DINAMIKA PELAYARAN DI NUSANTARA ABAD KE 15 – 17 M
Pada abad ke 15 di Indonesia mulai bermunculan kota-kota pelabuhan
atau emporium-emporium. Kota-kota pelabuhan itu berkembang secara sinergi
dengan perkembangan agama Islam. Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa
berkembangnya agama Islam di Indonesia adalah melalui daerah-daerah atau
kota-kota pelabuhan seperti Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Gresik, Tuban,
Cirebon, Banten, Ternate, dan lain-lain. Antara kota pelabuhan yang satu dengan yang lain
saling mengadakan interaksi perdagangan. Sudah barang tentu aktivitas ini
menggunakan jalur pelayaran sebagai sarananya.
Berkenaan dengan
aktivitas pelayaran dalam kurun waktu abad 15-17, maka tidak terlepas dari apa
yang disebut sebagi teknologi perkapalan. Pada masa itu sudah terdapat tradisi
pembuatan kapal yang digunakan untuk berlayar mengarungi pulau-pulau di
nusantara serta untuk mengangkut barang-barang hasil perdagangan. Tradisi
pembuatan kapal pribumi mengalami perubahan signifikan sejak kedatangan
kapal-kapal Portugis di perairan nusantara. Hal ini terjadi karena banyak orang
Portugis bekerja sebagai penasehat dan arsitek kapal seperti yang dilakukan
oleh Van Linschotten pada akhir abad ke-16.
Pusat-pusat pembuatan
kapal di nusantara yang terkenal terdapat di Jawa. Galangan kapal ini pada abad
ke-16 sangat terkenal di Asia Tenggara. Keahlian arsitek kapal Jawa begitu
tersohor sehingga Alfonso d’Albuquerque membawa 60 tukang yang cakap pada waktu
ia meninggalkan Malaka pada tahun 1512. Namun kapal yang dibuat di Jawa ini
terbatas pada kapal-kapal kecil yang bisa berlayar cepat untuk keperluan
perang. Di samping itu dibuat pula kapal muatan dengan tonnage yang kecil. Menurut orang Belanda, pusat galangan kapal di
Jawa adalah Lasem yang terletak antara pelabuhan-pelabuhan terkenal, Tuban dan
Jepara dan yang dekat dengan hutan jati Rembang. Teknologi perkapalan di Jawa
pada abad ke-16 sudah begitu bagus dan hebat. Hal ini mendukung aktivitas
pelayaran antar kota-kota dagang di berbagai daerah di nusantara.
Teknologi pelayaran yang
pertama bagi bangsa Indonesia adalah menggunakan sistem angin musim.
Pengetahuan tentang angin darat dan angin laut adalah pengetahuan penting bagi
para pelaut dan nelayan. Dalam kurun waktu abad 15-17 para pedagang dan pelaut
juga menggunakan pengetahuan dan teknologi
ini untuk berlayar ke kota-kota dagang yang ada di daerah lain. Dengan demikian
mereka bisa memanfaatkan angin tersebut jika berlayar keluar pada malam hari
dan pulang kampung pada siang hari. Di samping itu mereka juga telah mengenal
cukup lama perubahan musim. Dengan memanfaatkan perubahan angin ini maka dalam
bulan Oktober kapal-kapal berangkat dari Maluku menuju pusat perdagangan di
Ujungpandang, Gresik, Demak, Banten sampai Malaka dan kota-kota lain di sebelah
barat; sedangkan dalam bulan Maret perjalanan ke Timur dapat dilakukan dengan
menggunakan kapal dari sebelah barat. Penguasaan teknologi pelayaran memungkinkan
para pelaut dan pedagang melakukan aktivitas pelayaran dan perdagangan antar
pulau.
Sebagai contoh, jaringan
pelayaran yang terjadi antara Makasar dengan Asia Tenggara sudah berjalan cukup
baik. Hal ini hanya dapat terjadi bila didukung oleh kemampuan pelayaran yang
bagus serta letak Makassar yang cukup
strategis di antara Maluku, Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan .
Dalam pelayaran ini barang yang diperdagangkan antara lain beras, kain,
tembakau, dan cengkeh. Tidak menutup kemungkinan pula pedagang Makassar juga menjalin kontak pelayaran dengan Johor,
Pahang, Pattani, Gujarat , dan Cina.
Dalam periode ini
(abad15-17) jaring-jaring perdagangan berkembang bagaikan jaring-jaring
laba-laba sehingga Anthony Reid menyebut periode ini sebagai “the
age of commerce”. Periode ini menjadi fondasi bagi integrasi ekonomi
antara kota-kota pelabuhan di nusantara seperti Demak, Cirebon, Banten, Tuban,
Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, dan sebagainya meskipun secara
politik justru terjadi disintegrasi. (M. Mujibur Rohman)
No comments:
Post a Comment