-19, dan menjadi
pertunjukkan hiburan yang dipergelarkan oleh rombongan-rombongan wayang wong
seperti Sriwedari di Surakarta, Bharata di Jakarta, dan Ngesti Pandawa di
Semarang.
Menurut Umar Kayam,
Ngesti Pandawa adalah suatu teater kitsch. Ia adalah suatu teater yang dikemas
sebagai suatu komoditi komersial buat suatu khalayak kota. Dengan demikian
seperti juga pada seni kitsch apa saja, ia mesti sanggup memuaskan selera
populer orang banyak dan tidak kunjung
capek dalam memberikan jawaban yang tepat terhadap apa yang disebut tuntutan
jaman. Seni kitsch adalah seni yang selalu akan berusaha untuk bisa tampil
apik, inovatif, spektakuler, dan gemerlapan. Bila tidak, maka tidak akan bisa
dikemas sebagai suatu kemasan komersial yang sukses (Sedyawati dan Darmono,
1983).
Wayang Orang Ngesti
Pandawa didirikan oleh Sastrosabdo pada tanggal 1 Juli 1937 di kota Madiun Jawa
Timur. Perkumpulan kesenian ini memiliki dinamika perjalanan panjang. Hal ini
dapat dilihat dari pementasannya yang keliling ke berbagai daerah di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tahun 1947 Ngesti Pandawa menetap di kota
Semarang. Pada masa jayanya Ngesti Pandawa, yakni ketika di bawah pimpinan
Sastrosabdo adalah teater kitsch yang benar-benar inovatif. Sebagai Petruk,
sutradara, serta pimpinan produksi Sastrosabdo adalah tokoh yang sulit
ditandingi. Sebagai Petruk, versinya lebih legendaris dari Sastrodirun,
pendahulunya di Sriwedari Surakarta. Sebagai sutradara, Sastrosabdo selalu
sanggup menyuguhkan keutuhan teater wayang orang yang mengagumkan. Tariannya
terpelihara rapi, akting serta vokal para pemainnya sangat bermutu.
Salah satu tokoh penting
wayang orang Ngesti Pandawa adalah Ki Nartosabdo. Di sini ia berperan sebagai
pimpinan karawitan yang sangat kreatif. Di bawah kepemimpinannya salah satu
daya tarik wayang orang ini adalah orkestrasi yang kreatif dan memukau.
Berpuluh lagu serta aransemennya mengalir dari kreasi seniman ini. Semua
kemudian menjadi hits karena lagu-lagunya enak didengar. Permainan kendangnya
juga merupakan suatu atraksi tersendiri yang unik.
Seiring perkembangan
jaman, grafik wayang orang Ngesti Pandawa mengalami naik turun. Pada tahun 1995
Pemerintah Kota Semarang mengagendakan Rencana Induk Kota (RIK) tahun
1995-2000. Berdasarkan Rencana Induk Kota (RIK) ini kawasan Jalan Pemuda-dimana
gedung Ngesti Pandawa berada, akan diperuntukkan bagi perkantoran dan pusat
bisnis. Dampak dari rencana ini sangat mempengaruhi wayang orang Ngesti
Pandawa, karena grup ini harus pindah dari Gedung GRIS (Gedung Rakyat Indonesia
Semarang) yang sudah ditempati selama 43 tahun ke lokasi lain. Dampak lain dari
hal ini adalah semakin berkurangnya penonton karena di gedung sebelumnya,
posisi gedung Ngesti Pandawa sangat strategis, hanya 250 meter dari Kantor Wali Kota Semarang. Dalam
kompleks tersendiri yang luasnya mencapai satu hektar, gedung wayang orang
Ngesti Pandawa sudah berdiri lebih dari 60 tahun. Gedung ini berada satu
kompleks dengan eks gedung film Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) yang
sudah lama gulung tikar. Tanah dan gedung kompleks ini merupakan aset yayasan
GRIS yang dalam Rencana Induk Kota (RIK) Semarang tahun 1995-2000 akan
digunakan sebagai pusat bisnis.
Pada tahun 1996, Ngesti
Pandawa harus pindah dari GRIS ke Gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) di
jalan Sriwijaya. Kelompok kesenian ini semakin tak bisa berbuat banyak karena
di TBRS hanya bisa tampil tiga kali seminggu. Pamornya pun mulai turun meski
sempat dibentuk yayasan Ngesti Pandawa. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment