History

History
"History Make Me Happy"

Friday 19 August 2016

SEJARAH WAYANG WONG NGESTI PANDAWA SEMARANG

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan kesenian rakyat. Tiap-tiap pulau di Indonesia mempunyai budaya dan kesenian rakyat atau kesenian tradisional  yang berbeda-beda. Kesenian tradisional, menurut A. Kasim Ahmad dalam majalah Analisis kebudayaan adalah suatu bentuk seni yang bersumber dari gerakan serta dirasakan sebagai hak milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Salah satunya di Pulau Jawa, dimana terdapat kesenian Wayang yang merupakan salah satu kebudayaan asli Indonesia. Brandes berpendapat bahwa wayang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sosial, kultural, dan religius suku bangsa Jawa. Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang berubah, dan dapat berarti pertunjukkan. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukkan panggung di mana sutradara ikut bermain. Adapun sutradara dalam pertunjukkan wayang dikenal sebagai Dalang.

    Jenis-jenis wayang yang terdapat di Jawa banyak sekali ragamnya. Jenis-jenis itu yakni wayang beber, wayang gedog, wayang jemblung, wayang klithik, wayang krucil, wayang langendriya, wayang lilingong, wayang lumping, wayang madya, wayang pegon, wayang purwa, wayang sasak, wayang topeng, dan wayang wong atau wayang orang. Menurut jenis aktor dan aktrisnya, aneka ragam jenis wayang dapat digolongkan atas lima golongan, yaitu : (1) wayang kulit, pelaku yang muncul dari atas panggung adalah boneka dua dimensi yang terbuat dari kulit atau tulang belulang; (2) wayang golek, pelaku yang muncul dari panggung adalah boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu; (3) wayang beber, pelakunya hanya digambar di atas kertas yang digulung dan direntang (dibeber) dalam pertunjukkan; (4) wayang klithik, pelaku yang muncul dari panggung adalah boneka-boneka yang terbuat dari kayu pipih; (5) wayang wong atau wayang orang, pelaku yang muncul di panggung adalah orang.
     Mengenai wayang wong itu sendiri, wayang wong adalah sebuah genre yang digolongkan ke dalam bentuk drama tradisional. Menurut Edi Setyawati yang dimaksud dengan genre ialah jenis penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audio visual dapat dibedakan dengan penyajian yang lain, misalnya genre Tari Serimpi dengan genre wayang wong (Hersapandi, 1999). Dalam kedudukannya sebagai seni peertunjukkan wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa sehingga secara artistik konsep-konsep estetis senantiasa dikembalikan pada norma-norma atau kaidah wayang kulit purwa, dimana di dalamnya termasuk ikonografi bentuk wayangnya.
     Dalam perkembangan sejarahnya terdapat hubungan yang sangat erat antara berbagai bentuk seni. Hal ini dapat dijumpai di Jawa pada wayang (wayang kulit) dan wayang wong (dramatari). Bahkan boleh dikatakan wayang kulit dan wayang wong di Jawa berkembang berdampingan, yang satu mempengaruhi yang lain. Selain itu di Jawa terdapat pula data-data yang jelas,bahwa dalam perkembangannya rupa-rupanya terjadi hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara wayang kulit , wayang wong, dan seni rupa pada masa lampau (Soedarsono, 1990). 
     Wayang wong mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Berita tertulis mengenai pertunjukkan wayang di Jawa Tengah telah ada pada tahun 907 M, tergores pada sebuah prasasti yang diterbitkan oleh raja Balitung dari Kerajaan Mataram Kuna. Istilah yang dipergunakan untuk menyebut wayang wong adalah wayang wwang. Kata wayang dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) berarti bayangan atau pertunjukkan bayangan, dan kata wwang berarti manusia. Jadi wayang wwang adalah pertunjukkan wayang yang aktor-aktrisnya berupa manusia sebagai pengganti boneka-boneka yang terbuat dari kulit. Pada awalnya pertunjukkan wayang digunakan untuk menyembah roh-roh leluhur, kemudian berkembang dan dijadikan sebagai alat penyebaran agama Hindu.
     Pada masa Kerajaan Islam Jawa Tengah (Demak, Pajang, dan Mataram) wayang wong (wayang wwang) tidak mendapat perhatian dari istana dan para guru agama (wali).  Ketika Mataram Islam pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta serta Kasultanan Yogyakarta pada perjanjian Giyanti tahun 1755, dan kemudian pada tahun 1757 Kasunanan Surakarta pecah lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, satu bentuk dramatari baru bernama wayang wong dicipta di dua istana, yaitu di Keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran. Lahirnya  wayang wong di kedua istana itu kemungkinan besar disebabkan oleh perkembangan kesusasteraan yang sangat pesat pada tengah kedua abad ke-18. Namun demikian, sebenarnya penciptaan wayang wong, terutama di keraton Yogyakarta memiliki latar belakang politis pula. Sultan Hamengkubuwana I (memerintah tahun 1755-1792) dari Keraton Yogyakarta menciptakan wayang wong, selain memperhatikan aspek ritualnya, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali tradisi wayang wwang dari zaman Majapahit, sebagai upaya untuk memperkokoh legitimasi kerajaannya yang baru, yaitu sebagai pewaris tahta kerajaan Majapahit.
    Pangeran Adipati Mangkunegara I, saingan tergigih dari Sultan Hamengkubuwana I selama perang saudara (1749-1755), juga menggubah wayangwong di Pura Mangkunegaran Surakarta. Tidak dapat diketahui dengan pasti dorongan penciptaannya, tetapi sangat mungkin bahwa ia ingin menandingi wayang wong Sultan. Wayang wong Mangkunegaran juga tersebar di lingkungan rakyat banyak sejak akhir abad ke-19, dan menjadi pertunjukkan hiburan yang dipergelarkan oleh rombongan-rombongan wayang wong seperti Sriwedari di Surakarta, Bharata di Jakarta, dan Ngesti Pandawa di Semarang.
     Menurut Umar Kayam, Ngesti Pandawa adalah suatu teater kitsch. Ia adalah suatu teater yang dikemas sebagai suatu komoditi komersial buat suatu khalayak kota. Dengan demikian seperti juga pada seni kitsch apa saja, ia mesti sanggup memuaskan selera populer orang  banyak dan tidak kunjung capek dalam memberikan jawaban yang tepat terhadap apa yang disebut tuntutan jaman. Seni kitsch adalah seni yang selalu akan berusaha untuk bisa tampil apik, inovatif, spektakuler, dan gemerlapan. Bila tidak, maka tidak akan bisa dikemas sebagai suatu kemasan komersial yang sukses (Sedyawati dan Darmono, 1983).
     Wayang Orang Ngesti Pandawa didirikan oleh Sastrosabdo pada tanggal 1 Juli 1937 di kota Madiun Jawa Timur. Perkumpulan kesenian ini memiliki dinamika perjalanan panjang. Hal ini dapat dilihat dari pementasannya yang keliling ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada tahun 1947 Ngesti Pandawa menetap di kota Semarang. Pada masa jayanya Ngesti Pandawa, yakni ketika di bawah pimpinan Sastrosabdo adalah teater kitsch yang benar-benar inovatif. Sebagai Petruk, sutradara, serta pimpinan produksi Sastrosabdo adalah tokoh yang sulit ditandingi. Sebagai Petruk, versinya lebih legendaris dari Sastrodirun, pendahulunya di Sriwedari Surakarta. Sebagai sutradara, Sastrosabdo selalu sanggup menyuguhkan keutuhan teater wayang orang yang mengagumkan. Tariannya terpelihara rapi, akting serta vokal para pemainnya sangat bermutu.
     Salah satu tokoh penting wayang orang Ngesti Pandawa adalah Ki Nartosabdo. Di sini ia berperan sebagai pimpinan karawitan yang sangat kreatif. Di bawah kepemimpinannya salah satu daya tarik wayang orang ini adalah orkestrasi yang kreatif dan memukau. Berpuluh lagu serta aransemennya mengalir dari kreasi seniman ini. Semua kemudian menjadi hits karena lagu-lagunya enak didengar. Permainan kendangnya juga merupakan suatu atraksi tersendiri yang unik.
     Seiring perkembangan jaman, grafik wayang orang Ngesti Pandawa mengalami naik turun. Pada tahun 1995 Pemerintah Kota Semarang mengagendakan Rencana Induk Kota (RIK) tahun 1995-2000. Berdasarkan Rencana Induk Kota (RIK) ini kawasan Jalan Pemuda-dimana gedung Ngesti Pandawa berada, akan diperuntukkan bagi perkantoran dan pusat bisnis. Dampak dari rencana ini sangat mempengaruhi wayang orang Ngesti Pandawa, karena grup ini harus pindah dari Gedung GRIS (Gedung Rakyat Indonesia Semarang) yang sudah ditempati selama 43 tahun ke lokasi lain. Dampak lain dari hal ini adalah semakin berkurangnya penonton karena di gedung sebelumnya, posisi gedung Ngesti Pandawa sangat strategis, hanya 250 meter  dari Kantor Wali Kota Semarang. Dalam kompleks tersendiri yang luasnya mencapai satu hektar, gedung wayang orang Ngesti Pandawa sudah berdiri lebih dari 60 tahun. Gedung ini berada satu kompleks dengan eks gedung film Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) yang sudah lama gulung tikar. Tanah dan gedung kompleks ini merupakan aset yayasan GRIS yang dalam Rencana Induk Kota (RIK) Semarang tahun 1995-2000 akan digunakan sebagai pusat bisnis. 
     Pada tahun 1996, Ngesti Pandawa harus pindah dari GRIS ke Gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) di jalan Sriwijaya. Kelompok kesenian ini semakin tak bisa berbuat banyak karena di TBRS hanya bisa tampil tiga kali seminggu. Pamornya pun mulai turun meski sempat dibentuk yayasan Ngesti Pandawa. (M. Mujibur Rohman)


No comments:

Post a Comment